Jumat, 16 Agustus 2013

PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN

Setiap tanggal 16 Agustus, para Presiden RI sejak Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono pasti berpidato di depan parlemen sebagai sebuah ritual dan disiplin guna menyampaikan capaian-capaian dan harapan-harapan kedepan.yang ingin diwujudkan bangsa ini.

Pidato Soekarno akan selalu membuat para anggota parlemen dan hadirin terkesima dan terpesona lalu tanpa sadar akan memberi tepuk tangan yang rame dan meriah tulus atau dipaksakan., maklum bangsa kita masih kental dengan budaya carmuk dan ABS. Tapi kebanyakan akan diam-diam mengakui kehebatan retorika dan daya persuasi serta inspirasi sang proklamator yang disampaikan dengan bersemangat sehingga jadwal acara kadang molor karna keasyikan beliau pidato dan ketidak beranian panitia untuk menegur tentang durasi pidato.

Jika Sukarno bisa membuat seolah pidato menjadi sebuah entertaint dan atraksi yang mengasikkan, Soeharto sebaliknya, beliau mampu menyihir dan menghipnotis hadirin untuk menguap lalu tertidur. Itu karna pidato beliau yang suka lama berjam-jam, datar-datar saja tanpa emosi, dus membosankan. Tepuk tangan yang muncul seadanya dan terkesan dipaksakan. Namun anehnya tak satupun anggota parlemen dan petinggi yang mencela pidato model begitu kala itu, malah semua menyanjung dan memujinya lebih tinggi dari tugu monas.

Pidato tiga presiden berikutnya tak ada yang penting dicatat kecuali kelemahan gaya yang bersifat manusiawi sekali. Abdul Rachman Wahi acap membuat para hadirin kecewa dan kesal karna gayanya bak guru taman-taman kanak-kanak yang berlebih dengan nasehat dan petuah. Sedangkan Megawati biasanya penuh dengan apologia dan nostalgia. Beliau selalu merasa disepelelan dan disalah pahami. Maka yang muncul adalah pidato yang mirip-mirip curhat. Habibi akan selalu menekankan pentingnya demokratisasi yang akan sangat terkait dengan obsesinya membuat bangsa ini menjadi negara berkemampuan teknologi tinggi. Dalam benaknya hanya ada pesawat terbang, pesawat terbang dan pesawat terbang. Semua materi pidato andai bisa, akan diarahkan kesana. Maaf, ini hanya anekdot sepintas lalu tentang ciri khas dan gaya pidato para presiden.

Nah. Tadi baru saja kita mendengar pidatao kenegaraan SBY. Apa yang bisa kita petik dari padanya? Tentu saja tidak begitu banyak, karena pidato beliau SSB alias Sama Seperti Biasa. Selalu cenderung membangun brand atau citra. Pidatonya yang bersifat normatif kurang memberi impak menginspirasi serta sense of direction sehingga membuat para menterinya mau bergerak dan segera bertindak untuk mengatasi krisis-krisis kebangsaan yang sudah nyaris chaos. Pidato di era chaos harus mampu mendorong dan menggerakkan seperti pidato Barack Obama yang selalu mampu memberi solusi penyelesaian setiap masalah secara elegant dan inspiring sekali.. Dan para pembantunyalah yang akan mewujudkan ide dan gagasan Obama ke dalam program-program pencapaian.

Banyak hal yang membuat orang bertanya-tanya, apakah yang dipidatokan oleh SBY tadi telah sesuai dengan realita dilapangan. Misalnya dalam masalah pemerataan ekonomi, toleransi dan kedaulatan NKRI. Tentang keutuhan wilayah NKRI, rasanya masih menyisakan masalah yang bersifat latent. Mungkin karena situasi dan pendekatan di lapangan yang tak sesuai dengan aspirasi daerah yang bergolak. Masalah misleading ini dapat kita baca dari gencar dan maraknya pemberitaan tentang pengibaran bendera merah putih yang terkesan direkayasa di wilayah-wilayah rawan konflik, seperti di Freeport Timika, Lhok Seumaweh, blusukan penghijauan, pengobatan gratis serta pawai kemerdekaan di Alor wilayah perbatasaan dengan Timor Leste.

Ketika SBY bicara mengenai pemerataan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan, ada juga yang bertepuk tangan dengan nada terpaksa dan ragu-ragu. Hal ini menandakan bahwa ada yang salah di sana.Dalam masalah toleransi pada kaum minoritas, beliau seperti biasa hanya menekankan pada kata “ prihatin”. Dimana-mana selalu begitu, beliau hanya bilang prihatin saja pada masalah tersebut ketika berpidato. Padahal intolerani terjadi dimana-mana setiap saat. Pun dalam masalah renjana di Mesir, negara yang termasuk pertama mengakui kemerdekaan RI. Beliau hanya mengatakan agar semua pihak bisa menahan diri. Sementara mayat-mayat para demonstran sudah bergelimpangan dalam jumlah ribuan. Padahal AS dan beberapa Negara Eropa, apalagi Turki telah mengecam kebrutalan dan kekejaman rezim kudeta di Mesir..

Memang beliau selalu mengedepankan soft policy bukan hard approach pada kancah nasional dan internasional, tapi paling tidak dalam pidatonya, beliau bisa menampilkan wajah kepedulian dan rasa solider, tidak dingin-dingin saja dalam berbicara pada masalah tersebut. Malahan pada segala issu, beliau sama sekali tak menampilkan wajah kepemimpinan atau sense of krisis dalam rangka solusi. Hanya ketika beliau bicara pada apa yang telah dicapai, beliau sedikit bersemangat. Ini sisi positif dari pidato SBY tadi, tapi itu adalah hal yang sewajarnya karna tadi adalah pidato kenegaraannya yang ke sembilan. Dalam periode itu pasti ada yang telah berhasil dicapai dan berhasil diwujudakn.

Sebagai tambahan, ada yang ironis pada moment memberi selamat kepada para teladan. Itu karena salah seorang yang pernah mendapat predikat dosen teladan telah ditangkap KPK, Rudi Rubiyanto. Artinya yang menyesakkan adalah bahwa kita mesti hati-hati memberi predikat keteladanan kepada orang baik dan berprestasi. Jangan silau oleh prilaku luaran. Rudi konon naik kereta ketika mudik ke Bandung. Dianggap baik dan kapabel oleh Dahlan Iskan dan Jero Wacik. Tapi apa kemudian yang terjadi?, Rudi telah merusak citra para teladan yang sebenarnya masih langka dinegri ini. Dan terutama yang bisa kita petik maknanya adalah seorang baik dan teladan bisa juga rusak dan hancur dalam atmosfir dan lingkungan pemerintahan yang rusak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar