Sabtu, 17 September 2016

DEMOKRASI DI SIMPANG JALAN

Jangankan di Indonesia, di negara-negara yang sudah lama menganut paham demokrasi pun sering mengalami banyak masalah pada dataran prinsip dan implementasinya. Sebagai suatu tatanan sosial yang mengandaikan keteraturan publik serta kebebasan dari struktur-struktur dominatif dan totalitarian. demokrasi prosedural yang mengarah kepada masyarakat yang egaliter, berkeadilan dan manusiawi belum sepenuhnya bisa tercapai atau dipraktekkan secara konsekwen dan konsisten.

Demokrasi yang mensyaratkan kebebasan dan persamaan sepertinya sukar terealisir di negara-negara pendukungnya. Partisipasi dan kompetisi yang sehat antar warga untuk meraih hidup sejahtera dengan cara memilih wakil-wakilnya di parlemen atau para pemimpin yang akan memperjuangkan nasibnya, sudah jarang mengemuka. Suara rakyat sudah tak digubris, dan merosot nilainya. Suara rakyat bukan lagi suara Tuhan, tapi suaranya pemilik uang, penguasa maupun pengusaha. Sejak ekonomisme merambah kegala bidang kehidupan, dimana ukuran segala sesuatu dihitung dengan uang, maka demokrasi pun terdegradasi sampai ke titik yang paling nadir. Sementara kebebasan berbicara, berorganisasi serta kebebasan pers sudah kebablasan, mencapai inflasi yang sangat tinggi, sehingga tidak lagi mencerminkan moralitas publik yang membanggakan..

Di negara-negara Eropa yang banyak menyebut dirinya sebagai kampiun demokrasi, diskriminasi atas warga negara pun kerap terjadi, prinsip persamaan dan keadilan sering diperkosa ketika ego rasial dan agamis yang mengemuka. Sedang di negara kaya atau kapitalis par excelent, demokrasi akan menjadi korban yang pertama jika keinginan untuk berjaya memberangus logika. Di Amerika dewasa ini, kemunculan tokoh calon presiden yang minim etika dan toleransi atau persamaan warga negara kini didukung habis oleh sebagian besar rakyatnya. jika sang kandidat berkuasa, maka jangan harap kaum hispanik atau agama minortas semisal Islam akan beroleh ruang bernafas yang memadai, akan selalu dicurigai. Belum lagi jika muncul masalah yang menyangkut kepemilikan, duit atau kapital, maka seteru di bidang itu akan, dimata-matai, diberi label aneh, diberi stereotipe buruk, dituduh macam-macam lalu digebuk remuk. Lihat saja manuver AS atau Rusia di Timteng yang kaya minyak. China dan AS saling berebut pengaruh dan sumber-sumber di Laut China Selatan.

Sejatinya demokrasi dulu dan sekarang akan selalu berpijak pada budaya dimana ia hidup. Demokrasi bisa berwajah kolektivisme, bisa sangat individualisme seperti di Amerika Serikat. Jepang sebagai penganut demokrasi atau monarki konstitusional senantiasa mengedepankan konsep budaya ‘Wa’ yang mengidealkan harmoni dan kohesi sosial yang eksesif. Di sana jika ada paku yang menonjol di dinding akan dipalu. Kebebasan berbicara sangat minim, malah tak dianjurkan. Orang lebih disukai untuk lebih banyak diam. menepi, menyendiri, dan bermeditasi. Sedangkan demokrasi di Korea berdampingan dengan prinsip ‘Inhwa’. Dimana hubungan hirarkis atas-bawah begitu kental, serta kepatuhan kepada penguasa atau otoritas bersifat mutlak.

Bagaimana dengan China. Jangan ditanya lagi. Kendati sejak Deng Xiaoping atau Presiden Jiang Zemin mengalami kemajuan pesat karena mencoba membaurkan komunisme dengan kapitalis, demokrasi substansial dengan demokrasi prosedural. Di sana ada konsep Guanxi yang mengandaikan hubungan pribadi dalam konteks ekonomi dan so pasti dalam politik yang akan memunculkan ceng li atau prilaku TST yang penuh kerahasiaan. Lagi pula orang China lebih percaya kepada Fengsui yang mengandalkan sabda alam katimbang suara manusia atau Tuhan sebagai penentu kebijakan dan nasib manusia. Jadi di sini komunis ataupun demokrasi sama-sama merana. Hanya di wilayah Hong Kong gerakan pro-demokrasi berjaya di pemlu baru-baru ini.

Ada keyakinan dari sementara pakar bahwa proses demokrasi punya korelasi positif dengan pembangunan ekonomi. Demokrasi yang partisipatif dan egaliter serta mengedepankan hukum dan etika akan mensejahterakan rakyat. Sebaliknya pembangunan ekonomi akan memicu keinginan rakyat untuk lebih berdemokrasi. Namun apa lacur, di beberapa negara peningkatan ekonomi justru memunculkan rezim otoritarian. Itulah yang telah terjadi di beberapa negara Arab, Amerika latin dan Asia Selatan atau Timur. Demokrasi di negara-negara ini hanya sebatas jargon, slogan dan instrumen legitimasi kekuasaan belaka.


Di Indonesia yang telah menempuh jalan demokrasi sejak awal berdirinya, demokrasi juga sering dibajak sehingga tak berjalan sebagaimana mestinya. Baru-baru ini seorang pengamat politik dari LIPI, Indra Samego menyimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia masih lemah dan bersifat elitis. Lemah karena orang yang maju sebagai wakil rakyat lebih mengedepankan prinsip ekonomi katimbang motif ideal memperjuangkan rakyat yang diwakilinya. Sementara para pimpinan politik takut untuk ‘lost office’ ingin selamanya bertengger di puncak menara kekuasaan. Tidak memberi peluang mobilitas dan dinamika partai yang sehat. Sehingga menciptakan elitisme.

Memang sejatinya di alam demokrasi ini, kita masih saja mengalami apa yang dinamakan oleh seorang psikolog sebagai ‘transferensi’. Dimana kita masih terus mendapatkan transfer pemikiran atau ide-ide masa lalu secara sambung menyambung serta slilih berganti. Kadang dipengaruhi oleh cara berpikir ‘Orla’ kadang cara berperilaku ‘Orba’. Sehingga kita bingung mau apa. Bagaimana seharusnya mempraktekkan demokrasi secara sehat dan benar, yang sesuai dengan semangat serta perkembangan zaman, agar berdaya guna dan menghasilkan. Sepertinya kita pusing sendiri, bengong di simpang jalan. Akibatnya, dalam kegamangan itu, segala bentuk dan ciri-ciri demokrasi dari negara-negara yang disebut diatas, perlahan tapi pasti telah menorobos masuk mempengaruhi cara kita mengelola negara. Ketika orang Amerika mulai jenuh dengan liberalisme yang kebablasan, kita malah menjadi lebih liberal dari mereka.

Padahal kita sudah punya dasar dan pandangan hidup bernegara negara yakni Pancasila. Yang jika diperas akan menjadi konsep ‘Gotong Royong’ dan sangat bagus. Dimana semua masalah akan kita pikul bersama dan carikan solusinya. Semua rakyat akan duduk bersama membahas berbagai isue dan mendiskusikan cara untuk maju dan berkembang. Jadi semestinya demokrasi kita adalah demokrasi yang berketuhanan, yang manusiawi, mempersatukan, dan memberi rasa keadilan dan tingkat kemakmuran bagi semua secara maksimal. Tapi realitasnya, jauh panggang dari api. Mengapa?, karna kita melupakan atau menyalah gunakan milik sendiri yang berharga itu, maka segala cara dan pandangan hidup yang tak sesuai dengan adat budaya sendiri dengan mudah menerobos masuk ke kubu demokrasi kita. Dan itu mengalami intensitas yang tinggi di era millennium ini.

Kita hanya berpancasila atau bergotong royong pada waktu panen, bersih desa, kerja bakti atau jika ada tetangga atau keluarga yang mau hajatan dan mengalami musibah. Ketika urusannya menyangkut harta, tahta dan kekuasaan, serta merta kita melupakan semua prinsip dasar bernegara yang adiluhung itu. di dalamnya kita duduk sama rendah memang, tapi ketika berdiri beda-beda. Susah sama-sama, senang masing-masing . Hukum dan peraturan kita hitam putihkan secara suka-suka. Penerapannya tergantung selera. Banyak yang sangat pandai mencari ‘lophole’ pada aturan yang bisa menghambat hajat untuk menjadi semakin berkuasa dan kaya. Korupsi, suap, jual beli suara berkecambah bak cendawan di musim hujan.

Kita lebih sering berapologia, bahwa dalam alam demokrasi kita harus bersakit-sakit dahulu, baru bersenang-senang kemudin, tapi yang ada, sakitnya berkepanjangan, dan sakitnya tu di sini, di hati rakyat. Nah, itulah hal-hal yang harus kita bayar jika kita belum bisa berdemokrasi secara genuine dan otentik. Ketika demokrasi adalah demokrasi plutokrat, oligarkis, klikisme atau kelompokisme, melupakan suara rakyat banyak di luar sana yang kedinginan, kesepian, bahkan nyaris mati kaku maka kita akan bertambah serba salah dan makin bingung di simpang jalan kemudian tersesat ke rawa-rawa kehidupan yang melumpuhkan.

Dan kini kebingungan itu kian menjadi-jadi dengan munculnya wacana untuk kembali lagi kenaskah asli Undang-Undang Dasar 45. Padahal sudah diamandemen sebanyak empat kali. Saya tidak tahu apakah ini langkah mundur, atau mundur untuk maju, yang pasti demokrasi akan bertambah bingung, mau milih yang mana dan mau apa ..... Saya sendiri tak tahu mau bilang apa terhadap fenomena kenegaraan itu. terhadapnya, tentu yang pro dan kontra punya argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan. Silahkan saja dibahas dan didiskusikan. Tapi menurut saya, mau kembali ke UUD 45 atau malahan diamandemen lagi, selama pembukaannya yang memuat Pancasila masih adadan tidak diotak-atik, tak mengapa. Karena itulah satu-satunya yang memberi dasar pijakan yang kuat dan kokoh, juga memberi cahaya harapan di tengah keterpurukan dan kebingungan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar