Jumat, 07 Oktober 2016

JENDERAL NAGA BONAR : QUO VADIS?

Baru saja bergulir dalam sebentuk wacana yang dilontarkan oleh Panglima Gatot Nurmantio bahwa TNI baiknya jika punya hak politik agar tak merasa asing di negri sendiri, orang-orang sudah pada heboh, menimbulkan polemik yang tajam. Ada yang serta merta setuju, ada yang tidak, ada yang waspada, banyak yang takut, dan berbagai reaksi yang relevan. Lantas bermunculan usulan-usulan dan saran. Ada yang aneh, ada masukan positif, dan yang negatif. Yang menolak,pagi-pagi sudah mengatakan bahwa hak politik tentara itu akan memecah-belah serta berpeluang menimbulkan kekerasan dan pemaksaan. Yang setuju mengatakan bahwa tentara sudah dewasa, tak akan lagi melakukan hal yang mboten-mbotem. Orang yang sok bijak mengatakan bahwa tentara tak perlu mermilih dan dipilih, tapi tempatkan saja wakil-wakilnya di parlemen dengan jalan penunjukan...walah.

Bagi saya , yang lucu adalah usulan yang tampak bijak itu. karena yang lain harus bekerja keras,berdarah-darah, serta berkorban apa saja ; uang, waktu, harga diri dll, dalam rangka menjadi anggota DPR/DPD terhormat (?), kok ada yang maunya enak-enakan tinggal datang, duduk, diam lalu dengkur di Senayan. Mending sekalian dari nol, dari bawah, dipilih dan memilih jika tentara toch harus berpolitik,apapun resikonya. Namun jika dikatakan tentara akan membuat kekacauan jika berpolitik ria, rasanya itu berangkat dari pikiran pesimistis yang kehilangan sense of trust.

Kalangan apa see yang selamanya benar selama ini. Kaum sipil yang merebut panggung pasca reformasi dan mengklaim dirinya paling sah berpolitik sejatinya telah berubah menjadi kekuatan hegemonik dengan pelabelan diri yang maunya selalu benar, suci, beradab, dan kompeten di dunia politik. Maka dipeliharalah dikotomi yang ketat dalam kerangka oposisi binner ala Jacques Derrida dimana tentara diposisikan sebagai warga atau kategori nomor dua, marginal, atau tidak penting. Dalam antinomi Sipil – militer, yang pertama adalah serupa putih, tinggi, terang, lembut. Sedang yang kedua hitam, rendah, glap dan keras. Karena hal tersebut terus-terusan dipelihara dan dirawat, maka implikasi etis dan politiknya adalah munculnya hasrat emansipasi dan pembebasan kaum penyandang senjata.

Akan tetapi ketakutan pada datangnya aneka masalah jika wacana itu menjadi realitas, juga punya dasar. Bukankah tentara berjalan di atas prinsip perintah dan laksanakan. Artinya adalah suatu keniscayaan bagi tentara untuk tetap berada dalam koridor kesatuan komando. Ada masalah loyalitas di sana. Ada nanti keterpecahan antara pilihan pribadi dan institusi jika tentara memilih. Dalam politik praktis, pengerahan dan arak-arakan massa merupakan suatu keniscayaan. Dan ketika itu dilakukan oleh orang-orang berambut cepak dan berotot, tentu akan mengerikan sekali.

Adakah jalan keluar dari dilema itu. tentu saja selalu ada alternatif dalam segala masalah. Semua kini tergantung dari cara pembacaan kita pada teks-teks politik dan tentara. Jika politik dimaknai sebagai gawean perebutan kekuasaan belaka, maka usulan Panglima TNI itu sebaiknya dicoret saja dari papan tulis. Namun jika politik dirasakan sebagai imperatif menciptakan kebaikan bersama atau common bonum,maka kehadiran TNI di panggung politik justru akan lebih memberi asa yan lebih luas. Ketika tentara tak bertingkah seperti anak nakal dan lebih dewasa bersikap, atau sekalian menjadi pemilih dan pemimpin yang bertanggung jawab, adil. Jujur, berdisiplin sesuai dengan jati dirinya, prajurit Sapta Margan yang lahir dari rahim rakyat, maka langit harapan masa depan bangsa akan lebih terang. Bukankah barak tentara adalah kawah candradimuka kepemimpinan yang mumpuni dan wadah pendisiplinan yang teruji.

Jangan juga selalu memaknai TNI sebagai kekuatan militeristik belaka yang kerjanya suka melakukan kudeta, seperti di Thailand, atau di Turki misalnya. Mungkin di sana tentara lahir dari rahim ideologi tertentu, sehingga amat peka pada pergulatan kekuasaan. Situasi pertentangan ideologi sangat tajam, sehingga tentara bisa sewaktu-waktu mengambil alih panggung. Apalagi jila pemerintahan sipil juga sudah lemah dan meluasnya ketidak puasan di masyarakat, terutama pada tentara, seperti kemunculan Jendral Mustapa Kemal Pasha di Turki dulu. Ia mengambil alih kekuasaan dinasti Ottoman yang sudah dicap ‘ The Sick Man’ kemudian mensekulerkannya. Saat itu Turki muda memang tergila-gila pada ideologi yang datang dari barat. Tapi ketika pemerintahan sipil Turki kuat dan didukung luas rakyat, kudeta tentara terbukti gagal.

Indonesia juga pernah mengalami kegelisahan tentara di era tahun 50 an, akibat pemerintahan yang jatuh bangun dan tidak stabil. Mereka melihat kesalahan pada praktek Demokrasi Parlementer yang eksesif. Tentara yang dipimpin Jenderal Nasution telah mengarahkan moncong meriamnya ke Istana, toch gagal mencapai misinya untuk menyudahi demokrasi parlementer yang sudah dianggap kelewat liberal berkat kekuatan pemerintahan sipil Sukarno. Walau pada akhirnya ikut gerah juga lalu kemudian membubarkan konstituante dan kembali ke UUD 45 dengan sebuah dekrit.

Tapi di jaman ketika semua stakeholder bangsa dan negara telah setuju untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi tunggal yang mempersatukan, ditambah kemajuan teknologi imformasi yang advance, dimana dunia cyber telah nyaris menjadi segalanya, kecurigaan dan ketakutan pada kekerasan dan pemaksaan oleh tentara jika berpolitik agaknya kurang beralasan lagi, bahkan berlebihan. Justru pemimpin-pemimpin sipillah yang banyak bermasalah sekarang dalam aneka bentuk abuse of power, penyalah gunakan wewenang, korupsi dan berbagai tindakan tak terpuji lainnya. Sehingga rasanya kita perlu bersimpati pada Naga Bonar yang pada suatu hari bicara dan memohon pada patung Jenderal Sudirman untuk berhenti memberi hormat pada orang-orang di sekitarnya yang bagi Naga Bonar dianggap sudah keluar dari nilai-nilai perjuangan . Ya, memang film Naga Bonar jilid dua penuh dengan simbolisme dan contoh baik. Salah satunya adalah sikap Naga Bonar yang sampai mati mencintai negrinya serta amat bangga jadi seorang tentara kendati hanya seorang jendral-jendralan dan perlahan mulai terasing di ruang waktu Indonesia.

Menurut Jacques Lacan, kehidupan hanyalah perpindahan satu metafora ke metafora lain. Hal itu ada benarnya karna memang ada sutu masa dimana eksistensi tentara begitu dipuja lewat iconnya Jenderal Sudirman, yang dilukiskan sebagai pejuang sejati dan jenderal besar oleh ketulusan, kesungguhan perjuangan dan kecintaannya pada republik. Sehingga pada dataran rendah di tahun 60 an muncul sosok Kopral Jono yang dilagukan, yang menggambarkan betapa tentara telah menjadi idola dan digilai kaum hawa di masanya. Kemudian diikuti oleh periode dimana tentara menjadi begitu disamakan dengan gurita yang tega mencaplok sana-sini karena belalainya yang banyak dan panjang. Bahkan menjadi bastard alias diharamkan masuk dunia politik.sepak terjang politik dan kekuasaan Jenderal Soeharto adalah metaforanya yang otentik.

Tentu saja apa yang namanya metafora atau simbolisme masuk dalam wilayah metafisika yang sulit untuk diverifikasi kebenarannya secara objektif. Namun dibelahan dunia barat pun sosok prajurit atau jenderal banyak yang mencuat menjadi simbol keagungan, dan dimetaforakan. Napoleon, Montgomery, Truman atau Eisenhower, adalah tokoh-tokoh yang kata-kata, pidato dan tindakan heroiknya banyak dikutip dan dicatat untuk dijadikan suluh bagi kehidupan pribadi atau institusi. Konon sebuah perusahaan besar bisa bangkit lagi dari keterpurukan karena mempraktekkan pidato Montgomery pada saat persiapan mengalahkan Jenderal Rommel di gurun pasir Sahara. Sedang kata-kata Harry Truman di medan perang Pacifik telah menjadi abadi “ I Shall Retun’

Justru sosok-sosok pemimpin sipil banyak yang menjadi metafora keburukan dalam sejarah, seperti Hitler, Mussolini, Stalin, Kruschev atau Benyamin Netanyahu. Stalin misalnya, tidak hanya disejajarkan dengan Geghis Khan,penakluk dari Asia Tengah yang kejam dan bengis. Tapi telah dianggap sebagai The Madman. Gerald W. Johnson dalam bukunya ‘ Communis, A Study of Revolution’ menulis “ Joseph Stalin is not easy to describe. He had some of the qualities that go to make a great man, and many of those that go to make a villain. When he first came to power they were pretty evenly balanced, and it my be that the elements of greatness in his character weighed slightly more than the elements of villainy. In the Second World War his grim refusal to admit defeat was of tremendous value. But as time passed he grew worse and worse , instead of better and better, until at the end of his life there were strong reason for believing tha he was insane’” Agaknya setiap pemimpin dari berbagai kalangan dan latar belakang, sipil atau militer, bisa juga hidupnya berproses seperti Stalin.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar