Sabtu, 24 September 2016

DUNIA SELFI

Sejak mentas ke dunia, manusia sejatinya sudah punya kecendrungan mementingkan diri sendiri alias ‘selfi’. Cara pengasuhan dan buaian lingkungan akan sangat mempengaruhi kualitas dan kwantitas sifat tersebut. Anak yang kelewat disayang serta diproteksi oleh orang tuanya punya peluang besar menjadi selfi, bahkan berlebihan menjadi ‘narsis atau sifat memuja diri sendiri. Apalagi bila ia terlalu dimanja dn dituruti semua kehendaknya, maka serta merta ia akan melihat dunia hanya berpusat pada dirinya. Senantiasa ingin dipuji oleh dunia dan seisinya.

Dalam seri filsafat moral, sifat selfi atau egoisme pada taraf tertentu beroleh affirmasi positive. Terutama ia tumbuh subur di masyarakat yang mengidolakan kebebasan tanpa batas serta mengagungkan individualisme. Di negara-negara kapitalis barat, selfishme malahan dianggap sebagai ‘virtue’. Orang dituntut untuk secara total mengejar kebaikan bagi diriny sendiri. Artinya apa yang yang dianggap baik bagi individu, maka harus dikejar sekuat mungkin sehingga tercapai kebahagian atau kesenangan yang sejati. Paham moral egoisme jelas secara diametral bertentangan dengan sifat dan sikap ‘Altruism. Paham ini mengandaikan kebaikan bagi orang lain. Kesejahteraan bersama adalah tujuannya. Dan ini terutama dianut oleh bangsa-bangsa Timur yang masih memegang agama dan adat budayanya. Penganut Budhism berprinsip ‘Non Atman’ atau kemusnahan Ego. Orang Kong Hu Chu lebur dalam kebersamaan sosial. Dan Islam bahkan mencita-citakankan Rahmat bagi sekalian alam.

Saya katakan ‘ masih memegang agama dan adat budaya karena memang penetrasi cara berpikir barat begitu masif dan gencar sehingga menimbulkan juga aneka permasalahan dikubu timur, dan ancaman terhadap eksistensi budayanya sendiri. Ia terdistribusi dan tesebar secara cepat tanpa mampu ditahan secara memadai oleh orang timur. Sering dalam menghadapi serbuan cara hidup barat itu, bangsa-bangsa timur dikritik karena lebih bersifat defensif, passive dan banyak berapologia. Dalam kaitannya dengan permasalahan lingkungan misalnya, orang timur biasanya akan menunjukkan betapa akrabnya ia dengan lingkungan dimana alam dipandang dalam kesatuan harmonis dengannya. Bahkan dalam soal hak asasi, orang timur lebih mengedepankan harmoni sosial,untuk bicara tentang kewajiban sosial.

Akibat kemajuan teknologi komputer atau internet yang hebat dewasa ini, selfisme dalam bentuknya yang sederhana tapi menggemaskan kian meraja di masyarakat dumay, dimedsos-medsos, selfisme jenis eksibisionism itu oleh sementara pakar dikatakan sudah sampai ke level narsisme, seperti yang diterangkan dimuka tadi. Semua itu ditandai dengan kesukaan yang akut untuk mempertontonkan kehebatan atau kelebihan diri sendiri secara berlebihan dengan mengabadikan, memotret dan mengapload simbol-simbol pribadi ke FB, IG, Twitter, dll. Sampai kesempatan makan pizza pun harus diapload secara real time. Padahal sehari-harinya mungkin hanya makan nasi plus tempe goreng atau ikan asin. Ketika seseorang mulai mengapload potret dirinya dengan seperangkat perhiasan dan kemewahan disekujur tubuhnya, dan itu dilakukan secara beruang-ulang dan sering, maka dia telah memasuki dunia maya yang sesungguhnya. Dunia penuh ilusi yang kian membuat seseoran itu tambah terasing dari lingkungan dan diri sejatinya.

Apa yang salah dari perilaku yang tampak sederhana itu. jelas semua itu didasari oleh sifat mementingkan diri sendiri. Di sana ada pencitraan diri yang mengabaikan realitas dan jauh dari kejujuran dan kesederhanaan. Orang mulai tercerabut dari jati diri dan budaya masyarakatnya yang berangkat dari rasa kebersamaan dan sepenanggungan. Tapi terutama dalam selfisme itu, orang ingin dikatakan begini atau begitu, sesuai dengan khayalan, kemauan dan kepentingannya. Tanpa sadar orang yang selfinya kelewat alias narsis itu, telah melecehkan dan membohongi lingkungannya dengan tujuan yang tak pasti, sehingga pada taraf tertentu akan berlaku selfi dalam bentuk lain. Ketika orang sudah berpikir bahwa ‘ everything is me’, berkubang dalam Me Timenya dengan selalu show up di dunia cyber, maka di dunia lumrah akan mengejawantah dalam bentuk ketidak perdulian, mau menang dan kaya sendiri dan mengkorup segalanya.

Dari jaman kejaman dunia memang dipenuhi oleh sosok selfi. Ia bisa hainggap pada segala macam status dan usia. Dari orang biasa sampai kalangan raja atau penguasa. Di kota dan di desa, di timur dan di barat. Orang barat atau orang timur sama-sama punya kecendrungan selfi atau egoisme, hanya kadarnya yang berbeda. Kaisar Nero di Roma, oleh narsisme kekuasaannya tega membakar kota Roma. Mungkin dalam hatinya berkata, ‘saya kan yang membangun kota Roma, apa salahnya jika saya juga yang membakarnya’. Raja Perancis Louis ke XVI di masa ancient regime mengatakan ‘ L’etat Ce Moi’ atau negara adalah saya. Untung saja ia tak berkata Le Monde Ce Moi. Di Jerman, Hitler membangkitkan narsisme kolektif bangsanya dengan mengumandangkan ‘ Deucthland Uber Alles’.Jerman di atas segalanya. Maka ia pun berniat menekuk lutut dunia. Untung saja bisa cepat dihentikannya niat narsisnya itu.

Dan kini di mana-mana di dunia ini, juga di Imdonesia, orang berlomba-lomba untuk berperilaku selfi, narsisi. Bukan hanya di dumay tapi terlebih di dunia nyata. Tak terbayangkan akan ada pejabat-pejabat yang tega menilep uang Bansos, uang yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat, dimasukkan kantong sendiri, kantong kerabat dan sahabat karib. Sepertinya dunia dewasa ini adalah dunia selfi, di mana semua orang nyaris mementingkan diri sendiri saja. Tapi Tuhan punya cara sendiri untuk menyetop laju perkembangan orang-orang selfi . antara lain dengan menurunkan aneka bencana dan musibah. Yang teranyar adalah banjir bandang di Garut. Tiba-tiba saja di sana bermunculan manusia-manusia altruism yang terkesan mementingkan orang lain atau sesama. Banyak sukarelawan yang datang berjibaku menolong dan meringankan beban derita warga yang terkena amukan air, dimana banyak yang meninggal serta terluka, banyak yang mengungsi dan ratusan yang kehilangan harta benda dan tempat tinggal.

Tapi benarkah para penolong yang berdatangan ke Garut semuanya berhati penuh cinta dan tulus. Jangan-jangan banyak yang hanya seolah tampak mementingkan orang lain, padahal punya agenda tersembunyi , punya target-target pribadi atau kelompok, alias mementingkan diri sendiri. Memang sukar untuk menilai niat orang, karena ia bersifat sangat rahasia. Sikap bisa dibuat-buat, orang bisa pura perduli dan berempati. Wajah pun gampang disediih-sedihkan. Taruh saja bawang di mata untuk menampakkan airmata, beres.

Mungkin dengan melihat bentuk pemberian atau pertolongannya, maka kita dapat mendeteksi seberapa besar jiwa dan ketulus-ikhlasan para sang penolong.Jika yang datang hanya memberi sejumlah sumbangan berbentuk uang atau makanan, maka ia bisa jatuh dalam kategori orang altruism atau egois sekaligus. Bisa saja ia tampak peduli kepentingan orang lain yang menderita, namun berangkat dari niat mencari popularitas yang selfi banget. Bisa juga dilandasi oleh niat ikhlas tanpa pamrih. Tapi bila ia datang untuk memberdayakan para korban yang sakit, menderita, trauma, yang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan, maka ia pasti orang altruis sejati, orang yang sungguh mencintai sesama melebihi diri sendiri dan agen dari credo Islam ‘ Rahmat Bagi Seluruh Alam’.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar