Minggu, 07 Juni 2015

KREATIVITAS, SEBUAH PERSPEKTIF

Ba’da keperkasaan era teknologi dan dominasi barang pabrikan yang merajai dunia, muncul era informasi dan pengetahuan yang disebut sebagai pemuncak sifat kreativitas anak manusia. Di level ini muncullah istilah ‘Industri Kreatif ‘ sebagi manifestasi ide-ide dan gagasan yang well informed dan knowledgeable. Kemudian dalam rangka pengembangan ekonomi, tiba sekondannya yang disebut ‘ Ekonomi Kreatif’ berbasis informasi. Adalah John Howkins yang pertama memperkenalkan istilah ekonomi kreatif. Dalam bukunya “ The Creative Economi : How People Make Money From Ideas” Howkins mengungkap fakta mukjizat ekonomi dunia baru untuk kenyataan berperannya produk-produk intelektual dan mendongkrak ekonomi Amerika Serikat dalam jumla ratusan triliun. Sontag semua negara di dunia mengekuti jejak Howkins dan Amerika untuk berkreatif ria sambil menanti keajaiban ekonomi berupa surplus dollar dari ceruk ekonomi dan industri kreatif yang diciptakannya.

Entah sudah berapa lama etos kreatif digadang-gadang oleh bangsa Indonesia, dipromosi, dimotivasi, diinspirasi, dibina, diusahakan dan dibiayai, namun tetap saja masih serasa segitu-gitu aje outputnya. Kreativitas yang mestinya menjadi dasar bagi segala bidang garapan hidup, tak kunjung meningkat dan membanggakan. Adanya kementerian Pariwisat dan Ekonomi Kreatif juga belum menambah daya kreatif manusia Indonesia. Sejak dicanangkannya pengembangan ekonomi kreatif oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudoyono di tahun 2006, disusul Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia pada 14 sub sektor industri kreatif, namun sampai kini, kita belum mendengar lahirnya karya-karya yang betul-betul kreatif, kecuali hanya aneka jenis inovasi, atau produksi baru saja. Dalam dunia seni paling banter kita hanya bisa menggubah, membuat, meramu, merangkai, menulis, mengarang sebuah karya seni.

Namun kita masih saja rajin bicara tentang budaya kreatif, ekonomi kreatif atau industri kreatif secara fals dan serampangan. Satu aplikasi komputer yang model dan mutunya masih dibawah standar, dikatakan sebagai tanda kreativitas, sebuah lagu yang biasa-biasa saja tapi laku di pasaran dibilang bukti kreativitas, puisi datar-datar saja yang banyak menerima tepuk tangan dan tempik sorak dibilang hasil kreatif, sebuah sastra parodi atau satire yang membuat orang mesem-mesem atau kecut hatinya, dianggap sebagai buah kreatif par excellence, berbagai kerajinan tangan atau seni kria yang laku dijual di dalam dan di luar negri dikatakan bukti kreatifitas bangsa. Akhirnya karena hasil-hasil itu yang dipuja dan dipuji sebagai penanda kreativitas, maka orang pun ramai-ramai berkutat dan karam di bidang yang begono saja, lalu sesumbar teriak ‘ Kami adalah generasi kreatif’.

Sederhananya, kreatifvitas itu adalah daya dan kemampuan menciptakan sesuatu wujud yang sebelumnya belum pernah ada. Itu bisa berwujud seni, teknologi, pemikiran atau apa saja yang baru, indah, bagus dan bermamfaat. Contoh kasus, sejak lahir, manusia sudah suka berekspresi, melukis atau menulis untuk mengkomunikasikan maksud-maksud hati dan pikirannya. Untuk itu manusia purba melukis di gua-gua, membingkai bayangan dirinya di pantai dengan garis, menulis kisah dan riwayat di batu-batu, lontar atau papyrus. Namun sejak bangsa China menemukan kertas dari belahan bambu untuk menulis dan menggambar, maka itulah adalah bentuk kreativitas yang genuine. Jika hasil-hasil karya yang dituangkan di kertas itu hanya bisa diduplikasi dengan cara manual, lama, dan terbatas, maka dengan penemuan mesin cetak oleh Gutemberg, karya-karya manusia bisa dibuat berlimpah, cepat dan menyebar kepelosok-pelosok dunia, itu adalah juga contoh kreativitas yang mempuni dan otentik.

Manusia kreatif sebenarnya adalah pencipta dasar-dasar teori atau konsep seni, ilmu atau teknologi, bukan yang yang tinggal memberi sentuhan inovasi atau memproduksi yang baru dari kreasi yang sudah ada. Bermula dari penolakan terhadap teori –teori cahaya ilmuwan Yunani seperti Phitagoras, Aristoteles atau Euclides, Ibnu Haytzam mulai dengan sebuah asumsi sederhana bahwa mata akan mengirimkan cahaya ketika melihat suatu benda , sehingga memungkinkannya untuk melihat benda tersebut. Maka lahirlah teori dasar cahayanya, “ penglihatan adalah hasil pengiriman cahaya yang memantul, kemudian cahaya itu kembali ke mata, hingga mata dapat melihat benda itu atau cahaya itu berpindah dari benda ang terlihat kepada mata.”

Dengan teori dasar tentang cahanya itu, Al Haytzam pun menemukan sebuah hukum yang berbunyi bahwa cahaya berjalan mengikuti garis lurusyang kelak akan menjadi dasar penemuan alat potret sinetron, atau film. Beliau juga sibuk beriksperimen dengan cermin cembung dan datar sebagai prinsip penemuan mikroskop, dan teleskop oleh ilmuwan Eropa seperti Francis Bacon, Johannes Kepler bahkan Galileo Galilea. Ibnu Al Haytzam, adalah Ilmuwan muslim yang lahir di Basrah di tahun 965 Masehi atau 354 Hijriyah. Ilmuwan besar Inggeris, Roger Bacon mengatakan bahwa semua ilmu pengetahuan yang dimilikinya bersumber dari Al Haytzam. Will Durant dalam bukunya ‘ The Story Of Civilisation’ serta Gustav Lebon dengan tegas mengatakan bahwa guru mereka sesungguhnya dalam bidang fisika adalah Ibnu Haytzam. Bahkan Thomas Edison, raja penemu dunia, boleh dibilang adalah murid atau penerus Ibnu Al Haytzam.

Jadi yang disebut manusia kreatif yang sesungguhnya adalah perintis atau penemu jalan atau pemberi dasar teori bagi seniman, ilmuwan untuk berkiprah. Bukan yang berasosiasi dengan kerajinan tangan, ketrampilan belaka, fashion, atau passion untuk hanya sekedar mengutak-ngutak ciptaan yang telah ada. Martin Cooper, penemu HP adalah inovator, sedang sang kreator adalah Alexander Graham Bell, penemu telpon. Bill Gates, Mark Zukerberg adalah inovator, sedang pencipta sejati adalah Charles Babbage yang menemukan komputer. Penemu ban yang anonim adalah kreator yang memungkinkan orang bisa berjalan jauh dan menggelinding sebelum menemukan bendi, becak, atau mobil. Kreator dalam bidang angkutan yang lain, pesawat terbang misalnya, adalah Ibnu Firnas atau Wright Brothers.

Di bidang seni musik, Bethoven, Stravinsky atau Claude Debussy, bagi saya hanyalah inovator atau penggubah musik atau lagu, karena mereka hanya bermain dan menemukan sesuatu di arus sungai nada –nada diatonik barat atau penerus prinsip sol mi sa si belaka. Mereka kreatif tapi dengan huruf ‘ k ‘ kecil. Mereka mungkin pencipta, tapi pencipta gaya dan rasa baru bermusik saja dengan tema dan judul yang berbeda-beda. Sedangkan kreator musik yang benar-benar baru dengan huruf K besar adalah Batara Endra yang menciptakan musik lima tangga nada khas Jawa, Slendro. Atau Prabu Jayabaya dan Prabu Banjaransari dari Pajajaran yang menemukan tangga nada Pelog. Atau siapa pun yang telah menciptakan tangga nada pentatonik, atau skala arab padang pasir, adalah pantas disebut kreator.

Dalam teori seni keindahan atau pilsafat keindahan ( estetika), yang disebut kreator sesungguhna adalah Plato, Aristoteles atau Emmanuel Kant. Plato menteorikan bahwa seni atau keindahan itu adalah penjelmaan dari ide mutlak yang ada di alam sana. Apa yang ada di dunia, di dunia empiris adalah mimesis belaka atau tiruan dari ide absolut, milik dewi keindahan di balik langit. Dunia dan semua keindahan padanya hanyalah bayangan, bukan esensi. Semua itu bisa dicapai dengan renungan, meditasi atau kontemplasi sebelum secara tiba-tiba orang mendapat ‘ ilham’ atau karunia dari atas untuk mewujudkan sebuah karya seni. Tapi Aristoteles memprotesnya dan membuat teori baru dengan mengatakan bahwa apa yang disebut keindahan itu adalah atribut atau sifat yang melekat pada benda itu sendiri. Rasa nikmat indah bisa dicapai manusia sendiri tanpa harus menunggu sebab-sebab metafisik. Peristiwa kesenian hanya penomena alam biasa. Tak ada yang gaib dan berlebihan, siapapun bisa mendapat pengalaman keindahan.

Immanuel Kant mendekonstruksi palsafah aristo tersebut dengan menolak kosep objektivikasi keindahan. Ia tidak menafikan empirisme seni , baginya cara itu hanya bercerita tentang ciri-ciri keindahan yang ada pada dunia pengalaman. Ujung teorinya adalah bahwa subjek atau manusia yang menikmatilah yang menentukan keindahan suatu objek. Pengalaman indah pada hakekatnya memberi kesenangan atau kenikmatan dan itu terletak di diri pengamat (subjek), tidak pada benda yang dinikmati ( objek). Dari pandangan Kant ini, nantinya akan mencul berbagai teori-teori ikutannya yang tentu tak bisa disebut ide Kreatif, tapi kreatif, seperti Romantisme, ekspresionisme atau impresionisme, kubisme, dll.

Na, apakah dengan mengemukakan cerita dan pandangan manusia kreatif sejati di atas, lantas para pegiat industri, dan ekonomi kreatif kita pandang tiada. Ya, ngga dong, mereka tetap penting dalam rangka pengembangan ekonomi dan tujuan kesejahteraan, tapi bukan dalam tilikan kebudayaan dan peradaban tinggi yang identik atau diasosiakan dengan hal yang sublim, murni, dan mendasar. Karena pada alam ini, kreativitas betul-betul ihwal otentik dan asli, bukan kretivitas yang telah terpola, menurut metode tertentu, diarahkan atau didorong-dorong oleh otoritas. Meski kreativitas ilmuwan dunia lama juga mengalami proses kondisioning, dan masa inkubasi, namun manusia-manusia kreatif di masa lalu benar-benar masih dalam taraf belum terkorupsi dan terkooptasi oleh libido ekonomi yang kelewat, dan penyalah gunaan teknologi yang akut demi tujuan-tujuan jangka pendek, materi dan kekuasaan. Lantas apa see tujuan jangka panjang manusia. Tentu saja sebuah dunia yang terbebas dari penindasan, kemiskinan, ketidak adilan, perang, persaingan ekonomi yang tidak sehat, serta berbudaya dan beradab. Jika sebuah sistem ekonomi-politik masih rajin bicara serta terobsesi oleh pengejaran angka-angka dalam besaran juta, milyar, triyun, milyar-triyun, triyun-triyun, maka siapa pula yang akan berpikir keras serta mau bekerja siang malam, berjibaku meluangkan waktu guna menemukan kreasi-kreasi besar dan abadi seperti Homerus, Mahabarata, Sutasoma, Nagarakartagama, La Galigo, Kalindaqdaq, Paradise Lost, Hamlet, Julius Caesar, Divinna Commedia, teori Gravitasi, Teori Relativitas umum atau khusus, hukum archimedes, mesin uap, komputer, internet, budaya cyber dan virtual, kontrak-sosial, Il Principle, San Min Chu I , atau Pancasila.

Dewasa ini banyak cara untuk bisa menjadi kreatif, dan pakar-pakar tentang itu telah bermunculan bak cendawan dimusim hujan. Kreativitas dikatakan bukan bersifat genetive, tapi ‘ Man Made’, tidak ada orang yang lahir otomatis kreatif, tapi bisa dibina dan dikembangkan. Jalannya antara lain dengan sikap bebas dan kritis, penuh cinta pada bidang tertentu dan tidak takut salah, dsb. Penemuan Tipe-X memang bermula dari kesalahan demi kesalahan seorang ibu yang bekerja sebagai sekretaris, lalu menemukan tipe-X untuk menutupi kesalahan mengetiknya. Tapi apa sebenarnya kreativitas itu?

James Harvey Robinson mengatakan bahwa pemikiran kreatif ( Creative Tought) itu bukan pikiran yang sibuk memikirkan diri dan kesenangan sendiri atau reverie. Atau Practical Tought, pikiran yang muncul dari keperluan untuk membuat keputusan praktis sehari-hari. Atau sejenis ‘Reasoning’ yang ngotot mempertahankan pendapat dan keyakinan diri sendiri. Menurut James Harvey, pemikiran kreatif adalah, kemampuan dan kemauan untuk melihat sesuatu itu berbeda, dan terbuka untuk melakukan rekonstruksi. Selengkapnya James berkata, “ In certain moods some of us realize that we are observing things or making reflections with a seemimg disregard of our personal preoccupations. We are not preening or defending ourself; we are not face by the necessity of any practical decision, nor are we apologizing for believing this or that. We are just wondering and looking and mayhap seeing what we never perceived before.”

Ketika Galileo tengan berjalan-jalan dengan santai dan tak bertujuan di kota kecilnya, Pisa di Italia, dengan tanpa sengaja melihat objek yang membuatnya terheran-heran dan sangat terpikat. Sebuah pergerakan berayun-ayun ke kanan dan ke kiri sebuah lampu yang digantung dengan rantai pada dinding tinggi sebuah katedral. Dalam pesona itu, muncul hal yang sukar untuk diterangkan, sebuah pemikiran kreatif pun muncul. Dia mengetest ayunan itu dengan detak jantungnya sendiri, dan dia berkesimpulan bahwa terlepas dari sudut gerak, periode pendulum adalah konstan. Dengan temuan dan kreativitas Galilieo Galilei ini waktu bisa diukur. Christian Huygens datang menyempurnakannya dengan pendulum jamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar