Jumat, 23 Januari 2015

KONTROVERSI HUKUMAN MATI

Waktu membebaskan Makkah Rasulullah Muhammad Saw bisa saja membalas dengan menghukum berat kekejaman fitnah, penyiksaan dan pembunuhan para penguasa Makkah yang telah dilakukan terhadap kaum muslimin dan pribadi Rasul di masa lalu, tapi semua itu tak dilakukan namun meletakkan sebuah monumen rekonsiliasi perdamaian yang abadi tanpa setetes darah yang harus tumpah demi kekuasaan dan pelampiasan diri. Pada ranah fropan, Nelson Mandela pun melakukannya dengan sebuah rekonsiliasi nasional yang indah dan dikenang dengan memberi maaf dan kesempatan hidup kaum apartheid yang mungkin telah membungkam nyawa ribuan nyawa kaum nasionalis kulit hitam selama berkuasa di Afrika Selatan.

Ya, sikap kebesaran jiwa kedua sosok besar sejarah ini sejatinya adalah manifestasi dari sifat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang serta Maha Pengampun. Dan selamanya bila konsisten diterapkan justru akan membawa kebaikan bagi semua tanpa kecuali, menyadarkan para zalim dan kufur nikmat serta membunuh harapan kandidat kejahatan yang akan tumbuh subur bila kebencian dan perasaan sok suci dan sok benar yang mengemuka. Martin Luther King Jr yang mengatakan “ I Have a Dream” dengan semangat perdamaian dalam memperjuangkan hak-hak kaum Negro yang tertindas, akhirnya berhasil mewujudkan mimpinya serta harapan pendahulunya James Baldwin yang pernah mengatakan, “ This world is white no longer, and it will never be white again”

Saya tidak tahu mana yang lebih kejam narkoba atau penjajah Belanda. Keduanya telah banyak membunuh manusia yang dijajah secara rohani dan jasmani. Tapi Belanda telah menghapus hukuman mati sejak 1870. Tapi entah mengapa aturan hidup penjajah itu kita abaikan kendati juga mewarisi sebagian besar hukumnya lain yang notabene banyak tak sesuai dengan pandangan hidup bangsa. Semua yang pernah belajar hukum pasti tahu bahwa filsafat dan pandangan hidup yang melatari KUH Pidana ataupun Perdata kita adalah pandangan hidup kaum liberal yang positivis, rasional, materialis dan individulistis. Semua nilai-nilai tersebut adalah pembenaran terhadap sikap untuk saling bersaing secara fair atau unfair, kalau perlu saling berbalas pantun kebaikan atau kejahatan. Maka tidak heran filsuf sekelas Emanuel Kant dalam ranah hukum bisa menelorkan teori pembalasan ( vergeldings theori) Bahwa tujuan hukuman adalah pembalasan, “ Nyawa dibayar Nyawa” siapa yang membunuh harus dibunuh pula. Sedangkan Feurbach mengatakan bahwa hukuman itu harus bisa membuat jera para pelaku kejahatan atau menakut-nakuti calon penjahat ( afchfrikings-theori).

Menurut Dr. E. Utrecht SH, pertimbangan bagi pemerintah kolonial menerapkan hukuman mati adalah untuk menjaga kepentingan kaum elite atau “ The Rulling Class” Nah, ternyata pasal-pasal hukuman mati masih diadopsi oleh negri-negri eks jajahan guna melidungi kepentingan politiknya yang memang dalam masa balita masih sering kacau oleh pertentangan dan persaingan antar golongan dan ideologi. Bahkan di Indonesia pasca kemerdekaan, hukuman mati itu identik dengan hukum rimba. Siapapun yang dianggap melakukan makar akan dihabisi dan dieksekusi langsung. Sampai sekarang kita tak tahu siapa eksekutor lansung Tan Malaka, Kahar Muzakar atau Aidit.

Itulah makanya eksekusi mati terhadap enam orang yang dianggap gembong pengedar narkoba baru-baru ini , juga ada yang mengaitkan dengan teori negara sebagai “ instrumen” dari kelas yang berkuasa. Tentu saja dalam hal ini dihubungkan dengan keinginan untuk diakui eksistensi ketegasan dan kemahakuasaan negara, sekaligus mengingatkan mereka yang berseberangan untuk tidak main-main dan berlebihan melakukan hal yang tidak disukai negara. Termasuk merongrong kewibawaan penguasa dengan berbagai tindak kriminal dan ekstraordinary crime, seperti pengedaran narkoba, terorisme dan korupsi. Yang terakhir telah mulai diwacanakan untuk menghukum mati pelakunya.

Tentu saja hal di atas masih kontroversial, namun melihat negara sebagai sebuah instrumen kelas adalah sangat efektif untuk menggelorakan perlawanan yang masif dan efektif. Kita tidak bisa mengabaikan perspektif ini. Pada masa penjajahan, ISDV atau Sarekat Islam Merah alias PKI telah melihat negara, dalam hal ini pemerintah kolonial sebagai alat kaum kapitalis. Dan analisa sosial ini mengena serta menyentuh kepentingan kaum bawah, buruh dan tani. Dan juga di masa orba secara tidak lansung dipakai sebagai benper rezim pembangunan dalam menata setiap organisasi kedalam satu asas tunggal, yakni Pancasila dan mempetruskan para gali, gangster dan bromocorah yang dianggap membahayakan kewibawaan nasional.

Nah, issue Ham dibalik eksekusi mati para pengedar narkoba mancanegara terlalu abstrak untuk dimengerti orang walau tujuannya mulia. Kenyataan dilapangan memang ada 40 sampai 50 orang yang mati setiap hari oleh narkoba, begitu kata Presiden Jokowi. Perjuangan untuk sebuah “ moral state” biasanya dianggap tak menyentuh lansung kepentingan kongkrit masyarakat yang memang sangat membutuhkan ketertiban dan keamanan. Dalam istilah Kuntowijoyo, isue moral state, “ is too little, too late” untuk merespon masalah-masalah sosial yang kongkrit. Wallahu ‘alam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar