Kamis, 03 Juli 2014

RAMADHAN

Jika ingin melihat dan merasakan betapa suatu keyakinan agama telah memberi dampak positif pada kehidupan manusia, maka lihat dan rasakanlah pada bulan ramadhan. Efesiensi , efektivitas, dan fungsionalisasi agama benar-benar terasa pada bulan tarbiyah dan kemenangan ini. Agama yang dinyanyikan sebagai ‘candu’ masyarakat oleh kaum marxisme, benar-benar terdengar fals dan tak menyentuh lagi di sini. Agama bukan lagi sekedar kegairahan yang sia-sia, tapi sebuah kebahagiaan yang nyata dan membangun, membina manusia untuk mendekati insan kamil, bukan sekedar basyar.

Pada bulan puasa, jiwa-jiwa disatukan di luar dan di dalam. Silaturahim antar sesame dan kerabat diperkencang dan dipererat, seluruh komponen kejiwaan dan mental diintegrasikan hingga menjadi sebuah sinergi yang berkepribadian dan powerful. Dan pada gilirannya akan bertransformasi menjadi mentalitas yang sehat, produktif dan baik. Keadaan inilah yang mungkin sangat ideal bagi berkembangnya keimanan yang genuine dan amal saleh yang iklhas dan kreatif. Ketika manusia telah mencapai makam ini, maka segala kesaktian, bakat-bakat dan kemampuannya akan mencapai titik maksimal dan berpotensi mencapai kemajuan-kemajuan individu dan sosial, human capital dan social capital.

Jadi kita tak usah jauh-jauh mencari dasar-dasar masyarakat yang ideal nun jauh di sana. Apalagi mau menterapkan utopianisme sosial yang muspra. Asktetisme kaum kapitalis yang disinyalir Marx Weber bersumber dari ‘Etika Protestan’ dan yang menjadi pemicu kemajuan dunia modern sebenarnya telah diajarkan oleh filsuf-filsuf muslim, jauh sebelum Francis Bacon mengadopsi prinsip-prinsipnya dan merealisaskannya di Eropah Barat dan Inggris khususnya. Kecintaan kepada kontemplasi keilmuan dan asketisme religius yang lebih outward looking telah ditanamkan di Andalusia jauh sebelum gerakan renesan dimulai. Observasi dan eksperimen hidup dan keilmuan adalah berasal dari tradisi para ilmuwan Arab yang melihat dunia sebagai medan pembuktian kekhalifaan sekaligus penjaga bagi keberlangsungan sunnatullah.

Ajaran Islam adalah sintesa yang memerdekakan manusia dari penghambaan pada satu matra hidup belaka ; materialism atau spritualisme. Islam menempuh jalan tengah yang menghubungkan polarisasi dwikutub yang ekstrim ; timur vs barat. Islam tak mengenal prinsip ‘ to do is more important than to be’ dari orang barat dan ‘ to be is more important than to do’ orang-orang timur. Ada saatnya muslim aktif seaktif-aktifnya, ada saat diam dan tafakur, menghayati hidup dan mensiasati langkah ke depan. Tidak menarik diri terlalu dalam dan tidak terlalu menonjolkan gigi ke luar, pokoknya selalu menjaga kesimbangan yang sesuai dengan prinsip ‘ummataan washatan’.

Dalam bulan puasa, apa saja yang merupakan penyedia dan penebit dosa di kendalikan ; mata ditata, mulut dikekang, hati lebih berhati-hati, dan pikiran lebih dikelola. Pokoknya sebuah managemen qolbu yang mantap telah muncul secara alami dan otomatis seiring makin banyaknya orang bersedekah dan beramal saleh serta beribadat dengan tulus dan ikhlas. Esoterisme puasa yang mempribadi, telah mampu mengusir intruder dari dunia asing yang tak sejalan dengan fitrah kemanusiaan, terutama dari pengaruh sifat-sifat iblis yang syaitania, yang telah menancapkan kesombongan abadi di hatinya beserta prilaku derivasinya, penyebab keterlemparannya dari pintu sorga. Sedangkan muslim yang selalu menjaga hubungan akrab dengan Allah dan menebar silaturrahim, serta berpuasa di bulan ramadhan lillahi taalaa, maka jalan sorga baginya terbuka lebar dan pasti dengan pertambahan amal sebesar dan secepat deret hitung. Karena setiap amal saleh dan pembacaan pada Qur’an dikalikan sepuluh atau lebih. Dan terutama dengan rahmatnya, pada bulan ramadhan kita berpotensi menjadi manusia yang sungguh-sungguh ‘ bertaqwa’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar