Senin, 20 April 2015

YAYASAN PELITA ILMU, PEKERJA SOSIAL DAN PEKERJA BUDAYA

Di tengah masyarakat acap kali kita menyaksikan peragaan sikap, passion dan kepedulian yang sangat luarbiasa dari seorang pribadi individu terhadap orang lain yang menderita; para korban bencana alam dan sosial, kelompok marginal dan terpinggirkan, kaum miskin kota dan pedesaan, anak-anak jalanan dan terlantar yang rentan, atau korban penyakit keras dan menular seperti HJV/AIDS. Sebuah pengabdian diri yang tiada tara di ranah kehidupan sosial, tiada mengingat diri sendiri untuk mengambil resiko demi kebaikan dan keselamatan orang lain. Pada bencana alam seperti tzunami Aceh, gempa Jokya, letusan-letusan Gunung berapi di seantero negri, banyak manusia malaikat yang rela terjun ke danger area demi memberi segala yang mereka mampu dan punya guna menyelamatkan nyawa, dan menentramkan hati banyak orang. Ada yang bersifat kolektif dan perseorangan, mereka inilah yang disebut relawan, ataupun pekerja sosial

Pekerja sosial dalam arti luas adalah seorang yang melibatkan diri dalam kegiatan pengabdian sosial; aktivis sosial yang didorong oleh keinginan untuk membaktikan jasa pada kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Mereka punya sifat-sifat ulet dan tekun, sabar serta penuh pengertian terhadap warga yang mengalami derita dan kesusahan. Namun terkadang dalam kerja-kerja beresiko itu, sering mereka tak menyadari hasilnya yang telah banyak mengurangi beban derita sesamanya, dan mereka memang tak menghitung-hitung apalagi menyatakan kepentingannya, hingga segalanya telah berubah menjadi lebih baik oleh berjalannya waktu.

Termasuk dalam kategori ini adalah para ulama, ustadz, guru yang penuh pengabdian, mahasiswa yang berdemonstrasi demi sebuah kebijakan publik yang lebih baik, ibu-ibu dan perseorangan yang peduli pada peningkatan kesehatan masyarakat. Dengan caranya masing-masing berusaha meringankan beban hidup sesamamya. Seorang yang menaruh kendi di depan rumahnya agar para pejalan yang kehausan bisa melepas dahaga hakekatnya juga seorang pekerja sosial. Seorang kaya yang membiayai perbaikan lingkungan guna meningkatkan taraf kesehatan warga, atau kaum intelektual yang memberi bimbingan dan counseling atau menulis tentang lingkungan atau metode pengentasan kemiskinan, juga termasuk pekerja sosial. Kelompok ini sering hanya berdasar pada niat baik belaka, tak terdidik secara formal dan terarah sebagai pekerja sosial yang profesional, mereka bukan ‘pekerja sosial terlatih’ ( trained social worker)

Mereka mendekati karakter Flolence Nightingale, ibu Theresia atau gadis Malala di Pakistan yang berani menempuh segala resiko yang mengancam keselamatan diri sendiri demi merawat orang sakit dan menderita di medan perang atau di jalan-jalan. Mereka tak terdidik sebagai pekerja sosial tapi rela menghabiskan usia, tenaga, dan waktu untuk menolong orang lain yang kesusahan. Florence Nightingale menjadi juru rawat di medan perang Crimea tanpa melihat bangsa, agama, tentara Inggeris dan Rusia dirawatnya secara sama, telaten dan penuh tanggung jawab. Berani menembus medan perang yang penuh desingan peluru demi menolong korban perang yang nyaris mati, invalid dan terluka parah. Ibu Theresa hanya seorang biarawati dari Albania pergi ke Calucuta India, untuk mengurusi fakir miskin dan penderita penyakit menular, beliau merawat mereka dengan tangannya sendiri serta hatinya yang putih bersih. Gadis Malala berani menantang kaum reaksioner demi akses pendidikan perempuan di negaranya.Tokoh-tokoh kemanusiaan inilah yang bisa disebut ibarat ‘ lilin’ yang demi menerangi orang lain rela dirinya luluh sendiri luluh dan mengabu oleh bakaran api. Dalam segala kiprahnya, mereka bersemboyan, “ Dalam segala pengabdianku aku melebur diri” ( Allus serviens ipse comsumor).
Para aktivis sosial kemanusiaan di atas jelas berbeda dengan kategori para ‘Pekerja Sosial Profesional’ yang telah terlatih dan memang memilih kerja sosial sebagai sebuah profesi. Sebagai seorang profesional dengan bekal pengetahuan yang memadai, mereka melakukan pekerjaannya secara lebih selektif dan terarah mendeteksi dan menangani masalah-masalah sosial yang mungkin timbul dalam setiap perubahan sosial yang disebabkan oleh projek pembangunan pemerintah. Mereka menetapka prioritas-prioritas dalam mengatasi dampak perubahan sosial dan lingkungan ( sosial and enviromental change) menimpa warga yang tak berdaya berbuat sesuatu guna menghindar dari perubahan –perubahan yang bersifat patologis.

Mereka lebih rasional dan jauh dari sentimen-sentimen sosial atau politik. Mereka tak pernah bicara masalah struktural atau ketidak adilan sosial politik. Mereka tekun melakoni gaweannya secara bertanggung jawab, profesional dan berdasar pada kaidah-kaidah ilmu yang mereka miliki demi mencari solusi bagi dampak perubahan sosial yang menggejala. Nah, disinilah saya melihat betapa luar biasanya pengabdian teman-teman di Yayasan Pelita Ilmu (YPI) yang sejaka awal tahun 90 an telah merintis dan memulai pekerjaan memberi penyuluhan, counseling dan penanganan medis dan sosial terhadap para penderita HIVAIDS atau para ODHA.

Bermula dari keprihatinan serta semangat idealisme untuk berbagi dan perduli, dua dokter dan staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Zubairi Djoerban dan dr. Samsuridjal Djauzi, di tahun 1986, sepakat untuk melakukan kerja sosial upaya pencegahan penyakit HIV dengan penyuluhan-penyuluhan pada beberapa sekolah menengah di Jakarta. Itu dilakukan setelah waktu kerja, biasanya pada hari sabtu, dan masih masih bersifat spontan dan coba-coba. Akhirnya setelah mantap dengan tujuan mulia menurunkan prevalensi penyakit HIV/AIDS di Indonesia, kedua dokter yang sangat berjiwa sosial itu, bersama ibu Sri Wahyuningsih, mendirikan lembaga sawadaya masyarakat yang bernama ‘Yayasan Pelita Ilmu’ guna mengefektifkan dan memaksimalkan kerja pencegahan dan penyuluhan penyakit HIV/AIDS.

Pada lima tahun pertama pendirian yayasan tersebut, pengurusnya dengan berbekal idealisme dan semangat pantang menyerah semata, berjibaku keluar-masuk sekolah-sekolah untuk memberi penerangan dan penyuluhan, dengan modal sendiri, mereka membawa peralatan peraga kampanye nya di setiap acara penyuluhan, seperti overhead proyektor, bahkan makanan dan minuman pun mereka tanggung sendiri. Pergerakan juga belum didukung dengan managemen organisasi yang baik dan terarah. Hingga sampai waktunya segalanya menjadi lebih profesional bagi YPI dalam melakoni kerja-kerja sosial mereka hingga kini. Tak terhitung sudah jumlah orang yang telah ditolong dan diselamatkan secara langsung dan tak langsung oleh YPI dari gempuran kekejaman penyakit HIV/AIDS yang belum juga menemu antinya yang sepadan, alias belum ada obatnya. Dan hingga tulisan ini dibuat, orang-orang mulia di YPI masih terus membaktikan dirinya guna menyuluh, mengobati, merawat serta menurunkan penderitaan sesama, khususnya mereka yang tergolong ODHA ( Orang Dengan HIV/AIDS).

Sejatinya apa yang telah dilakukan oleh YPI selama kiprahnya dalam penanggulangan penyakit HIV/AIDS, bukan saja telah melakukan pekerjaan yang bersifat sosial –medis belaka, yang focus di rana praktis dan kongkrit, tapi juga telah melakukan gerakan kebudayaan dengan berfokus pada perubahan dan pengayaan nilai-nilai etik, estetik dan intelektual. Sejak awal tahun 90 an, dengan menggandeng dan melibatkan penyanyi-penyanyi, artis ( Oppie Andaresta, Nurul Arifin, dll), group-group band, rock, pop, jazz atau country, YPI kerap melakukan diskusi-diskusi tentang perubahan perilaku kaum yang rentan dari pengaruh eksternal ini, guna lebih berhati-hati dan menghindari pergaulan dan prilaku seks bebas dan komsumsi narkoba sebagai jalan masuk tercepat terjangkit HIV/AIDS. Dibawah kordinator ibu Retno dan Anto Sumarsono ( keduanya sudah lebih dulu dipanggil Allah Swt) dari ‘Ikapari Country Musik’ dimana saya tercatat sebagai anggota dan aktivis, kami sering melakukan konser-konser amal dan penyadaran yang diikuti dengan diskusi-diskusi tentang penyakit HIV/AIDS.

Ikapari Country Music, dalam repertoirenya, tak pernah lupa mengangkat lagu-lagu country yang bertema anti drugs, cinta alam pedesaan, dan harmoni sosial yang lebih memberi ruang aktualisasi diri yang lebih sehat dan mencerahkan. Dan musik country yang kami usung, baik lagu-lagu barat ataupun yang berbahasa Indonesia, isinya tak akan jauh dari priskipsi-priskipsi kebaikan dan himbauan untuk tak larut dalam gejolak jaman yang menindih dan merusak. Protes sosialnya disampaikan lebih tenang, lembut, kadang secara implisit tapi menggugah, katimbang musik rock atau punk yang lebih heboh, vulgar dan keras. Di bawah ini sebuah bagian dari teks lagu country sederhana dari inspiratif dari Merle Haggard yang tak pernah lupa kami bawakan pada setiap konser:
OKIE FROM MUSKOGEE
W e don’t smoke marijuana in Muskogee
We don’t take no trip on LSD
We don’t burn our draft cards down on main street
Cuz we like livin right and bein free

I’m proud to be an Okie from Muskogee
A place where even squares can have a ball
We still have old glory down at th courthouse
And white lightning still the biggest thrill of all

We don’t make a party out of loving
We like holdin hands and pitchin woo
We don’t let our hair grow long and shaggy
Like the hippies out in San Fransisco do

.................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar