Senin, 10 Februari 2014

ISTANA KERAJAAN

Jika kita mengambl jalan darat memasuki provinsi Sulawesi Barat dari arah selatan, maka kita terlebih dulu akan memasuki terasnya, Polewali Mandar. Wilayah dimana berbagai situs-situs cagar budaya serta seni budaya warisan sejarah Mandar terdapat banyak dan sangat bernilai. Namun apa yang akan segera kita temui dan persepsikan untuk pertama kali begitu tiba dan menjelajah di sana adalah, bahwa kebanyakan peninggalan itu hanya bukti pemakaman atau akhiran sebuah babakan sejarah saja, tanpa tahu di mana ia dimulai dan berawal. Kita akan lihat dan rasakan betapa tenang, indah dan mistisnya, kompleks pemakaman Todilaling, raja pertama Balanipa, di bukit Napo, Limboro, namun kita tak akan pernah tahu selak- beluk dan di mana letak istana mara’dia, serta betapa indah, agung dan keramatnya istana mara’dia agung itu, tempat dimana kita dapat merasakan dan menghayati bagaimana sebenarnya raja hidup ; menerima tamu, berdialog dengan para bangsawan, tidur, bangun dan bercengkerama dengan keluarganya. Sebuah bangunan rumah atau istana akan menjadi sebuah dokumen sejarah yang paling otentik tentang kehidupan pribadi dan pemerintahan seorang raja.

Begitu juga dengan para bangsawan dan ulama penyebar Islam, cerita tentang mereka hanya kita dapatkan secara lisan maupun tertulis, dengan bukti nyata, kuburan mereka, tanpa tahu apa sebenarnya yang diperbuat mereka di dalam rumah tempat tinggal mereka dulu. Yang semua itu dapat kita konstruksi dari cara mereka menata dan membangun rumah. Seperti bukti material dan tangible dari Todilaling, sejarah para ulama juga hanya meninggalkan makam-makan seperti ; Komplek makam tuan Langarang, situs makam Puang Towarani, makam Pallabuang, makam Imam Lapeo, makan Syekh Abdul Rahim Kaimuddin, dll.

Rasanya perlu ada langkah membuat grand design sejarah Mandar yang lebih komplit, yang mencatat sebuah awalannya yang paling mungkin dan paling jauh. Dengan melakukan penggalian arkeologis, untuk menkonstruksi sejarah Mandar secara lebih tangible, sejak jaman pra sikendeng, Mamuju, jaman budha atau animis, era PBB dan PUS, masa Islam, masa colonial dan era modern sekarang ini. Untuk itu kita tak perlu mengikuti paradigma sejarah barat yang mendewakan bukti dokumentasi sejarah yang sempit. Dimana bagi mereka, sejarah ada hanya bila ada dokumen tertulis padanya, sebagaimana yang pernah dikatakan Trepor-Roper, “ Barangkali hanya pada masa depan dapat kita berbicara tentang semacam sejarah negara-negara Afrika ( termasuk Asia, penulis) . Saat ini sama sekali tidak ada sejarahnya, hanya terdapat sejarah orang Eropa di Afrika. Hal-hal lain hanya bersifat samar-samar saja.”

Bahkan sebuah naskah tertulis pun berupa sastra daerah oleh sejarawan barat konvesional dianggap hanya mitos belaka, bukan sumber sejarah. Pelras pernah menulis tentang realitas itu, “Kebanyakan ilmuwan barat dewasa ini memandang seluruh siklus Lagaligo sebagai mitos belaka. Mereka menafikan kemungkinan untuk memanfaatkan teks itu sebagai sumber informasi yang layak.......oleh karena itu saya berpendapat bahwa tidak adanya sumber-sumber lain yang dapat diandalkan seyogyanya justru membuat Lagaligo tidak (dapat) diabaikan. Walaupun pemanfaatan teks itu memerlukan kecermatan yang tinggi.”


Bila ada kerajaan, pasti ada jug istananya, maka mesti juga berusaha menkonstruksi bagaimana sebenarnya bentuk bangun istananya. Dari struktur dalam bangunan kita akan tahu bagaimana raja mempersepsikan dan mendefinisikan diri di depan rakyatnya, dari cara ia menata interior istana. Jadi bukan saja menilai ketinggian statusnya dari bentuk dan simbol-simbol luar istana atau boyang kayyang dengan melihat pada berapa timpalayak dan berapa jumlah anak tangga rumah.

Dan jika istana itu telah hilang, kita perlu tahu apa sebabnya. Andai masih bisa dibangun kembali ya dibangun lagi dengan mengikut model yang mungkin. Secari garis besar semua rumah di Mandar pada jaman dahulu, termasuk boyang kayyang ( istana ), akan mengikuti ajaran kosmologi yang membagi dunia dalam tiga tingkat, yakni dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Lalu interior rumah juga telah terbagi dalam fungsi yang terkait peran masing-masing penghuninya. Pokoknya istana raja akan tetap mengikuti pola-pola adat pembuatan rumah. Dan istana karajaan Balanipa tentu tak akan jauh berbeda dengan boyang kayyang yang berdiri gagah dan indah di Pantai Mamuju, samping Hotel Mamuju beach.

Jika kita gagal merekonstruksi sejarah budaya dengan semua artefaknya yang masih dapat dibangun kembali, maka kita tidak akan mampu membuat pemetaan yang benar tentang capaian-capaian sejarah Mandar di masa lalu, sekarang dan akan datang dalam prinsip evolusi kebudayaan. Sebuah keberadaan istana akan menjadi mata rantai atau simpul utama continuitas sejarah peradaban Mandar. Tanpa keberadaan sebuah istana walaupun itu dalam bentuk duplikat, kita akan diragukan dalam hal penghargaan pada nilai-nilai budaya adiluhung, karena istana beserta perlengkapan dan ekologisnya adalah khasanah kebudayaan yang sarat nilai.

Haruskah kita minta bantuan UNESCO, sebuah lembaga dunia yang concern pada preservasi dan restorasi kakayaan budaya dunia? Lembaga bentukan PBB ini telah melakukan kerja penyelamatan artefak budaya dunia dengan restorasi dan reklamasi. Diantaranya adalah program, “ reclamation of the master of art and historic monument damaged in the floods of 1966 in Florence and Venice. Juga menyelamatkan 20 an candi an istana di dunia, antara lain milik Ramses II dan permaisurinya di Abu Simbel yang musnah akibat proyek bendungan aswannya Gamal Abdel Nasser di Mesir.

Sebuah istana pada jaman dahulu pastilah tidak dibangun untuk kebesaran dan kemulian raja yang bersifat pribadi, istana adalah simbol dari posisi dan kedudukan raja di dalam alam dan kerajaannya. Sebuah contoh yang bagus pernah dicatat Wolfgang Braunfeld, tentang Istana Versailles di Perancis. “ We find that the central room in the palace was not a grand staircase for receiving other princes, as in German Baroque palaces, or, as Italy, a fast salon for great feast, but the bed-chamber of the king. There, attended by the ladies and gentlemen of his court, the king rose every morning like the sun, and in the evening, still in their presence, he retired again to bed, like the sun sinking below the horizon. Thousands of emblems in every room signify that the king was at once Apollo, Hecules…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar