Senin, 11 Mei 2015

KEBUDAYAAN GALI LOBANG TUTUP LOBANG

Agaknya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa prosesi dan konfigurasi kebudayaan manusia di era millenium ini adalah intensifikasi dan diversifikasi kebiasaan “Gali lobang Tutup Lobang” manusia sepanjang masa. Sebuah manifestasi tipikal manusia yang suka petualangan, coba-coba dalam perilaku trial and error, merusak dan memperbaiki. Budaya tutup lubang gali lubang sepertinya bersifat genetik pada manusia. Dalam sejarah kebudayaan dunia diketahui kerap terjadi silih bergantinya pembangunan dan penghancuran kebudayaan akibat perang, suksesi dan rotasi kekuasaan secara intern atau dipaksaan dari luar. Perilaku vandalism kerap diperagakan sebuah rezim zalim pada sebuah bangunan kebudayaan yang luhur dan tinggi, lalu dibangun kembali oleh yang lain. Roma yang Agung pernah dibakar oleh kaisarnya sendiri yang berkarakter narsis, Nero. Padahal sebelumnya ia telah membangun kebudayaan dengan menggalakkan teater dan atletik. Para penakluk dan penjarah dari padang-padang gersang Asia Tengah, tentara mongol pimpinan Hulagu Khan meluluh lantakkan Baghdad hingga rata dengan tanah dan tak menyisakan artefak kebudayaan yang utuh, semua porak poranda. Tapi anak keturunan mereka berhasil membangun dinasti Moghul dengan ikonnya kaisar Akbar dan Taj Mahal, sebuah makan penanda cinta yang agung, besar dan tentu saja mahal.

Vandalisme kebudayaan sangat banyak bila diurut, sebanyak pembangunan peradaban dan kemanusiaan. Tegaknya eksistensi agama-agama monoteis di Timur Tengah di atas kepunahan kebudayaan Mani atau Zoroaster, adalah indikasinya yang nyata. Perambahan new frontier dengan mengabaikan batas-batas wilayah; border atau boundary oleh bangsa kulit putih, telah melenyapkan eksistensi kebudayaan tinggi Maya dan astec, serta kebudayaan Indian lainnya di sekujur Amerika. Di India, bangsa Aria membangun peradaban Hindu dan Budha setelah mengusir bangsa Dravida ke pojok selatan dengan meninggalkan bangunan kebudayaannya yang tak kalah tinggi di kota Mohenjo daro dan Harappa. Granada dan Alhambra kini tak berbekas di atas kebudayaan bola spanyol yang kini mendunia oleh dua ikonnya, Real Madrid dan Barcelona. Kebudayaan abad pertengahan yang agamis, emotif dan trancenden dijungkir balikkan oleh kebudayaan sekuler yang rasional imanentis.

Hanya di Indonesia kita bisa sedikit bernafas lega karena sirkulasi dan suksesi kekuasaan dalam sejarahnya tidak terlalu ganas dan menimbulkan dendam penghancuran kebudayaan. Buktinya, di antara ribuan Masjid yang ada di Nusantara, Candi Borobudur atau Prambanan tetap berdiri dengan megah. Istiqlal dan Gereja Katedral bisa berdiri saling berhadapan seolah selalu bersalaman dan bekerja sama membina para pemeluk teguh. Hanya Sutan Takdir Alisyahbana yang pernah mencoba teori diskontinuitas kebudayaan dengan menafikan kebudayaan Hindu dan merayakan kebudayaan Indonesia abad 20 sebagai titik tolak nasionalisme Indonesia. Belanda yang datang ke sini adalah para pedagang yang tak punya emosi dan selera budaya memadai, kecuali sedikit kalangan intelektualnya. Sehingga banyak khasanah budaya bangsa yang tak diobok-obok, sehingga terselamatkan. Para saudagar Belanda hanya berminat pada rempah-rempah dan komoditas yang laku di pasar Eropa saat itu. Bahkan Inggeris yang dianggap oleh Napoleon sebagai “Nation of Shopkeepers” lewat Gubernur jenderalnya telah membuat buku ‘ The History of Java’ dan meninggalakan kreasi sebuah kebun yang raya di Kota Bogor, sekitar istananya dulu.

Vandalisme Hulagu telah dilupakan dan telah dilakukan restorasi pada hasil kebrutalan mereka. Namun tentara Amerika yang melabrak Baghdad pada tahun 2003 telah melakukan pengrusakan lagi dengan menjarah benda-benda budaya di musium yang ditemuinya. Prilaku mereka yang seperti bangsa barbar sejatinya bukan buah dari kebijakan Amerika yang seolah tak perduli kebudayaan. Tapi itu adalah konsekwensi dari perang yang buta. Dari dulu sampai bad 20, perang pasti menyisakan penjarahan dan kebrutalan karena karakter perang yang keras dan meluapkan emosi chauvinistis atau etnosenrisme. Dua perang dunia, militerisme Jepang, perang Korea dan Vietnam telah meninggalkan tragedi kemanusiaan yang tiada tara akibat kebijaksanaan yang minus tilikan budaya dan kemanusiaan.

Perang sepanjang sejarah kemanusiaan adalah manifestasi libido kepahlawanan dan kekerasan di jiwa manusia. Jika perang dijalankan secara kolektive serta wujud penegakan martabat sebuah bangsa, dan itu sering tidak bisa dihindari karena kita tak bisa mengontrol faktor eksternal secara penuh. Maka maraknya kekerasan – fisik, simbolis dan sex- intern bangsa yang dilakukan orang tua, para remaja serta anak-anak adalah akibat kesalahan dan kelengahan policy pemerintah belaka yang seperti cuek pada keruntuhan moral serta nilai-nilai luhur sebuah bangsa. Kita tidak melihat bahwa kekerasan seksual oleh para pelindung anak-anak – Guru, orang tua, paman, saudara- adalah bukti sifat kebinatangan yang meluas dan tak terkendali. Apa yang dilakukan pemerintah dalam upaya menurunkan intensitas variable utama penyebab maraknya budaya kekerasan tampaknya masih setengah-setengan serta bersifat ‘ tutup lobang gali lobang’ Tak ada komitment yang kuat untuk mau menutup lobang-lobang kejatuhan secara sinambung dan permanen. Kebijakan tambal sulam dan tak tersosialisasi dengan baik tidak banyak untuk berpengaruh pada penurunan kasus aneka kekerasan di masyarakat, yang ada telah dianggap cukup memadai untuk itu. Maka kekerasan terus berkelap-kelip di ruang penglihatan nan merisaukan.

Bukti bahwa pemerintah tidak ‘ngeh’ pada kemorosotan moral tersebut adalah minimnya regulasi dan implementasi yang membatasi penayangan media cetak dan elekronik serta internet yang mengeksposure dan mengekspose kekerasan, pornographi dan prilaku tak nonoh lainnya secara bebas dan terang-terangan. Seorang pakar budaya Cyber, Rulli Nasrullah mengutip Carter and Weafer, telah mengidentifikasi empat karakter kekerasan yang tampil di media masa secara bebas, utamanya di televisi. Unpunished violence; kekerasan yang tidak mendapat ganjaran, seperti perilaku para geng motor yang senantiasa diulang-ulang dan tanpa sadar telah mengendap dibenak kaula muda akan absahnya prilaku tersebut. Painless Violence ; adalah kekerasan yang melihat faktor korban yang menderita akibat kekerasan para hero dan idola pemirsa. Dalam hal ini kekerasan dalm segala bentuknya telah ditoleransi oleh publik. Dalam film action, perang, Cowboy atau kisah pendekar lokal, para protagonis dilihat sebagai pahlawan yang absah untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan dengan berbagai modus terhadap para penjahat. Tak perduli berapa jiwa manusia yang ditebas, ditembak atau dibakar sang hero, asal para antagonis kalah maka penonton akan bersorak sorai menunjukkn kepuasan pada kekerasan tersebut. Hukuman mati pada para penjahat beroleh legitimasi dan dukungan sosial. Dan kekerasan adalah sesuatu yang inheren dalam kehidupan jika ingin selamat. Makanya terhadap para istri yang dianggap jahat dan kasar, KDRT adalah sah.

Happy Violence adalah kekerasan yang menjadi sumber kesenangan, lucu dan menghibur. Anak-anak atau orang orang dewasa akan terpingkal-terpingkal melihat lagak-lagu Tom and Jerry yang saling jegal dan mengerasi satu sama lain. Pemirsa juga sering disuguhi oleh kekerasan dan kevulgaran para pelawak dalam berbagai cara dan gaya, verbal maupun dalam aksi. Pelawak yang disiram air dan lumuri wajhnya dengan tepung atau yang terjatuh karena didorong atau kesakita karena dipukul beneran semakin membuat asyik pemirsa lalu tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Heroic Violence adalah kekerasan yang dibenarkan karena heroisme seorang protagonis. Good guy selalu benar, meski telah menempuh aneka kekerasan dalam menumpas para penjahat. Oleh effek psikologis dan emosional yang tercipta dari film-film atau sinetron yang penuh kekerasan, sering timbul keinginan dibenak penonton untuk ikut memasuki adegan lalu menghajar sang penjahat.

Para pengritik atas penomena kekerasan yang merebak itu umumnya menghubungkannnya dengan pengaruh kebudayaan asing, dalam hal ini barat. Proses globalisasi selalu jadi kambing hitam. Dalam hal tertentu mereka tidak salah, apalagi jika mendasari pandangannya pada banyaknya film action dan cowboy dari barat atau Amerika yang beredar di Indonesia. Dalam hal ini kita telah bersikap tidak adil pada kebudayaan luar dan bersikap mencari kesalahan orang lain saja. Ini tidak menyelesaikan masalah. Apalagi ada banyak produk budaya yang dipasarkan di sini adalah ‘garbage’ di negara asalnya. Tapi kita selalu beranggapan bahwa apa yang datang dari luar buruk dari budaya sendiri itu selalu baik dan tak perlu dikritik.

Jika kita jeli menonton film-film barat dan mencari hal tersirat dan tersuruk, di sana juga ada penolakan yang nyata pada kebiasaan-kebiasaan negatif. Bahkan dalam film cowboy Bonanza yang dulu sangat populer di negri ini, kita bisa saksikan karakter-karakter yang baik dari keluarga Lorne Greene. misalnya putranya, cowboy yang tidak suka minum alkohol, si Hoss Dan Blocker yang memesan kopi dalam bar yang penuh asap rokok dan aroma minuman keras. Bahkan ketika diikat ditengah padang pasir tandus yang membuat orang kehausan, ia digambarkan tak mau minum alkohol seperti temannya Charli yang sama-sama menjadi tawanan dan diikat oleh penjahat bersamanya. Kesetia kawanan cowboy sadar, Gary Cooper dalam High Noon yang mencari pembunuh sahabatnya yang dilinchyng, yang berkata pada ganster di bar “ When you call me that – smile - . Tapi dalam kembaranya untuk menuntut balas, tak lagi tertarik pada ‘ drama of combat serta duel satau lawan satu melawan ganster seperti pada masa dia di film The Virginian. Atau sifat bertanggung jawab John Wayne dalam Teror in Texas yang berhenti menjadi sherif karena tak bisa melindungi sahabatnya yang dibunuh penjahat.

Namun di sisi kebaikan serta sifat manusiawi para cowboy di film-film western, toch pemerintah Amerika Serikat di era presiden Kennedy, menganggap film-film tersebut adalah salah satu faktor perusak citra kebudayaan Amerika, terutama yang tayang di televisi. Newton Minow, ketua Federal Communications Commisions ( FCC ), -Komisi Penyiaran Amerika, pendahulu KPI di Indonesia - di era Kennedy, ketika berpidato di depan para broadcaster Amerika mengatakan, “ ...What will the people of other countries think of us when they see our western bad men and good men punching each other in the jaw in between the soothing? What will the latin American or African child learn of America from our great communications industry? We cannot permit television in its present form to be our voice overseas......I can suggest same words that should serve to guide you : “ Television and all who participate in it are jointly accountable to the American public for resfect for the special needs of children, for community responsiblity, for the advancement of education and culture, for the acceptability of the program material chosen, for decency and decorum in production, and for propriety in advertising..... Program materials should enlarge the horizons of the viewer, provide him with wholesome entertainment, afford helpul stimulation, and remind him of the responsibilities which the citizen has toward his society.”

Kesimpulannya adalah tak satu pun negara di dunia, dulu dan sekarang, lewat formal pemerintahnnya yang mentolerir segala bentuk kekerasan dan perusakan kesehatan sosial melalui media komunikasi dan informasinya atau media penyiarannya. Hanya kepentingan bisnislah sejatinya yang telah mendirtorsi citra positif media masa yang ada, berganti citranya yang negatif melulu. Demi rating, dus demi menggelembungnya pundi-pundi pemilik media dan para pebisnis, apapun kini bebas mengada di sana. Tenggelamlah fungsi edukasi, hiburan dan informasi media-media tersebut. Ketika pemerintah tak konsisten, adil serta objektif di bidang regulasi, tidak berani tegas pada pemilik media yang memang rata-rata politisi berpengaruh, maka media elekronik akan berpotensi besar menjadi penggali lobang kubur kematian kebudayaan, dan entah kapan bisa direstorasi lagi dan pulih.

Kita bisa menulis panjang efek negatif siaran televisi serta internet, disamping akibat positifnya, tapi untuk apa, karena sudah ratusan orang dan tulisan yang membahasnya di internet, koran dan majalah. Lebih baik saya angkat pengalaman seorang penulis naskah sandiwara, penulis dan novelis Amerika, Gore Vidal. Ia berhenti menjadi penulis naskah televisi karena melihat ekonomisme di sana telah begitu mengeksploitasi pemirsanya pada sesuatu yang palsu. Katanya, “ The advertisers make more money with junks; and since the right to exploit others in the interest of making money is the only right the average American would lay down his life, there will be little change in television,” Gore Vidal melihat iklan di televisi yang tidak sesui dengan kenyataan dan penuh rekayasa untuk menjebak konsumen, telah merebakkan karakter palsu secara meluas, yang disebutnya ‘ nasional tolerance of falsehood,’

Dengan iklan di media yang selalu mengusung ‘ heperrealitas’ atau realitas palsu, yang pertama kali dipelajari anak-anak tentang realitas sosialnya adalah “ kepalsuan” Mereka akan menganggap siapapun yang tampil di televisi, tak perduli ketulusan dan kejujurannya, sebagai suatu kepalsuan dan mereka tentu akan kehilangan sosok panutan secara permanen yang bisa tampil pada ‘ public scene’ Tentang hal ini Gore Vidal mengatakan, “ More often, once the children realize that the great industry is based on falsity, he will take it for granted that everyone and everything – at least on television- is just as false, and when the president of the united states succseds a commercial misrepresenting soap, he will take it for granted that the President is lyng too, in the interest of selling some political soap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar