Rabu, 18 Mei 2016

REVOLUSI MENTAL DAN HARGA DIRI




Sudah hampir dua tahun Presiden Jokowi mencanangkan program ‘ Revolusi Mental’ yang mengarah kepada perubahan cepat, radikal, total tatanan mental , moral, disiplin dan kinerja semua stekholder di republik ini, dari pejabat, penguasa, pengusaha hingga rakyat, Namun hingga hari ini beritanya masih kabur dan simpang-siur, alias masih mental-mental. Disatu pihak ada yang menclaim telah melihat berjalannya revolusi itu dengan memberikan contoh perubahan drastis di sana-sini pada segala aspek kehidupan. Dan pihak yang lain mengatakan bahwa jangankan melihat terjadinya proses revolusi mental di masyarakat, bahkan diimplementasikanpun belum.

Entah pihak yang mana yang benar dalam hal ini, yang jelas saya masih mendengar berita-berita yang bersifat antitesa dari pencanangan revolusi mental Presiden itu. Berita jam enam pagi kemaren dari RRI membuat saya terperangah, bahwa sepuluh pejabat/pegawai di sebuah provinsi telah diperiksa KPK karena kasus alih fungsi lahan yang telah melibatkan Gubernurnya. Lantas di DKI, KPK menengarai ada ‘barter’ antara Pemprov DKI dengan pengusaha properti kakap dalam rangka penggusuran ‘ Kali Jodoh’. Dan seperti biasa Gubernurnyapun berkilah bahwa dia berhak pada soal itu. lalu di koran Kompas sebuah headlinenya pasti membuat banyak orang terenyuh karena konon sepuluh tahun terakhir ini anggaran dunia pendidikan telah dikorup sebanyak satu koma tiga T. Mengapa Justru di ranah yang kita harapkan sebagai starter revolusi mental bisa terjadi kerusakan mental begitu parah.

Dengan tak usah menyebutkan asal organisasi, suku atau daerah pelaku korupsi yang ada, seperti yang dilontarkan oleh Ketua KPK, Saut Situmorang, kita bisa mengatakan bahwa urusan mental, sistem dan kapasitas dalam lingkup kepegawaian dan pemerintahan kita memang masih lemah. Itulah sebabnya, para birokrat, dari level atas hingga yang paling bawah rentan untuk mengalami distorsi, dan penyelewengan. Apalagi jika sudah berurusan dengan duit atau anggaran. Entah sudah berapa Kepala Desa yang terlibat manipulasi dan dipantau terkait dana desa. Yang pasti sudah ada yang ditahan karenanya. Jadi sebenarnya reformasi birokrasi belum berjalan bagus di republik ini, apalagi mau bicara revoulsi mental di sana.

Sejatinya manusia menurut Abraham Maslow, mempunyai banyak kebutuhan yang bertingkat-tingkat atau yang disebutnya ‘Hirarki Kebutuhan’. Dan aneka kebutuhan ini akan sangat mempengaruhi kinerja dan tindakannya, bahkan denyut nadi moral dan mentalnya. Dan setiap hirarki yang ditapakinya akan memerlukan harga tertentu untuk pencapainnya. Ada yang ingin mencapainya dengan normal-normal saja seperti air mengalir, dan ada yang mau menggapainya secara all out dan ekstra ordinary. Dan ketika satu tingkat dari hirarki tersebut telah terpuaskan, maka manusia akan berangkat mengejar kebutuhan berikutnya. Dengan kata lain, manusia memang tidak pernah merasa puas.

Menurut Maslow hirarki kebutuhan manusia itu adalah terdiri dari : kebutuhan fisiologi, rasa aman, sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Sejatinya kebutuhan manusia itu tak terbatas, tapi untuk analisa kali ini cukup yang lima itu saja kita bahas. Ketika seseorang menjadi pegawai atau pekerja , motivasi pertamanya jelas agar bisa survive dan memenuhi kebutuhan fisiologinya seperti makan, minum dan pakaian, pokoke asal bisa hiduplah. Setelah itu teraih maka dia membutuhkan rasa aman yang ditandai dengan getolnya seseorang mencari dan mengumpulkan uang. Dengan status dan uang dan materi cukup yang dipunyai, seseorang akan mulai memimpikan pengakuan sosial dengan banyak melakukan kegiatan amal, sosial dan bergaul luas.

Pada level ketiga, manusia masih bisa dibilang sebagai makhluk sosial yang berciri suka membantu, santun dan perhatian. Pada kebutuhan tingkat ke empatlah yang terjait ‘harga diri’ manusia mulai menghadapi banyak godaan dan cobaan. Di sini orang sudah berubah dan banyak mengalami pergeseran mental budaya atau kebiasaan. Dalam soal makan atau konsumsi misalnya, manusia sudah tidak mau yang biasa-biasa. Harga diri seseorang telah dihubungkan dengan kepemilikan materi. Yang sudah punya rumah satu mau punya dua atau lima. Yang punya mobil satu dan bermerek standard Jepang atau Korea, mau tiga dengan brand Itali, Jerman atau AS. Ketika level jabatan lurah atau camat sudah teraih maka dengan berbagai cara atau menghalalkan segala cara mau lompat cepat dan tinggi ke level Bupati, Gubernur atau Presiden. Orang tua di kampung pun hanya mau mendengar dan bercerita tentang anaknya di kota yang telah punya ini-itu, sukses telah diukur dengan materi,. Ngak perduli mentalnya bobrok , moralnya bangkrut dan otaknya viktor alias selalu berpikiran kotor.

Ketika harga diri dikaitkan dengan benda materi, jabatan atau banyaknya gundik, maka jangan harap revolusi n mental akan terjadi. Orang jadi tampak baik dan disiplin hanya ‘seolah-olah’. Banyak yang akan berperilaku seperti kucing. Selagi tuannya masih di meja makan, sang kucing akan meringkuk dengan tenang di pojokan atau di bawah meja. Tapi saat sudah sepi , tak ada tuannya, maka serta merta sang kucing garong akan lompat ke meja memboyong ikan goreng yang ada, sekalian kepala atau kalau perlu mejanya di bawa pergi.

Dalam hal ini kita perlu menggaris bawahi lagi spririt tesis almarhum Baharuddin Lopa bahwa yang namanya harga diri atau ‘siri’ itu adalah ‘ malu jika tidak bekerja’ – tentu bekerja yang baik dan benar serta berdisiplin dan bertanggung jawab. Malu jika mencuri, malu jika merampok, malu jika selingkuh, malu jika menipu, malu jika sakau, malu jika memukul orang, malu jika menilep uang negara dan rakyat, dst, dst. Ucapan Lopa tersebut tentu sangat bernilai, bukan sekedar ‘lip service’, karena beliau telah mempraktekkannya sendiri, satu kata dan perbuatan. Dengan kata lain telah memberi sebuah keteladanan yang berharga bagi masyarakat bangsa dan negara. Dan inilah yang telah lama hilang di republik ini.

Gladstone mengatakan bahwa ‘Satu teladan bernilai seribu kali argumentasi’. Memang burung-burung tak mengatakan kepada anak-anaknya tentang cara terbang. Mereka mengajar dengan mengepak-ngepakkan sayap dan menunjukkan cara terbang. Memang Contoh dan keteladanan yang baik harus disebarkan dan diperlihatkan secara massif dan intensif dewasa ini, di masa ketika kita disuguhi hampir tiap detik, jam dan sepanjang hari dengan berita-berita keteladanan dan contoh-contoh buruk dari para tokoh yang seharusnya jadi panutan masyarakat ; pejabat, petinggi mandor, guru bahkan orang-orang tua. Masalahnya adalah siapa yang mau capek-capek jadi teladan dan selalu ngomongin soal mentalitas dan moralitas, ketika nyaris semua kita menganggap hal itu kuno.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar