Kamis, 09 Januari 2014

PEMUDA MANDAR


Pada tahun 80 an beberapa pemuda dan mahasiswa Mandar di Jakarta membentuk organisasi Ikatan Remaja Mandar ( IRM). Mereka antara lain Tonangi yang kemudian jadi ketua, Iskandar Lopa, Khalid Lopa, Ali Bal Masdar, Hendra Singkarru, Arie, Ibrahim Masdar, Susi Suyud, Nani Arif Jamaluddin dll. Tujuan mereka jelas, menghimpun potensi kaum muda Mandar di perantauan untuk memajukan daerah, termasuk dibidang seni budaya.
Penulis yang kebetulan dipercaya untuk mengomandoi bidang seni budaya, tidak menunggu lama, tak lama setelah pengukuhan, kami membuat program mempromosikan lagu-lagu Mandar melalui media elekronik, khususnya Televisi. Syukurlah tak berapa lama kemudian Mandar Vocal Group muncul di TVRI Pusat untuk pertama kali dengan membawakan lagu Passuringi Salili dan Panjala.
Atas peristiwa tersebut, kontan membuat banyak orang Mandar merasa gembira dan senang. Karena untuk yang pertama kali lagu-lagu Mandar dinyanyikan oleh pemuda dan remaja-remaja Mandar sendiri di televise. Sebelumnya Lagu Mandar banyak juga dinyanyikan oleh artis daerah yang bukan dari suku Mandar. Penulis sendiri juga sebelumnya telah mengusung lagu-lagu Mandar bersama teman-teman dari Nusantara VG yang aneka suku.
Sebenarnya hal tersebut tidak mengherankan, karena teman-teman ketika itu memang telah terbangun kesadarannya tentang perlunya mengembangkan dan melestarikan lagu-lagu daerah dan seni budaya Mandar lainnya. Itulah sebabnya mereka membentuk organisasi yang berorientasi kedaerahan. Tentu saja kesadaran tersebut tdaik muncul begitu saja atau dari sebuah vacum . mereka prihatin pada relitas tidak atau kurang dikenalnya budaya Mandar secara nasional, apalagi internasional. memang saat itu TVRI lebih sering memunculkan lagu-lagu daerah Ambon atau Maluku, Batak, Minang atau Jawa dan Sunda. Bahkan lagu Bugis Makassar Toraja juga jarang mengumandang di media elektronik paling bergengsi tersebu, paling tidak pada saat itu.
Hal yang menonjol ketika itu adalah sikap dan kemauan untuk mandiri dan otonom para pemuda. Mereka seolah ingin membuktikan bahwa anak muda juga bisa berbuat untuk daerah dengan tanpa bantuan dan arahan para senior atau orang tua yang waktu itu tergabung dalam Kerukunan Keluarga Mandar ( KKM). Tapi tidak semua bersikap demikian. Penulis sendiri sering mondar-mandar kerumah ketua KKM saat itu, bpk Kolonel Darwis almarhum, untuk berkonsultasi dan berdiskusi tentang rencana-rencana kegiatan KKM dan IRM. Sekaligus untuk menjembatani generation gap tersebut.
Kisruh dan friksi tersebut bermula dari sikap budaya yang senjang akibat mulai masuknya pengaruh-pengaruh modernisasi yang membawa juga mentalitas ikutan seperti indivudalisme, kebebasan, dan efisiensi. Dan juga ketika itu masih besar pengaruh “ flower generation” yang anti kemapanan dan semua bentuk otoriatarianisme, termasuk feodalisme budaya. Orang-orang tua sebenarnya bermaksud baik, hendak memeberi tahu apa dan bagaimana seni budaya Mandar yang sebenarnya, atau mau mengarahkan kearah yang lebih benar menurut persepsi mereka. Namun di mata anak muda, hal tersebut dianggap sebagai keinginan untuk mengintervensi dan terlalu mencampuri. Mereka mungkin ingin berkata bahwa kami sudah punya organisasi, jadi biarkan kami bekerja untuk mencapai dan mewujudkan visi, misi dan tujuan yang telah kami rumuskan. Tapi untunglah segera terjadi rekonsiliasi setelah sama-sama merujuk pada budaya dan adat Mandar. Itulah pentingnya untuk selalu mau dan rela memberi kesempatan kepada para pemuda maju dan berkembang di atas kekuatan kaki sendiri. Dan juga perlunya tetap menghargai peran orang tua yang secara tidak langsung telah memberi ruang-ruang untuk beraktualisasi dan berkiprah serta inspirasi dan keteladanan. Bukankah Soekarno pernah mengatakan ‘ Beri aku seribu orng tua, maka aku akan mencabut Gunung Merapi dari akarnya’ dan “ Beri aku sepuliuh pemuda, dan aku akan mengguncang dunia”
Di sinilah arti pentingnya orang tua untuk memahami aspek kejiwaan anak muda, agar bisa maju dan mengembangkan karakter dan etos kerja secara mandiri. Pemuda pada umumnya terobsesi oleh kehendak untuk diakui sebagai pelaku-pelaku yang bertanggung jawab dan yang hasrat, harapan, tindakan serta pendapatnya “ diperhitungkan” Mereka selalu beikhtiar untuk diperhatikan, itu adalah usaha untuk mencari identitas ( kepribadian) dan bahwa identitas itu diakui secara terbuka sebagai sesuatu yang penting, suatu penegasan diri sosial untuk menjadi seseorang di dunia. Dan terbukti kini, para eksponen IRM di masa lalu itu, telah menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi bangsa dan negara. Ada yang menjadi Bupati, anggota DPR, DPD, kepala kejaksaan di daerah, pengusaha kaya, dan seniman kere seperti saya.

1 komentar: