Sabtu, 06 Februari 2016

PENDETA DAN KELELAWAR

Aku bersebelahan rumah dengan seorang pendeta. Rumahnya yang juga berfungsi sebagai ‘rumah doa’ lebih sering memperdengarkan lagu-lagu jazz standar katimbang lagu-lagu rohani atau koor ala gregorian. Anak lelakinya yang bungsu memang sedang getol-getolnya belajar meniup saxophono dengan benar dari seorang guru musik yang suka jazz. Sang pendeta sendiri sering terlihat pergi entah kemana naik motor sambil menenteng gitar kopong yamahanya, mungkin akan berlatih musik duniawi atau lagu-lagu gerejawi bersama kolega atau para jemaatnya.

Pendeta itu memang sangat membumi katimbang melangit tinggi. Padahal aku dengar beliau adalah penganut sekte Pantekosta yang berkecenderungan mistik. Sekali waktu aku berjalan ke sebuah toko yang agak jauh dari rumah, tiba-tiba beliau datang dari belakang dengan mobilnya dan menawariku tumpangan. Sebenarnya aku bisa berjalan kaki saja, tapi aku terima juga tawarannya. Rupanya beliau mau pergi fitness dan main bulutangkis di sebuah gym atau gelanggang olahraga. Di perjalanan kami ngomomg ngalor ngidul, dari mulai kehidupan remaja, sosial budaya, politik sampai urusan perut dan selera makan. Dalam soal yang terakhir itu terkesan beliau sangat bersemangat membahasnya. Banyak sudah kuliner atau jenis makanan yang telah pernah dicicipinya, baik dari seantero nusantara maupun mancanegara. Dalam hal tersebut aku tidak merasa ada sesuatu yang aneh dan keheranan, maklum beliau itu berasal dari Minahasa yang dalam soal apapun kurang begitu mengindahkan tabu-tabu, termasuk dalam soal santap-menyantap.

Pada suatu malam yang mendung sehabis hujan ba’da isya, dari teras rumah aku melihat pak pendeta sedang berjalan mengandap-endap, seolah tak ingin langkahnya didengar oleh siapapun. Berhenti di sebuah pohon taman yang sedang berbuah, beliau tampak selalu mendongak ke atas, mengamati ranting dan pucuknya. Aku melihat ada banyak kelelawar alias paniki yang datang hinggap lalu terbang lagi bermanuaver untuk kembali atau menghilang di kegelapan malam yang mengelam. Tak lama kemudian pak pendeta mengambil sebuah jaring yang lalu direntangkan melebar tinggi sehingga berbentuk piramida terbalik. Pak pendeta memegang kedua ujung bambu yang sewaktu-waktu akan dirapatkan bila ada kelelawar yang turun menukik menabrak jaring.

Tentu saja aku tak ingin mengusik keasyikan pak pendeta dalam melakukan penjaringan mamalia terbang itu. lagi pula makhluk berwajah seram tapi lugu itu sangat peka pendengarannya, aku tak ingin mereka pada kabur mendengar aku datang dan menyapa pak pendeta. Aku hanya mengamati dari kejauhan, walau rasa ingin tahu begitu menggebu untuk bertanya tentang paniki, khasiat dan kiat menjaringnya. Aku menunggu sampai pak pendeta puas dengan jumlah tangkapannya dan mengaso. Satu demi satu kelelawar masuk dalam perangkap karena kebiasaannya yang suka terbang rendah setelah menyantap buah di pohon. Saat itu, aku taksir sudah ada dua puluhan kelelawar yang kejaring. Setelah aku melihat pak pendeta melipat jaringnya, aku lalu memghampirinya.

Sebenarnya aku tak terlalu buta tentang kelelawar, hanya kelelawarlah yang buta tentang aku. Waktu kecil di Majene, kampung halamanku, aku sering mendambakan kehadiran kelelawar di waktu malam untuk hinggap di pohon mangga rumah Kuduki, teman sepermainan. Mamalia terbang yang bernama latin Chiroptera itu memang gemar makan mangga. Aku dan teman-teman sebaya lainnya di waktu malam akan selalu dengan setia menunggu kelelawar menjatuhkan mangga dari ranting, baik utuh ataupun yang sudah digigitnya. Dan jika kami mendengar ada yang ber geletak jatuh ke tanah, kami akan segera berhamburan keluar dari persembunyian untuk berebutan mendapatkannya. Tak perduli apakah mangga beneran atau batu, memang seringkali ada teman yang iseng dan nakal melemparkan batu yang kami kira mangga. Kalau sudah begitu kami akan tertawa riang, juga sedih dan kecewa bila tak dapat mangga, atau mengejek teman yang hanya memenangkan batu.

Di masa kecil aku juga suka pada lagu Koes Plus yang berjudul Kelelawar, “ Kelelawar sayapnya hitam / terbang rendah di tengah malam / di atas dahan bergantungan /pagi-pagi mereka pulang. Dan tentu saja gemar menonton film Batman atau ‘manusia kelelawar, sekondan Superman dalam membasmi kejahatan. Di masa muda, teman-teman di daerah Cawang suka memanggang kelelawar atau paniki untuk jadi dorongan minuman keras yang dioplos campur baur di sebuah baskom. Kebiasaan itu masih berlanjut sampai kini oleh teman-teman yang terlambat dewasa itu, serta masih suka minum dan mabuk-mabukan. Tapi mabuk mereka tidak sampai rese’ dan membuat keonaran. Paling banter akan kuat dan bersemangat bernyanyi sampai pagi, dan membuat orang satu gang terhibur atau malahan tak bisa tidur. Konon daging kelelawar yang lezat dan berkhasiat mampu menahan hasrat agresivitas mereka.

Kelelawar adalah binatang penyerbuk dan penyebar buah dan bakal buah, pembuat pupuk, pembasmi hama serangga, juga pemangsa mencit sawah atau rumahan. Yang suka dimakan manusia dan enak rasanya adalah yang berukuran besar, biasa disebut kalong. Sejak manusia tahu khasiat dan kelezatan dagingnya, kalong pun diburu secara liar dan habis-habisan, sehingga habitannya pada rusak atau jarang terdapat lagi. Hilangnya banyak kelelawar berarti membuat pohon pisang tidak akan berbuah lagi. Tanaman-tanaman yang juga tergantung pada kelelawar untuk menghasilkan buah adalah durian, kapuk, petai, dll. Pokoknya yang bunganya menggantung akan disukai kelelawar. Perburuan kelelawar yang sampai ke gua-gua, justru akan mengembang biakkan keberadaan serangga hama dan nyamuk penyebar malaria.

Kelelawar pemakan buah dan nektar punya kebiasaan berlindung di pohon-pohon yang buahnya manis. Mereka bergelatungan di ranting-ranting. Ada juga kelelawar yang tidak suka gelantungan di pohon, tapi lebih suka memilih bersembunyi di gua-gua. Kesukaan utama kelelawar adalah buah, dan juga hama. Tapi ada juga yang suka mengisap darah segar binatang seperti sapi, domba dan kuda, bahkan mengisap darah manusia. Untung saja kelelawar yang mirip vampir itu hanya ada di Amerika Selatan. Kelelawar vampir tidak ditemukan di Indonesia. Paling banter yang ada kelelawar vampir palsu ( Megaderma spasma ) yang hanya suka memangsa tikus. Gigi seri dan taring kelelawar amat tajam, sehingga bisa dengan mudah merobek kulit atau pembuluh kapiler darah. Ngeri juga membayangkannya, namun karena kalong penghisap darah manusia itu tidak ada di sini, jadi ngga usah berdekatan atau bergaul dengan kelelawar yang sejatinya banyak gunanya bagi kehidupan manusia.

Menurut cerita pak pendeta, banyak memang teman-temannya yang begitu gemar menyantap daging paniki yang telah dimasak ricah-ricah. Mereka memburu paniki kemana saja, dan rela membelinya dengan harga mahal. Konon paniki yang gemuk, besar dan sehat , harganya bisa ratusan ribu per ekor. Kita bisa membelinya di pasar Jatinegara atau di pasar burung Pramuka. Tapi pak pendeta tidak seperti mereka yang begitu menggilai kelelawar untuk disantap atau dijadikan dorongan minum cap tikus; minuman keras khas Manado. Beliau menjaring kelelawar hanya untuk dijadikan obat asma atau bengek.
..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar