Kamis, 15 Agustus 2013

SENI YANG ISLAMI

Allah itu indah dan mencintai keindahan. Statemen Ini adalah bukti relasi Islam dan kesenian yang otentik serta bernuansa spritual. Konfirmasi secara empiris kita dapatkan dari kisah Raja Harun al Rasyid yang memelihara dan gemar pada seorang sufi seniman nan cendekia, Abu Nawas. Sudah tentu raja terbijak dinasti Abbasyah itu faham betul bahwa peranan intelegensi seorang seniman yang ada di belakan pengalam seni, dapat mempengaruhi jiwa manusia. Pengalaman di dunia seni secara spontan sanggup memperkaya jiwa kita dan mempesona indra.

Sebagaimana semua aspek kebudayaan Islam, maka menurut Al-Faruqi, Seni yang berlabel Islam harus berlandaskan Qur'an dan pandangan dunia Tauhid yang merupakan inti dari ajaran Islam untuk mengantar kesadaran pada ide transendensi. Seni Islam ialah segala produk historis yang memiliki nilai estetis yang telah dihasilkan oleh orang-orang muslim dalam kurun sejarah Islam dan berlandaskan Tauhid.

Selama bulan Ramadan dan Idul Fitri tahun ini, hampir tiap saat kita disuguhi dengan produk kesenian Islami yang berpretensi dakwah sekaligus komersial. Dari mulai sinetron, lagu-lagu, puisi, musikalisasi puisi sampai pada pembacaan Qur'an yang mengalun indah. Dari keasyikan menikmati keindahan seni Islami yang membanjir itu, kita sering lupa bertafakkur bahwa kadang apa yang tersaji indah dari entitas seni dan agama itu kerap saling bertabrakan dalam performansnya. Mungkin karna terlalu bersemangatnya kita memproduksi dan tampil sehingga melupakan segi-segi esensial dari keduanya. Kemudian bercampur begitu saja seolah merupakan keutuhan, padahal saling meniadakan. Sehingga berakibat pada rendahnya mutu kesenian dan terabaikannya aspek-aspek religiousitasnya.

Jika kesenian tersubordinasi pada agama maka dampak negatifnya adalah ruang gerak kesenian seperti terpasung karna hakekat kesenian yang mengisyaratkan kebebasan mencipta terganggu oleh ingatan pada norma-norma agama. Akibatnya adalah sebuah produk seni yang kurang berkwalitas ditinjau dari sudut parameter kesenian. Dan dalam keadaan begini, citra agama juga ikut terbawa-bawa jadi dianggap sebagai pro pada kerja asal goblek dan tak mutu. Padahal Islam selalu menghimbau untuk selalu meningkatkan kwalitas Iman, Islam dan Amal atau pekerjaan.

Sebaliknya, kesenian juga kerap merendahkan agama dengan pernyataan-pernyataanya yang mengacaukan ajaran-ajaran agama, misalnya kekacauan semantik. Yang keblinger bila hasil seni bercorak agama itu disucikan jadi seolah-olah sebuah ibadah. Di sini akidah akan mengalami keterancaman. Walaupun sebenarnya kesenian model ini bermaksud membesarkan kharisma agama lepas dari kejumudan.

Barangkali jalan yang terbaik untuk mengatasi dilema tersebut diatas adalah dengan lebih memperbanyak kajian-kaijin tentang kesenian Islam di lingkungan keagamaan dan tak terlalu sembrono dan bernafsu berdakwah lewat kesenian sebelum yakin betul akan sifat dan hakekat kedua entitas yang penting tersebut. Mungkin masalahnya bisa digambarkan dengan ungkapan pribadi ini " Agama tanpa kesenian kering, kesenian tanpa agama kurang." Wallahu 'Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar