Senin, 02 Mei 2016

GENERASI Y DAN Z DALAM PUSARAN POLITIK

Jika anda melihat sejumlah anak muda nongkrong di sebuah mini market dekat perempatan atau lampu merah, sibuk ngobrol atau ketawa-ketiwi lalu jerat-jerit, maka itulah mereka yang disebut generasi Y atau Z. Mereka paling suka tempat begituan, dimana mereka bisa gaul dan mengekspresikan diri secara langsung tanpa banyak batasan atau aturan. Di sana mereka akan ngrumpi seharian tanpa menambah minuman atau makanan. Positifnya, mereka jarang yang merokok atau minum minuman keras. Bukan karena ada larangan atau peringatan ortu atau pemerintah, tapi karena kesadaran bahwa semua itu buruk. Mereka generasi yang sangat well imformed. Kebanyakan akan beserta aneka gadget tercanggih atau laptop dan tablet yang paling smart. Para digital native ini memang tampak mengkhawatirkan kecuekan kesantaiannya, tapi dibalik itu di hatinya tersimpan positivisme yang menjanjikan. Walu tampak narsis dan sangat suka selfi, tapi mereka punya daya kritis dan analisis tinggi.

Hanya saja energi mereka yang berlebih jangan sampai terarah ke hal-hal yang negatif. Seperti bergerombol membuat ‘Geng Motor’ yang destruktif, menggangu orang dan ngetrack di jalan umum. Hobby dan kemampuan bagus itu mesti dibina kejusrusan seperti yang ditempuh Rio Haryanto yang kini bisa menembus balapan Formulawan. Generasi Y dan Z sangat kuat daya saingnya. Jangan juga sampai terjerumus pada prinsip ‘ Survival of The Fittest’. Dimana hidup hanya dipandang sebagai pertarungan adu kekuatan ; memandang hak, yang baik adalah di tangan yang kuat. Generasi ini tidak mau tanggung dalam segala hal, mau selalu jadi pemenang dan nomor satu di bidangnya. Jika mereka tak terbimbing dengan baik dan benar, maka mereka akan menjadi sangat kejam dan amoral. Tapi jika diarahkan dengan pas, maka mereka akan sangat bermoral dan berpotensi besar memajukan masyarakatnya

Mereka jelas beda dengan generasi sebelumnya, yakni generasi X atau babie boomer yang lahir sejak tahun 50 an hingga 80 an. Mereka ini jelas belum mengenal internet di masa muda atau remajanya. Paling banter HT atau pager sebagai media komunikasi atau radio dan televisi sebagai sumber pengetahuan alternatif. Kalau toch sekarang generasi yang mulai menua ini main komputer atau internet, mereka takkan sejago generasi Y atau Z yang lahir di era digital. Katakanlah manusia yang telah dewasa dan berpengalaman itu punya akun FB atau twitter, maka kontennya akan penuh dengan nasehat, motivasi yang cenderung bercorak agamis , sosial dan ekonomis. Sedangkan generasi Y atau X suka memposting tempat-tempat bagus untuk dikunjungi atau makanan yang enak disantap. Intinya mereka kurang suka dengan kemapanan, dan maunya selalu up to date, mereka sering dikatakan sebagai agen of change. Maka tidak heran jika mereka akan didekati secara all out oleh mereka yang katanya menjanjikan perubahan sosial politik dan ekonomi.

Karena pengalaman hidup yang minim walau punya skill tinggi dan ilmu yang terbaru, mereka gampang sekali digiring untuk mendukung produk-produk sosial atau ekonomi secara membuta. Oleh keterbukaan mereka yang rentan, gampang sekali dibujuk atau digiring untuk membeli produk tertentu atau mendukung kandidat penguasa tertentu hanya dengan memberi mereka citra kebaruan dan kekinian. Mereka tidak begitu suka uang. Maka jangan bermimpi untuk main politik uang pada mereka.

Dewasa ini mereka berjumlah lebih dari separo penduduk Indonesia. Dengan jumlah itu, maka mereka memang berpotensi melakukan perubahan. Mereka sudah memasuki dunia kerja. Tapi masih banyak yang sekolah di tingkat SMP, SMU atau PT. Bagi para politisi yang mau menggrab mereka, jangan mimpi akan sukses jika masih mengandalkan retorika atau trik politik lama yang dianggap mereka sangat kuno. Mereka tak mengenal politik aliran, atau isme-isme yang pernah besar dan berpengaruh di masa generasi babie boomer atau X. Jika toch mereka tau tentang itu secara instan lewat surfing di internet, semua hanya dianggap sepi dan tidak penting. Bahkan mereka tidak suka dengan para pemimpin atau politisi yang sok tau dan merasa pintar serta hebat sendiri.

Maka dari itu para politisi atau calon gubernur harus merubah pendekatan klasik mereka jika ingin memenangi pemilu atau pilkada di berbagai daerah di Inodnesia. Taktik dan strategi yang dipakai selama ini harus ditinjau ulang dalam rangka memenangi hati generasi Y dan Z ini. Pakailah bahasa mereka, yakni bahasa lugas dan tak banyak variasi, seperti yang dilakukan Ahok. Kalau perlu belajarlah bahasa pasaran, jangan menggunakan bahasa buku atau koran. Bahasa dan cara bicara yang bernilai bagi mereka adalah yang tidak sarat nilai. Apa boleh buat, semua harus dilakukan, kendati terkesan tak berbudaya, jika ingin memenangi pemilu atau pikada. Jika mau jadi pecundang maka sok berbudayalah. Semua memang pada mulanya harus beradaptasi dengan ‘ rising generation’ ini, dengan segala sikap dan nilainya. Tinggalkan dulu bicara tentang budaya atau budaya politik di depan mereka.

Lihat saja serangan Ahok pada situs-situs budaya, seni atau agama tak membuat mereka bergeming untuk mendukungnya. Itu karena Ahok dianggap sebagai wakil anti kemapanan mereka. bahkan mereka sudah tak perduli sama sekali pada nasib kaum lumpen proletariat yang digusur Ahok dari habitat yang bertahun mereka tinggali dan menghidupi mereka, untuk pindah ketempat yang dirancang Ahok. Orang-orang Kampung Pulo, Kali Jodoh, atau yang di Luar Batang yang digelandang Ahok dengan alasan tak boleh mendiami tanah negara sudah tak penting bagi mereka. padahal mereka juga adalah pemilik sah bangsa dan negara ini. Apa salahnya saat mereka miskin dan belum punya kediaman, diberi izin untuk tinggal dan mendiami tanah negaranya. Jika mereka punya uang, mereka tentu akan mmbeli apartemen sendiri, bahkan yang ada di pulau-pulau reklamasi dukungan Ahok.

Jarang juga yang mau bersikap kritis terhadap gubernur ibukota Negara itu terkait pembelian lahan RS Suber Waras yang bermasalah itu. Padahal semua tau, jika anda menjadi penentu pembelian barang elektronika misalnya di Glodok atau di tempat pemjualan distributor, maka biasanya anda berpeluang untuk mendapatkan bonus sekitar dua sampai lima persen jika telah terjadi transaksi. Itu jika anda tak menitipkan harga jual kepada penjual. Apakah Ahok mau member berkah gratis begitu saja kepada pemilik RS itu dengan keuntungan besar karena masalah NPWP pun sudah diatur sedemikian rupa dengan permainan letak lokasi benda tak bergerak itu.

Mengapa banyak generasi Y dan Z yang mendukung tindakan Ahok yang kurang santun, keras dan cenderung semau gue itu?.....pastilah karena sudah lama mereka sejatinya terasing dari nilai-nilai luhur bangsa sendiri , bahkan diri sendiri karena sibuk main gadget dan surfing di internet. Orang tua dan guru sebagai wakil nilai-nilai bangsa yang paling nyata sudah tergantikan dengan mbah goggle yang kini jadi sumber ilmu dan tempat bertanya. Repotnya di sana menemukan bahasa-bahasa aneh sepeti kata ‘Ngaco’, ‘Menipu’ , atau ‘Maling’. Kalau ngga percaya, cari saja situs, tulisan atau artikel yang mengkritik Ahok, maka kata-kata atau kalimat yang lebih gila akan keluar dari benak para pendukung Ahok itu yang rata-rata adalah generasi Y dan Z.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar