Minggu, 14 Februari 2016

AMPLIFIKASI MASA LALU : ANALOG VS DIGITAL

Bukan hanya generasi senja yang banyak berpandangan bahwa lagu-lagu atau musik jadul itu lebih enak dan hangat didengar, tapi banyak juga generasi STW alias setengah tuir, bahkan nak muda yang masih bau kencur juga beranggapan sama. Saya sering melihat dan mendengar sendiri anak-anak muda yang potongannya fungky atau sangat modis menyanyikan lagu-lagu jadul dari The Beatles, Rolling Stone, Kus Bersaudara, The Mercys, Panbers, Alfian, Erni Johan, Tetty Kadi, Aida Mustafa, Lilis Suryani, Anna Mathovani, AKA/SAS, Godbless, dsb.

Hanya kadang alasan atau argumentasi yang muncul sering sangat simpel dan sekenanya jika ditanyakan kepada kaum ‘jadulis itu dimana sejatinya kelebihan atau keenakan lagu-lagu jadul. Kebanyakan hanya menyorot pada segi syair yang katanya lebih bagus dan agak puitis, mengena di hati, sekaligusnada-nadanya lebih simpel dan melodius. Artinya, mereka hanya sekedar bicara dalam aspek seni ansich, jauh dari analisa yang lebih mendasar, menukik pada aspek ‘sound’ atau teknik serta hardware rekaman lagu-lagu jadul tersebut.

Dalam dunia rekaman tempo dulu, segalanya ditake dengan perangkat rekaman analog, dimana aspek rekayasa masih minim sekali di sana, kecuali pada tahap mixing atau mastering. Musik dan lagu direkam secara live dan jika terjadi kesalahan pada musik atau vocal, maka harus diulang dari awal lagi. Jadi para pemain musik dan penyanyi yang rekaman memang sudah harus piawai dari sononya. Karena sistem rekaman analog tak banyak melakukan rekayasa bunyi atau sound, dan kebanyakan hanya memakai dua track saja. Berbeda dengan rekaman dengan cara ‘digital’ yang multi track, dimana terjadi maksimalisasi kemampuan seniman secara instan lewat digitalisasi seluruh komponen perekam, serta alat musik.

Di era analog, jika pada outputnya ada suara suling, maka itu pasti input suara suling beneran, jika ada suara saksopon maka itu pasti yang asli. Memasuki era sinthesizer, Midi dan efek yang banyak, maka suara instrumen pun menjadi kehilangan kemurniannya, karena semua telah bisa disintesa atau dikombain lewat kehebatan eksplorasi, kreatifitas pemusik, serta techno minded dari musisi dan sound enginer atau opreter. Banyak kekurangan user bisa direlatifkan, dicut lalu diboost, dan semua kesalahan pada saat take bisa dilokalisir dan diperbaiki secara cut per cut. Lagi pula pemusik tak perlu memainkan musik sampai full bar, karena adanya metode copy.

Rekaman-rekaman jadul yang masih mengaung hingga kini, dengan segala freqwensinya yang meresonansikan kisah lama dengan indah, memang punya banyak keterbatasan. Tapi justru keterbatasannya itulah yang membuatnya menjadi musik yang lebih mendekati alamiah dan mencontek sifat dasar manusia yang penuh distorsi. Ambil contoh dalam soal amplifikasi. Ampli tabung yang digunakan seperti merk Marshal adalah jenis ampli yang bandel. Rewel dan mudah panas, dalam dirinya sendiri telah mengandung elemen-elemen distortif. Tapi para gitaris jadul sangat menggemari ampli tabung itu. dan hingga kini masih melegenda dan jadi idola dan buruan musisi-musisi berkarakter dan paham masalah sound. Apalagi jika ia disatu nyawakan dengan gitar Fender strato atau telecaster, dan juga organ Hammond B3 misalnya, maka time tunnel ke masa lalu itu akan kian lebar dan nyata.

Rekaman atau live musik sebesar apapun SPL atau amplitudonya, jika menggunakan amply tabung akan tetap saja enak dan hangat didengar di kuping dan dinikmati hati. Dengan hanya efek reverb dan distorsi yang melekat padanya seperti pada ampli Marshal, maka suara gitar melodi pada lagu-lagu judul akan menjadi aspek intrinsik dari lagu itu sendiri. Bahkan gitar pun seperti ikut bernyanyi bersuara dalam jiwa. Maka bagi Deep Purple, kita susah membedakan peranan seorang Ian Gillian dengan seorang Richie Blackmore sang gitaris. Mana yang lebih besar antara Achmad Albar dengan Ian Antono pada Godbless. Atau Erni Johan dengan seorang Zaenal Arifin misalnya. Skill pas-pasan dari pemain melodi Kus bersaudara, bahkan The Beatles, menjadi terdengar indah juga oleh bantuan sound amply tabung yang dipake. Perlu diketahui bahwa The Beatles lebih banyak menggunakan ampli merk Vox. Dan Rolling Stones pernah tour keliling Amerika dengan ampli Ampeg. Sedang musisi yang lain susah dipisahkan dari Marshal.

Tentang kepopuleran ampli Marshal yang justru dibuat oleh seorang pemain drum di Inggeris. bisa dibilang sama ketika orang bicara minuman kemasan yang secara pukul rata diidentikkan dengan Aqua. Atau mie instant dengan indo mie. Maka jika orang bicara ampli tabung, valve atau tube, maka orang akan ingat Marshal, bukan Mesa-Boogi, Orange, Soldano dsb. Multi efek atau rack sistem, bahkan efek distorsi atau overdrive dari boss hanya bisa menjadi seolah-oleh Marshal. Apatah pula yang bernama sofware Amply Tube yang bisa diakses secara gratisan di internet. Pokoknya semua yang selain Marshal apalagi ampli Solid State atau ampli modeling tak punya vibrasi dan efek masa lalu yang indah dan jernih.

Tentang efek, kendati musisi jadul dan pengidolanya kini gemar menggunakan efek, namun lebih sering pada efek dengan sistem analog juga seperti yang ada pada stompbooks. Sedang pada multi efek, di pre-ampnya ada model edit ampli Marshal tipe JCM ; 800, 900 atau 200, ada model sodano atau untuk Mesa/Boogie, tapi masih belum mirip benar dengan asli. Ada juga yang mengatakan mixer digital terbaru sudah terdengar natural karena angka sampling ratenya semakin tinggi, diatas 48 kHz. Tapi tetap saja hasil-hasil rekaman analog dikagumi orang, seperti yang ada pada pita kaset. Satu-satunya kekuatan dari rekaman sistem digital dalam bentuk CD atau VCD yang sukar ditandingi adalah fleksibilitas dan mudahnya untuk diduplikasi dengan kualitas konstan sebanyak apapun ia dicopy. Hal ini tentu saja menyenangkan hati para pembajak musik dan penggemar lagu gratisan. Hanya dengan modal ceban kurang untuk nongkrong di warnet, maka dalam waktu kurang dari sejam akan ada puluhan lagu bisa didownload dari Youtube atau web downloader lainya dengan kualitas sama rekaman aslinya.

Marshal atau ampli tabung betulan dengan modelingnya bisa dibandingkan dengan perbedaab antara The Real Emo vs The Poser Emo. Tanpa suatu kejelian yang tajam, maka kita susah membedakan mana musik yang betul-betul menekankan pada emosi dengan yang tidak. Lagu-lagu Simple Plan juga banyak emosinya, tapi mungkin lagu-lagu Embarace lebih kuat dan banyak unsur emosinya sebagai The Real Emo, seperti yang bisa ditangkap pada Natural Lawnya.

Tulisan ini adalah pandangan pribadi tentang musik beserta amplifiernya dan mungkin sangat subjektif dan mewakili sementara musisi. Jika sering dibahas ampli Marshal, maka itu tersebab penulis memang lebih sering melihat dan menggunakannya. Dan tidak untuk menafikan apalagi mendiskreditkan merk dan jenis ampli lain, tapi hanya sebuah tema unjuk rasa dan selera yang mendasari pada setiap persepsi musik. Atau sebuah sudut pandang yang bisa sangat ringkih bila dibaca oleh penggemar fanatik Mesa-Boogi atau Soldano misalnya yang eksistensinya juga seabreg-abreg di dunia ini.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar