Jumat, 17 Januari 2014

MANDAR MADANI


Salim Mengga adalah salah satu pemimpin daerah Mandar yang punya kesadaran dan visi budaya yang dalam dan jauh. Memang secara faktual dan aktual hanya beliaulah yang secara sadar dan konsisten mengusung kearifan lokal sebagai visi dan misi kehidupan dan kepemimpinannya. Bukan saja nilai-nilai budaya itu hendak diwujudkan secara substansial, tapi beliau juga dengan berani menggunakan term-term ke-Mandaran dalam menyampaikan visi politiknya secara formal di depan para anggota dewan dan masyarakat yang mau mengorek kualitas , kapabilitas, juga kapasitas intelektual dan rasanya sebagai seorang calon pemimpin daerah.
Memang begitulah seharusnya, era otonomi daerah dan desentralisasi kekuasaan mestinya memberi peluang untuk merevitalisasi dan mengaktualisasikan aneka kearifan lokal dalam perwujudan yang lebih kongkrit dan applicable. Dan itu bisa terjadi manakala ia mengada dalam ranah pemerintahan dan pemimpin yang mengusungnya bisa dapat kesempatan penuh dan cukup untuk memipin. Tapi sayang beliau belum punya kesempatan untuk menjadi gubernur sehingga mimpi untuk menjadikan Mandar sebagai buffer zona budaya dan masyarakat Madani tertunda. Incumbent gubernur dan calon lain juga sejatinya punya visi kemandaran, hanya saja tak tampak aspek formal dan simbolisasinya, kecuali dalam ranah substansi belaka. Mungkin takut disebut formalist dan kedaerahan. Tapi sering sebuah label yang dikemas secara apik dan estetis sudah memberi semangat dan inspirasi kendati kita belum merasakan atau masih samar pada isi dan substansinya. Kearifan lokal adalah simbolisasi dan formalisasi dari ideal patterns yang yang ada di benak pelaku budaya, yang kadang abtsrak sekali serta sukar dimengerti derivasi maknanya kecuali oleh mereka yang terdidik dan besar dalam lubuk kebudayaan tersebut.

Dalam rapat paripurna DPRD Sulbar pada masa pemilihan lalu, beliau menyampaikan visinya yaitu, Sulawesi Barat Masagena anna Malabbi (Siamasei). Visi tersebut merupakan makna yang didasarkan pada kondisi masyarakat yang madani, bertaqwa, berkemanusiaan, bersatu, berkeadilan, aman, berbudaya, mandiri dalam pembangunan dengan mengedepankan semangat Sipamandaq, Sipakala’bi, Sipakainga’.

Tampak jelas bahwa Salim Mengga dengan mengangkat tema-tema kearifan lokal faham benar pentingnya sebuah pencapaian yang berlandaskan pada kekuatan karakter dan potensi budaya. Artinya beliau telah mengakui akan perlunya emansipasi budaya dalam pembangunan. Dus, mengakomodir dan merealisasikan energy tradisional yang telah terpendam selama berabad yang justru dahulu menjadi faktor pemersatu dan menjadi tungku api bagi survivalnya orang Mandar menghadapai tantangan kehidupannya yang keras di jaman bahari. Atau di masa manusia masih berperang satu sama lain, sianre bale, di mana yang satu menjadi srigala bagi yang lainnya, “ Homo homini lupus”, bellum omnia contra omnes, struggale for the fittest.
Malaqbi, siammasei, adalah etos yang telah menghindarkan Mandar dari proyek imperialisme kerajaan lain dengan mengedepankan “ Soft Power” sehingga seluruh wilayah kedaulatan Mandar tak pernah bisa diduduki dan dilecehkan atas nama apapun. Juga dengan priisip sipamandaq, sipakala’bi dan sipakainge, orang Mandar dahulu tek tergerak untuk melakukan hal sebaliknya untuk menganeksasi dan menjajah wilayah suku lain.
Dengan mengangkat kearifan lokal, Salim Mengga telah berusaha untuk mencas battere energy yang lobet selama berabad sehingga kembali ready to use memijarkan sinyal-sinyal kemajuan dan kejayaan. Begitulah apa yang telah dipraktekkan negara-negara Asia Timur dalam mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa barat dengan memobilisasi nilai-nilai budayanya. Jepang merevitalisasi semangat bushido dan samurainya, China dengan etos Kong Hu Cu yang sosialistik dan materialistik. Korea dengan Sae Maul Undong ( membangun desa baru ).
Yang menarik juga adalah diangkatnya juga konsep masyarakat “Madani” yang dulu dipopulerkan oleh mantan wakil PM Malaysia, Anwar Ibrahim. Sejatinya konsep ini telah dipraktekkan oleh Rasulullah Muhammad SAW semasa hijrah di Madina. Ketika itu Nabi menghargai hak-hak masyarakat Yahudi dan Nasrani yang dituangkan dalam Piagam Madina. Jadi di sana ada toleransi, pluralism yang berlandaskan hukum dan demokrasi sebagai nilai-nilai dasar masarakat Madani.
Masyarakat madani yang eqwivalent dengan civil society menurut Alexis de Tocqueville adalah masyarakat dimana di dalamnya ada prinsip kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan ( self-generating), dan keswadayaan ( self-supporting). Ada kemandirian vis a vis negara. Bahkan dalam persfektif Antonio Gramsci, negara akan menghilang kerena diserap kembali ( re-absorption ) oleh civil society, sehingga struktur dan super struktur, negara dan masyarakat menjadi satu.
Dengan mengandengkan konsep masyarakat madani dengan kearifan lokal Mandar, maka diharapkan bisa terwujud “ Ethical Sosiety (masyarakat etis). Menurut cendekiawan Islam Kuntowijoyo, untuk mencapai tahap masyarakat etis tersebut perlu pentahapan secara gradual dengan menggunakan strategi, taktik dan cara yang merujuk pada esensi sebuah hadis,” Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu hendaknya dia mengubah dengan lidahnya, dan jika tidak mampu juga hendaknya ia mengubah dengan hatinya, yang demikian itu merupakan selemah-lemahnya Iman,”
Tangan, hati dan lidah adalah symbol struktur, kultur dan mobilitas social. Tapi patut diketahui struktur dan kultur kekuasaan hegemonik yang mungkar tidak saja bertengger pada aparatur negara di pusat dan daerah. Namun ia juga ada tersebar di mana-mana dan gentanyangan di sekeliling kita sesuai dengan teorisasi Faucouldian, berupa ide-ide, gagasan, pikiran, dan sikap yang maunya mengobjekkan kita tanpa hak untuk mengada dan berkiprah sambil membunuh subjektivitas kita. Jadi projek masyarakat “Mandar Madani” adalah projek pembebasan, berupa kerja yang berdimensi emansipatoris dan partisipatoris yang luas, ke luar dan ke dalam.
Jangan-jangan pembunuh itu ada dalam diri kita sendiri… Ibdah binafsik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar