Sabtu, 27 Juli 2013

GLOBALISASI

Globalisasi adalah nomenklatur yang telah menjadi momok yang menakutkan sekaligus menarik minat orang untuk menggelutinya tanpa sadar ibarat orang kesurupan. ya, begitulah adanya, ada yang takut ada yang senang dengan hadirnya. Ada yang menghindari ada yang justru menyongsongnya. Globalisasi masuk ke ruang kesadaran kita sebagi mimpi buruk dan mimpi baik. Bagi yang anti, ia bagaikan hama atau virus yang meruyak merusak sampai ke sendi-sendi keyakinan dan dasar-dasar kehidupan dan penghidupan. Hal-hal suci dan nilai-nilai luhur yang selama ini digenggam erat serta diproteksi telah luntur dan terancam sirna. Budaya, pekerjaan, kebanggaan bahkan diri telah hanyut, nyaris tenggelam oleh gelombang globalisasi yang melanda dan memasuki tempat-tempat, rumah-rumah, dan benteng-benteng kokoh atau yang sedari awal memang telah rapuh. Disini tak ada konpromi dan rekonsiliasi dengan Globalisasi, yang ada hanya konflik dan konfrontasi tiada akhir dan bersifat zero sum game.

Bagi yang gandrung pada kehadiran globalisasi, akan merasa senang dan bahagia, karna itu berarti terbukanya peluang untuk meraup profit gede-gedean. Dengan berjualan barang, jasa dan ideologi di seantero jagat melampaui batas-batas sakral dari nation, budaya dan agama, rejeki dan keuntungan akan datang berlipat-lipat dan tak berkesudahan. Di sini keserakahan adalah tak terdeteksi, tersamar oleh jargon pasar bebas, demokratisasi, dan relasi antar manusia yang maunya universal dan menggeneralisasi. Bagi penganut fundamentalisme pasar dan globalisasi alias gombalisasi, Makanan bukanlah soal cita rasa dan budaya, tapi soal life style dan gengsi dan selera makan. Kebudayaan bukanlah masalah reservasi dan identitas tapi adalah hasil dari interaksionalisme simbolik. Pendidikan bukan soal moral dan karakter bangsa, tapi sirkuit untuk balapan dalam pengejaran ilmu dan ketrampilan untuk meraup kekayaan dan kekuasaan yang tak terbatas.

Nah, lantas bagaimana seharusnya kita merespon dan menyikapi fenomena pro dan kon tentang globalisasi yang tak habis-habis tersebut?. Tentu saja kita harus berpikir positif dengan tak buru-buru menjudge fenomena itu sebagai pertarungan baik dan buruk atau peperangan iblis vs malikat belaka. Karna sejatinya ia adalah peluang dan tantangan yang bisa mendatangkan maslahat bila dikelola dengan sadar. Bagi yang anti, jangan juga sama sekali menutup mata dan berpaling dari aspek baik proses globalisasi. Kita juga punya budaya, nilai-nilai dan properti yang bisa kita tawarkan untuk menglobal dan diminati internasional. Di samping batik, rendang, tempe, gamelan, dan keris, kita juga bisa menawarka kearifan dan kebijaksaan yang terkandung dalam Pancasila dan lokal wisdom untuk dianut dan dihayati ummat manusia demi kelanggengan dan keselamatannya. Jika ajaran-ajaran komunis, kapitalis dan chinese wisdom bisa mengglobal kenapa apa yang kita miliki dan banggakan itu tidak bisa?. Dalam soal kuliner misalnya, kita sangat kaya dan beragam, tapi mengapa kita tak mau mengikuti jejak Thailand yang mampu membuat kulinernya menglobal dan mengurita di seluruh dunia. Dengan dukungan penuh pemerintahnya, terutama di era Thaksin Sinavatra, Thailand telah mampu memdirikan kurang lebih 21 ribu restoran masakan Thailand di seluruh dunia.

Serbuan kebijaksanaan dan pandangan2 dunia yang bernilai praktis dan ekonomis dewasa ini merebak di-mana-mana Ia terselubung dalam aneka seminar dan sessi2 motivasional dan counselling. Dan itu seharusnya tidak membuat kita minder, fanatik dan menarik diri. Ada yang bisa kita ambil dan pelajari ada yang bisa kita buang. Motivasi-motivasi yang bersumber dari chinesee wisdom, banyak yang bisa membantu kita dalam kebuntuan berdagang dan berkomunikasi dengan diri sendiri serta orang lain

Pokoknya apapun yang dari luar yang memberi hal-hal yang positif dan membangun, bisa kita ambil. Islam yang dianut oleh sebagian besar oleh penduduk Indonesia memberi arahan yang jelas tentang begaimana menyikapi kebenaran. Rasulullah SAW bersabda " Kebenaran adalah barang mukmin yang hilang. Di manapun ia menjumpainya maka dialah yang peling berhak mengambilnya " ( HR. Tirmidzi, kitab Al Ilmu, hal 19. Dan Ibnu Majah, dalam kitab Al Zuhdi, hal 15 ).

Saya bermimpi suatu saat ada orang Mandar yang bisa mengekspor Jepa atau jepa-jepa ke mancanegara. Tapi untuk itu tentu perlu diperbanyak jumlah interpreuner yang berwawasan, berani, kreatif, inovatif dan punya jaringan luas dengan mengintensifkan kerja-kerja motivasional dan counselling yang bermutu dan penuh keterbukaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar