Jumat, 28 Desember 2012

MANDAR DI ATAS PERAHU


Mungkin hanya di Mandarlah kita akan mendengar istilah Pappadang, Passallaq, Passalaparang dsb.

Semua mengacu pada tradisi dan kerja orang Mandar yang suka dan piawai mengarungi lautan, berlayar dan berniaga ketempat-tempat tertentu di seantero Nusantara dan dunia. Pappadang adalah orang yang berlayar ke Padang, Passallaq adalah yang mengarungi dan menyebrang Selat Malaka untuk ke Malaysia dan Singapore atau lebih spesipik Passingapur. Sedang Passalaparang adalah orang yang berlayar ke Salaparang di P Sumbawa. Dalam pelayaran yang masif dan intensif itu, tentu saja akan terjadi banyak hal berupa penglihatan, pengalaman, dan insight baru selama di negri orang. Maka akan terjadilah ekspor impor komoditas kongkrit dan abstrak berupa barang-barang komsumsi, budaya dan pengetahuan yang kesemuanya tentu akan berpengaruh pada konsfigurasi serta bentuk dan isi kebudayaan Mandar.



Berdasar kategori Henri Bergson tentang masyarakat terbuka ( ouverte ) dan tertutup ( ferme ), maka suku Mandar dapat dikategorikan kedalam masyarakat terbuka yang dicirikan dengan adanya keimginan untuk menyingkirkan batas-batas yang merintangi hubungan budayanya dengan berbagai masyarakat dan peradaban lain. Karna keterbukaan ini, masyarakat tersebut dapat memetik keuntungan berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi dirinya.



Dalam wilayah koknitif, sejak dulu orang Mandar dengan tradisi kebahariannya telah menyerap dan mengadopsi teori-teori dan aplikasi ilmu pengetahuan dari mana-mana yang pada gilirannya akan membentuk insight dan tafsir pemahaman terhadap alam. Etos keilmuan yang berkembang secara evolusi dan diffusi di Mandar telah menciptakan orang-orang pintar ( to manarang ) yang kemudian akan menjadi kaum elite dan penguasa. Sebagai contoh adalah riwayat I Manyambungi atau To Dilaling yang pergi ke Makassar atau Goa untuk mengadu nasib dengan ikut perahu orang Makassar, akhirnya beroleh sukses dirantau dengan menjadi Mangkubumi kerajaan Goa lalu kembali ke Mandar menjadi Mara’dia pertama di Balanipa. Seperti juga banyak ulama dan ilmuwan asal Mandar yang dulu pergi berlayar menuntut ilmu keseberang bahkan sampai ke Mekkah, Imam Lapeo adalah ulama sufi yang paling sering pergi berlayar menuntut ilmu agama dan keduniaan – berniaga – yang sepulangnya, secara sistimatis dan terencana telah membentuk etos ke-agamaan dan ke-ilmuan yang kuat di Tanah Mandar.



Mandar juga punya etos kebatinan yang kental, bahkan dikenal sebagai kantong mistik yang disegani bahkan ditakuti di Nusantara. Dahulu orang dari luar akan merasa takut-takut bila memasuki wilayah Mandar karna konon katanya orang Mandar itu lihai dalam masalah doti atau santet. Walaupun ini bersifat pejoratif namun tanpa disadari banyak orang Mandar telah mengindentifikasikan dirinya dengan ilmu magik itu. Sejatinya sejak dulu memang budaya mitik yang dominan di Mandar, hal ini adalah akibat pengaruh kepercayaan animis bahkan Budha – menurut bpk Darmawan Mas’ud-. Budaya mitik ini ditandai dengan meleburnya manusia dengan alam dan kekuatan-kekuatan yang menguasainya, percaya pada kegaiban dan misteri yang ada pada alam dan benda-benda tertentu, seperti gunung, sungai, yang ada di laut, pohon, gayang, gong, gendang, dan roh2 nenek moyang. Dengan pelayaran dan kedatangan para ulama, kaum sufi Mandar maupun yang bukan, maka budaya mitik yang berciri magik itu tertransformasi menjadi penekanan pada religiusitas.



Masuknya ulama-ulama sufi dan tarekat-tarekat di Mandar telah berperan dalam sublimasi kepercayaan tradisioanal Mandar yang penuh nuansa magik hingga menjadi keyakinan yang kuat pada Allah swt Yang Maha Kuasa dan Maha Esa. Mistik yang berlandas pada politeisme telah berganti dengan mistik kaum sufi yang monoteis. Karna tujuan strategi budaya kaum sufilah yang menyebabkan masih tersisanya aspek-aspek budaya mitik tradisional Mandar pada setiap ritual dan upacara tertentu di Mandar. Misalnya dalam upacara2 pelantikan Raja dan pemangku hadat, kelahiran, pernikahan, kematian , dan makkuliwa ( selamatan ), kita akan dapatkan percampuran yang harmonis antara ritual yang Islami dan kepercayaan tradisional Mandar. Dikalangan nelayan Mandar dalam ritual pembuatan roppong atau rumpon akan terdapat doa yang masih bercampur dengan mantra kuliwa yang berbunyi ” Bismillahirrahmnairrahim/ Iyatomo baliyat Nabinna sasiq/ Mahla Habila malaikaqna sasiq Kheder/ Bahuta Nabinna Bau/ Kamkan oroanna bau/ Nuruljalali sangan bau / Kheder paqandar dalleqna sasiq.



Nah, setelah berlayar jauh dan kembali dengan oleh-oleh yang seabreg-abreg dari seantero dunia berupa ilmu dan bekal kehidupan, maka saat ini orang Mandar telah memasuki masa di mana orang telah terhubung secara fungsional dalam suatu relasi yang kompleks dengan sesama dan lingkungan. Hal ini dicapai setelah mendapat anugrah berupa Provinsi sendiri bernama, Sulawesi Barat. Pada tahap ini orang Mandar harus membangun sistem-sistem objektif yang formal untuk menjaga kesinambungan eksistensi dan peradabannya. Dan godaannya adalah munculnya keterhubungan yang formalistik-birokratik yang menyebabkan orang bisa kehilangan etos religius yang berlandas pada nilai-nila moral agama dan etik budaya dan kemanusiaan. Materialisme, hedonisme dan permissifisme bisa muncul pada budaya fungsional ini, sehingga akan melahirkan sikap abai, koruptif dan bentuk-bentuk maksiat lainnya. Maka disini perlunya sebuah strategi budaya yang mendasar dan konprehensif untuk menggabungkan dan menyeimbangkan aspek-aspek budaya ontologik ( modern dan rasional ), budaya mitik yang religius dan budaya fungsional yang koperatif dan operatif.



Bagi Orang Mandar, tak ada kata berhenti untuk berlayar, perahu selalu tertambat di pantai, terangguk-angguk oleh hembus angin yang seolah bersatu dalam nyanyian dan alun kerinduan pada Samudra yang luas terhampar untuk diarungi. Bahkan ketika sedang dalam pelayaranpun orang Mandar takkan melihat jalan pulang, ia selalu berada pada Point of No Return, orang Mandar menyebutnya dalam ungkapan ” Dotai lele rupu’ dadzi nalele tuali di alangang ”. Selamat berlayar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar