Menapaki Jalan Sunyi Aba Patima...
Diposting tanggal: 06 Oktober 2010
Diposting tanggal: 06 Oktober 2010
Teks dan Foto : Abdul Muttalib
La ilaha Illallah...
Naleppang tappa’i tau dzi lino maindang dosa / Hanya singga di dunia meminjam dosa//Dosa Kindo’ Kama’andani riulle di suatang / Dosa Ibu Bapak sungguh berat untuk dipikul//Mandangganni boi tau dosa lao dzi tau laeng / Kita pun ikut menambah dosa baru ke sesama//
Demikian salah satu lirik sayang-sayang yang ditembangkan Ka’da (75) karib di panggil A’ba Patima saat bermain kacaping di suatu sore yang mendung, awal Okteber lalu. Lirik sayang-sayang yang mengajak kita merenung, memaknai hakekat hidup. Seolah menarik kita menapaki jalan sunyi nan hening.
Dengan antusias dan pola keramahan khasnya, A’ba Patima menyambut kami di rumah panggung miliknya dengan senyum yang tak pernah surut di raut wajah yang dibeberapa bagian telah menampilkan gurat keriput. Boleh dibilang usianya kini menyenja, namun semangatnya mempertahan kesenian kacaping khas Mandar tak boleh disangsikan.
“Nariangmo’ annapulo appe taung upogau di’e kesenian kacapinge’ (Sudah 64 tahun saya menggeluti kesenian kacaping ini),” katanya seraya menerangkan awal usia 11 tahun dirinya mulai karib dengan alat musik yang diakuinya banyak mendatangkan berkah. Tentu bukan dalam bentuk materi.
“Karana kacaping anna panginoang sayang-sayang mai’di’mi kappungnna tau uwita, maidi tomi tau dzisisasangang. Palluareang menjari mai’di’ (Berkat kacaping dan kesenian sayang-sayang, saya banyak melihat/mengunjungi daerah dan mengenal orang baru untuk mejaga tali silaturrahim,” ucapnya merendah.
Kemampuan A’ba Patima memainkan kacaping dan menembangkan syair sayang-sayang yang tidak hanya indah tapi juga banyak memuat seruan bijak para tetuah pendahulu di Mandar. Tak heran, jika dirinya telah beberapa kali diundang ke berbagai wilayah semisal; Kalimantan, Makassar dan beberapa daerah pelosok di Sulawesi Barat.
Sarat Makna
Jadilah suasana sore di rumah Panggung A’ba Patima yang berada di Desa Tammejarra, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar menjadi hangat. Sesekali di isi oleh letupan canda, sikap ramah dan kesahajaannya begitu memesona. Seperti ketika ditanya, apa dan bagaimana rahasia sehingga bisa melahirkan syair indah sayang-sayang dengan bebas, mengalir, lincah—sarat makna meski tanpa konsep?
“Ia rie’ sayang-sayang, paunna ate, dzipoloa membali (sayang-sayang dan saya hanyalah/ laksana media ungkapkan suara hati terdalam),” bebernya seraya mengembangkan senyum. Jika ingin belajar main kacaping dan sayang-sayang, pesannya, terlebih dulu mesti karib mengenal kacaping.
Tidak hanya mengenal dari segi bentuk materi kacaping, kayu, dan tali senarnya beserta syair puitik sayang-sayang. Lebih jauh, kacaping sanggup menjadi media untuk mengetahui khakekat hidup. Sebab menurutnya, dalam kesenian kacaping dan sayang-sayang sarat makna hidup. Mengajak kita taat dalam harmoni hidup yang menghidupkan.
Lima ga’ri’gi dibagian leher kacaping merupakan simbol lima waktu shalat yang merupakan media komunikasi seorang hamba kepada sang Khalik. Keharmonisan komunikasi ini mesti dijaga dalam hidup yang menghidupkan, layaknya memaknai simbol Ibu yang tengah menyusui. Simbol ini, bisa disimak dari cara duduk saat memainkan kacaping, yang mana, paha kiri diangkat seraya menimang kacaping laksana bayi yang sedang disusui.
Penjaga Energi
Inilah bukti, bahwa separuh hidupnya telah diwakafkan demi menjaga kelangsungan kesenian tradisi Mandar. Hal ini bisa dilihat saat A’ba Patima ikut mendirikan komunitas Assamallewung (2003-sekarang). Komunitas yang dipahami intens berjibaku dengan musik tradisi khas Mandar yang senangtiasa mengenalkan keragaman serta keunikan kesenian tradisi Mandar ke anak-anak dan generasi muda lewat egenda latihan musik bersama yang dilakukan.
Di luar aktifitas berkeseniannya, dirinya banyak meluangkan waktu untuk berkebun. Maklum, jarak kediamannya dengan beberapa petak kebun yang digarapnya cukup mudah disambangi. “Mua nandiang’bo’o meperoa mangino kacaping, manguma womi tau. Apa’ panguma memang dzi’ ita’ (Jika tak ada undangan atau ajakan bermain kacaping, saya kembali berkebun. Karena sebenarnya, saya adalah petani,” Urainya.
Begitulah sosok A’ba Patima, kapan waktu ditemui kala dihujani gemuruh tepukan dari penyaksi kepiawaiannya memainkan kacaping seraya melantunkan kidung indah sayang-sayang yang sarat pesan moral. Tapi di lain waktu dirinya menapaki jalan sunyi sebagai seorang hamba yang menjaga komunikasi dan energi kreatif dengan alam, sesama dan sang pemilik hidup. (s.
La ilaha Illallah...
Naleppang tappa’i tau dzi lino maindang dosa / Hanya singga di dunia meminjam dosa//Dosa Kindo’ Kama’andani riulle di suatang / Dosa Ibu Bapak sungguh berat untuk dipikul//Mandangganni boi tau dosa lao dzi tau laeng / Kita pun ikut menambah dosa baru ke sesama//
Demikian salah satu lirik sayang-sayang yang ditembangkan Ka’da (75) karib di panggil A’ba Patima saat bermain kacaping di suatu sore yang mendung, awal Okteber lalu. Lirik sayang-sayang yang mengajak kita merenung, memaknai hakekat hidup. Seolah menarik kita menapaki jalan sunyi nan hening.
Dengan antusias dan pola keramahan khasnya, A’ba Patima menyambut kami di rumah panggung miliknya dengan senyum yang tak pernah surut di raut wajah yang dibeberapa bagian telah menampilkan gurat keriput. Boleh dibilang usianya kini menyenja, namun semangatnya mempertahan kesenian kacaping khas Mandar tak boleh disangsikan.
“Nariangmo’ annapulo appe taung upogau di’e kesenian kacapinge’ (Sudah 64 tahun saya menggeluti kesenian kacaping ini),” katanya seraya menerangkan awal usia 11 tahun dirinya mulai karib dengan alat musik yang diakuinya banyak mendatangkan berkah. Tentu bukan dalam bentuk materi.
“Karana kacaping anna panginoang sayang-sayang mai’di’mi kappungnna tau uwita, maidi tomi tau dzisisasangang. Palluareang menjari mai’di’ (Berkat kacaping dan kesenian sayang-sayang, saya banyak melihat/mengunjungi daerah dan mengenal orang baru untuk mejaga tali silaturrahim,” ucapnya merendah.
Kemampuan A’ba Patima memainkan kacaping dan menembangkan syair sayang-sayang yang tidak hanya indah tapi juga banyak memuat seruan bijak para tetuah pendahulu di Mandar. Tak heran, jika dirinya telah beberapa kali diundang ke berbagai wilayah semisal; Kalimantan, Makassar dan beberapa daerah pelosok di Sulawesi Barat.
Sarat Makna
Jadilah suasana sore di rumah Panggung A’ba Patima yang berada di Desa Tammejarra, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar menjadi hangat. Sesekali di isi oleh letupan canda, sikap ramah dan kesahajaannya begitu memesona. Seperti ketika ditanya, apa dan bagaimana rahasia sehingga bisa melahirkan syair indah sayang-sayang dengan bebas, mengalir, lincah—sarat makna meski tanpa konsep?
“Ia rie’ sayang-sayang, paunna ate, dzipoloa membali (sayang-sayang dan saya hanyalah/ laksana media ungkapkan suara hati terdalam),” bebernya seraya mengembangkan senyum. Jika ingin belajar main kacaping dan sayang-sayang, pesannya, terlebih dulu mesti karib mengenal kacaping.
Tidak hanya mengenal dari segi bentuk materi kacaping, kayu, dan tali senarnya beserta syair puitik sayang-sayang. Lebih jauh, kacaping sanggup menjadi media untuk mengetahui khakekat hidup. Sebab menurutnya, dalam kesenian kacaping dan sayang-sayang sarat makna hidup. Mengajak kita taat dalam harmoni hidup yang menghidupkan.
Lima ga’ri’gi dibagian leher kacaping merupakan simbol lima waktu shalat yang merupakan media komunikasi seorang hamba kepada sang Khalik. Keharmonisan komunikasi ini mesti dijaga dalam hidup yang menghidupkan, layaknya memaknai simbol Ibu yang tengah menyusui. Simbol ini, bisa disimak dari cara duduk saat memainkan kacaping, yang mana, paha kiri diangkat seraya menimang kacaping laksana bayi yang sedang disusui.
Penjaga Energi
Inilah bukti, bahwa separuh hidupnya telah diwakafkan demi menjaga kelangsungan kesenian tradisi Mandar. Hal ini bisa dilihat saat A’ba Patima ikut mendirikan komunitas Assamallewung (2003-sekarang). Komunitas yang dipahami intens berjibaku dengan musik tradisi khas Mandar yang senangtiasa mengenalkan keragaman serta keunikan kesenian tradisi Mandar ke anak-anak dan generasi muda lewat egenda latihan musik bersama yang dilakukan.
Di luar aktifitas berkeseniannya, dirinya banyak meluangkan waktu untuk berkebun. Maklum, jarak kediamannya dengan beberapa petak kebun yang digarapnya cukup mudah disambangi. “Mua nandiang’bo’o meperoa mangino kacaping, manguma womi tau. Apa’ panguma memang dzi’ ita’ (Jika tak ada undangan atau ajakan bermain kacaping, saya kembali berkebun. Karena sebenarnya, saya adalah petani,” Urainya.
Begitulah sosok A’ba Patima, kapan waktu ditemui kala dihujani gemuruh tepukan dari penyaksi kepiawaiannya memainkan kacaping seraya melantunkan kidung indah sayang-sayang yang sarat pesan moral. Tapi di lain waktu dirinya menapaki jalan sunyi sebagai seorang hamba yang menjaga komunikasi dan energi kreatif dengan alam, sesama dan sang pemilik hidup. (s.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar