Kamis, 03 Oktober 2013

IMAGINASI

Bila seorang anak kecil melukis sebuah lapangan bola dengan tanpa memberi warna hijau sebagai mana layaknya rumput di lapangan hijau tapi malah memberi warna putih bak sebuah padang pasir, maka dia sesungguhnya sedang berimajinasi dengan melakukan abstraksi atau menghilangkan bagian tertentu objek dan menyederhanakannya, atau melakukan distorsi. Pelukis-pelukis, penyair-penyair, musisi kontemporer atau seniman-seniman abstrak lainnya bekerja dengan metode ini. Picasso, Affandi, Vincent Van Gough, Salvador Dali, Sitor Situmorang, Charles Baudelaire, Vaul Verlaine, John Cake dll, adalah seniaman-seniman yang melihat setiap objek apapun sebagai media belaka untuk mengungkapkan jiwanya atau berekspresi.

Imaginasi yang bersifat mendeterminasi terjadi bila dalam angan-angan sudah ada skema tertentu, yang kemudian diisi dengan gambaran lain. Misalnya suara klakson mobil diperbesar bak sebuah guntur, atau gambaran telaga diperluas jadi gambaran angan-angan tentang lautan. Bila anda pernah melihat patung Spinx, singa berkepala manusia atau sebaliknya manusia berkepala gajah, maka imajinasi itu bersifat mengkombinasikan atau menggabungkan tanggapan yang satu dengan tanggapan yang lain.

Jika anak-anak berimajinasi atau seniman juga, maka jangan dilarang apalagi dikecam. Karena ia adalah pramula lahirnya kreasi-kreasi besar dunia, seperti pesawat terbang, kapal selam, mobil dan motor dsb dsb. Atau adalah dasar bagi lahirnya seni-seni agung dari para seniman-seniman besar. Harry Potter, Avatar, Divinna Comedia, simfoni ke lima, kalindaqdaq, la galigo adalah contoh klasik dari buah angan-angan manusia-manusia jenius.

Imajinasi memungkinkan orang menempatkan diri dalam hidup kepribadian orang lain, dengan demikian maka dia dapat memahami sesama manusia, demi lancarnya hubungan antar sesama manusia dalam pergaulan. Imajinasi juga membuat kita bisa menyelami sifat-sifat kemanusiaan pada umumnya, dengan begitu kita bisa memahami kebudayaan asing, mamahami nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya. Dan fantasi memungkinkan orang untuk mentransendir diri dari kenyataan ruang dan waktu. Dengan demikian lahirlah ilmu-ilmu geografi dan sejarah.

Para motivaror juga bekerja berdasar pada prinsip imajinasi yang mencoba memberi kita insight untuk keluar dari kesukaran hidup dan kegagalan-kegagalan di masa lalu. Menetralisir konpflik batin dan ketegangan psikis serta menciptakan masa depan ideal yang pantas untuk dikejar

Untuk tak berpanjang lebar dan sekaligus untuk memahami apa itu imajinasi dari sudut pandang falsafi, di bawah ini adalah pandangan seorang Richard Rorty, teoritikus kritis yang telah berusaha mendelegitimasi prinsip pondasional para filsuf beken dengan merayakan sentimentasisme dan imajinasi. Bagi Rorty pandangan para filsuf seperti John Locke, Descartes, Emanuel Kant, Edmund Husserl, Wittgeinstein bahkan Nietsche, pada abad ke 20 semakin sulit dipertahankan karna filsafat-filsafat mereka telah menjadi semakin ilmiah dan ketat, semakin berkurang keterkaitannya dengan kebudayaan lainnya dan menjadi lebih absurd pretensi tradisionalnya.

Dalam buku Rorty “ Contingency Irony and Solidarity”, terdapat pandangannya tentang imajinasi yang saya kutip secara panjang lebar berikut ini : “ Dalam utopia saya, solidaritas manusia akan dilihat bukan sebagai suatu fakta yang akan diketahui dengan cara mengosongkan diri dari “ prasangka” atau membenamkan kita ke kedalamam yang sebelumnya tersembunyi, melainkan sebagai tujuan yang ingin dicapai. Hal ini perlu dicapai bukan dengan penyelidikan, tetapi dengan imajinasi, kemampuan imajinatif untuk melihat orang asing sebagai sesama yang menderita. Solidaritas tidak ditemukan dengan refleksi, tetapi diciptakan dengan meningkatkan kepekaan kita terhadap perincian tertentu dari rasa sakit dan penghinaan atas orang lain, bentuk orang yang tidak dikenali. Kepekaan seperti ini membuat kita lebih sulit memarginalkan orang yang berbeda dari diri kita hanya dengan berpikir “ Mereka tidak merasa hal tersebut seperti yang kita rasakan “ atau “ pasti selalu ada penderitaan, jadi mengapa tidak biarkan saja mereka menderita”
Proses datang untuk melihat manusia lain sebagai salah satu dari kita – dan bukannya sebgai mereka- adalah problem tentang deskripsi terperinci tentang seperti apa yang orang tak dikenal itu dan seperti apa diri kita. Hal ini merupakan tugas yang bukan untuk teori, tetapi untuk genre ilmu, seperti etnografi, laporan wartawan, buku komik, dan terutama novel. Karya fiksi seperti dari Charles Dickens, Olive Schreiner, atau Richard Wright memberi kita perincian tentng jenis penderitaan yang dialami orang yang kita sebelumnya tidak kenal. Fiksi seperti yang dibuat Choderlos de Laclos, Henry James, dan Nabakov memberi kita perincian tentng kekejaman macam apa yang mampu kita lakukan, dengan demikian memungkinkan kita menggambar ulang hal tersebut dari kita”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar