Rabu, 16 November 2016

KEMATIAN KALINDAQDAQ DAN KALINDAQDAQ KEMATIAN


Passambayang moqo daiq / Pallima wattu moqo / Iyamo tuqu / Pewongan di akhraq
Bersembahyanglah engkau / Berlima waktulah / Itulah dia / Bekal di akherat

Salah satu bukti ketinggian kebudayaan suatu etnis adalah di dalamnya ada sastra dan tradisi menulis syair atau pantun. Sedangkan sastra itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari tradisi intelektual yang berkembang pada suatu masa tertentu. Oleh satu dan lain hal, intelektualisme itu bias meredup lalu perlahan tenggelam, seperti matahari yang hilang di ufuk barat. Tapi sastra dan tradisi intelektual tidak akan lenyap selamanya. Karena manusia sejatinya adalah makhluk berakal budi atau homo sapiens, bukan sekedar homo faber atau makhluk yang sekedar mau dan bisa bekerja. Ketinggian intelek dan sastra Yunani toch kembali digali dan bangkit kembali untuk menjadi inspirasi manusia renesan ba’da diharu biru oleh hasrat materialisme dan kekuasan bangsa Roma yang besar.

Menurut Abdul Hadi WM, sastra jika tak merefleksikan masyarakatnya, ia akan mengekspresikan masyarakatnya. Jadi bagaimana mungkin sastra bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, karena sastra adalah ungkapan dan gambaran jiwa manusia itu sendiri dalam segala dimensinya. Hanya saja ada yang dituliskan,dan digauli dengan akrab, dan ada yang tidak dituliskan, serta diabaikan peran dan fungsinya dalam masyarakat. Harus diakui dalam praktek keseharian, kita sebagai manusia pribadi juga sering melupakan sastra. Padahal dalam kualitas tertentu, sastra atau sebuah puisi atau pantun adalah pewahyuan diri Tuhan kedalam jiwa manusia. ia akan selalu menyambangi manusia dengan caranya sendiri. Dan saya pribadi telah bertemu sastra propetik itu secara tak sengaja pada suatu malam.

Perjumpaan yang muskil itu adalah dengan salah satu genre sastra lokal, sepotong kalindaqdaq atau puisi tradisional Mandar bertema religius. Dan saat itu ia seolah berkata“ Sudah berulangkali orang Mandar membaca saya dan kalindaqdaq yang lain, namun tak banyak yang bisa dipetiknya sebagai buah yang ranum dan berguna untuk bekal perjalanannya melintasi hidup yang sementara ini menuju akherat, bahkan sekarang kalian telah melupakan saya ...tapi tolong jangan bunuh saya.” Kalindaqdaq itu bersifat klasik berisi sebuah petuah dan harapan. Ia kutemukan disela kejemuan membaca teks-teks modern atau yang lebih aktual dan berguna, diantara tumpukan buku. Pada suatu malam yang hening menjelang subuh. Paling tidak itulah kerisauan sebuah kalindaqdaq yang telah kesepian dan pucat, karena ditinggal lama, hingga nyaris tinggal kerangka belaka, dan perlahan mulai kehilangan peran propetik dan pesan eskatologisnya.

Jarang memang kita mencoba mendengar kalindaqdaq, kebanyakan kita membacanya. Dan sering pembacaan terhadapnya menjadi suatu ‘peristiwa’ belaka. Sama seperti peristiwa makan setiap hari, atau bekerja yang telah menjadi ruitinitas dan berulang, sehingga kehilangan makna sejatinya. Sebuah makan ya makan. Begitupun baca kalindaqdaq yang baca saja, tak ubahnya dengan membaca teks-teks biasa yang lain. Dalam kebanalan jiwa itu, kalindaqdaq telah kehilangan istimewanya, tak lagi punya signifikansi. Kita kehilangan kalindaqdaq dan kelindaqdaq kehilangan kita.

Sebuah peristiwa pembacaan adalah bagian dari kehidupan,bukan kehidupan itu sendiri. Dan kalindaqdaq sebagai sebuah peristiwa telah kehilangan hidup. Tinggal seonggok teks yang terkapar tak berdaya dan tak lagi bersuara. Telah pergi segala nafas dan cita-citanya. Menyisakan citra ketuaan yang ringkih yang pasrah menanti dimana dan kapan ia akan dikubur untuk menyempurnakan matinya. Salah satu yang membuat sebuah puisi atau pantun bisa kehilangan hidup karena kita terlalu memperlakukannya seolah sebuah ilmu objektif yang bisa dianalisa dan dibedah sampai ke sel-selnya yang terkecil. Segala pisau analisis kita bisa pakai.

Di bawah ini adalah contoh sebuah analisa puisi yang juga bertema kematian, yang hanya berkutat pada aspek pisik yang terlampau mendetail sehingga puisi kehilangan relevansi atau menjadi kabur bagi kita maksud dan misi sang penulis sendiri.
AROMA MAUT

Berapa jarak antara hidup dan mati, sayangku
Barangkali satu denyut lepas, o, satu denyut lepas
Tepat saat tak jelas batas-batas, sayangku
Segalanya terhempas, o, segalanya terhempas!

(Laut masih berombak, gelombangnya entah ke mana-mana
Angina masih kembali berhembus, topannya entah ke mana,
Bumi masih beredar, getarnya sampai ke mana?
Semesta masih belantara, sunyi sendiri, ke mana?)

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali hilir mudik di satu titik
Tumpang-tindih merintih dalam satu nadi, sayangku:
Sampai tetes embun pun selesai, tak menitik!


Puisi di atas ( karya Hamid Jabbar,pen ) menceritakan bahwa jarak antara hidup dan mati dilambangkan dengan barangkali satu denyut lepas. Penyair membayangkan kematian itu begitu pasti kedatangannya, tiap manusia yang hidup di dunia suatu saat akan menghadapi kematian. Perpaduan bunyi yang terdapat pada larik-larik dalam puisi “Aroma Maut” lebih dominan memperdengarkan bunyi-bunyi konsonan tak bersuara yang mengesankan bunyi-bunyi kakafoni, seperti adanya bunyi p, s, t, dan k. Sehingga sebagian besar bunyi-bunyi yang terdengar begitu parau dan sangat tidak merdu. Hal ini sangat mendukung tema puisi yang menggambarkan kematian sebagai suatu yang tidak menyenangkan untuk sebagian besar orang yang hidup di dunia.

Analisa yang mengkaitkan kematian dengan konfigurasi bunyi di dalam puisi sungguh absurd. Konsonansi yang terdengar parau dan sangat tidak merdu itu katanya telah mempertegas arti sebuah kematian yang sangat tidak menyenangkan. Makna kematian tidak akan kita peroleh dalam pagelaran huruf atau kata-kata, tapi dalam suatu keyakinan yang biasanya terbungkus dalam ungkapan yang konotatif. Sedang kata kakafoni itu sendiri lebih sering dihubungkan dengan awal kemunculan musik jazz atau rock yang dianggap ribut dan hingar bingar. Padahal musik jazz yang katanya kakafoni itu adalah musik untuk mengantarkan orang yang telah meninggal ke makamnya pada masa lalu di New Orleans. Hamid Jabbar sejatinya telah menggambarkan kematian yang niscaya dan sangat dekat pada kehidupan. Itu dilukiskan dengan larik “ Berapa jauh jarak antara hidup dan mati, sayangku / Barangkali satu denyut lepas,o, satu denyut lepas” Dan memang sejatinya jarak Tuhan dengan Hambanya atau jarak manusia dengan tujuan pulangnya adalah seperti yang Tuhan katakan “ Ana karib ilahi min hablil warid. Selanjutnya pertanyaan bahwa kematian itu menyenangkan atau tidak adalah kesia-sian.

Dalam hal kematian kalindaqdaq, banyak dari kita yang menyaksikan keadaan kalindaqdaq yang nelongso itu,jangankan menangis, bersedih pun tidak. Dengan cepat kita bisa melupakan kalindaqdaq yang sedang sakaratul maut, karna kita punya banyak mainan dan teman yang lebih cantik, bagus dan indah. Apa arti kalindaqdaq dibanding puisi Khaliril Anwar, atau lagu cinta Raisa atau Isyana Saraswati. Quote-quote yang kini banyak tersebar di FB atau internet lebih bagus dan mamfaat. Bahkan syair-syair lagu Rhoma Irama lebih pas dan mengena. Dan motivasi Mario Teguh lebih superb.

“ Kalindaqdaq itu kuno dan ngeyel, seperti nenek tua yang pemarah dan cerewet. Kalindaqdaq juga kaku tak bisa gaul, ia hanya jadi beban saja....biarkan ia mati dan terkubur “ begitulah seolah-olah kita berkata. Dengan begini kita sebenarnya yang telah bunuh diri massal secara budaya. Kita telah mengalami kematian hati dan pikiran, kelumpuh otak dan perasaan. Ketika kita telah kehilangan kalidaqdaq yang adalah suluh, maka bayangan diri pun hilang di dinding kehidupan. Bayangan itu adalah kita, karena bentuk dan tingkahnya persis sama dengan kita. Ia adalah identitas kita, bukan potret atau lukisan yang dibuat oleh fotograper atau tukang gambar. Jadi kalindaqdaq adalah kita, jika ia mati, kita juga mati.

Nah, agar bisa menunda kematian kalindaqdaq dan diri kita sendiri, mari kita coba untuk menafsirkan kembali makna kalindadqdaq untuk kita hadirkan kembali ke dalam kehidupan, untuk kembali mengemban misi dan perannya. Secara struktural kalindaqdaq itu bercerita betapa pentingnya sembahyang sebagai bekal untuk akherat. Semua orang Islam tentu meyakini hal itu tanpa banyak bertanya lagi. Tapi makna sembahyang itu sendiri bagi sementara muslim dan orang Mandar akan sangat ditentukan oleh tafsirannya tentang apa arti kata bekal dan apa yang disebut akherat , dan semua kata dan nirkata yang ada dalam struktur kalindaqdaq itu.

Kedua kata tersebut punya jejaring makna yang luas, tapi kali ini mari kita sederhanakan saja agar paling tidak kalindaqdaq itu bisa cepat bernafas lega. Paling tidak kita telah melakukan semacam PPPK atau pertolongan pertama pada kecelakaan. Jika seseorang dari Jakarta hendak ke Majene, biasanya ia akan menyiapkan bekal perjalanan. Mungkin ia akan naik kapal penumpang pelni, atau kapal terbang. Bekal itu bisa berupa makanan, atau obat-pbatan, ini untuk menjaga kalau-kalau di dua wahana transportasi itu tak menyediakannya. Dan di perjalanan itu sendiri ; pelayaran atau penerbangan yang menyebabkan kita harus membawa bekal. Kata akherat disini tidak bicara tentang sorga dan neraka, karena siapa yang akan mendapatkannya adalah terserah Allah Yang Maha Rahman dan Rakhim, serta Maha Berkendak.

Yang diarah kalindaqdaq itu dengan kata akherat adalah suatu fase berakhirnya kehidupan manusia secara jasmani di alam dunia. Dimana sang roh pergi meninggalkan jasad menuju alam Barzakh atau alam antara. Alam barzakh itu adalah antara alam kubur dan alam kebangkitan. Di alam kubur setelah nyawa dicabut, manusia akan ditanya oleh malaikat Mungkar dan Nakir tentang ibadah dan amal salehnya di dunia. Tentu saja tentang bagaimana sembahyangnya, berkualitas atau tidak. Mencerminkan Iman atau pendapat orang, apakah dilakukan secara khusuk atau riyah. Itulah makna kata ‘ Passambayangmoqo daiq” yang berarti menegakkan salat, tidak sekedar mempraktekkannya.

Di alam kebangkitan manusia akan dihidupkan kembali. Disinilah terdapat Mizan, dimana amal baik dan buruk manusia ditimbang. Dan setelahnya akan beroleh Kitab berisi catatan amalnya selama hidup di dunia. Tentu saja disaat begini semua orang berharap ditempatkan di Telaga al Kautzar. Namun itu hanya diperuntukkan bagi orang yang sungguh beriman, bertaqwa dan beramal saleh. Dan atas Rahmat dan Ridho Allah jua siapapun bisa melewati Jembatan Sirathal Mustaqim, atau Titian Serambut di belah tujuh untuk sampai ke Sorga. Yang tergelincir, kecemplung masuk neraka.

Semoga dengan pemahaman ini, kalindaqdaq yang nyaris atau sudah mati bisa hidup kembali dan beroleh signifkansinya kembali sebagai cermin jiwa dan sarana pengungkapan diri. Salah satu makna kalindaqdaq adalah menggali isi dada untuk diungkapkan keluar, ke dunia eksternal. Jika begitu, dengan makna itu, sejatinya di akherat nanti kita juga akan “ Maqkalindaqdaq, dalam arti akan mengungkapkan semua rahasia dalam dada. Tentu saja disini kalindaqdaq akan sangat jujur bercerita tentang diri kita tanpa dikarang-karang. Tentang hal ini, seorang sufi dan penyair besar muslim, Syech Sana’i, telah menggambarkan dengan bagus dalam syairnya :

Kalau kau mati dengan tabiat jelek
Kau akan dihidupkan kembali dalam wujud binatang buas
Kalau isi rumah tumbuh ke jalan raya
Wajahmu akan tercetak sama dengan yang ada dalam hatimu
Demi pertunjukan ini, Pemilik Sejati Sifat-sifat
Meletakkan potensialitas di dalam
Dan aktualitas di luar







Tidak ada komentar:

Posting Komentar