Sabtu, 06 September 2014

HUSNI DJAMALUDDIN DAN SASTRA SUFI

Apa natiriq tuwu / Naparaqbueq nyawa / Meloq uissang / Meloq uayappui ( Apakah yang dibuat menjadi tubuh / Dibuat menjdai nyawa / Ingin kuketahui / Ingin kuselami.
Iadi natiriq tuwu / Naparaqbueq nyawa / Alusna puang / Marandanna Muhammaq ( Yang dijadikan tubuh / Dijadikan nyawa / Halusnya Tuhan / Kejernihannya Muhammad.

D atas adalah kalindaqdaq yang diturunkan dari pandangan simbolisme sufi tentang esensi kejadian manusia. Memang dalam Qur’an diterangkan bahwa manusia dicipta dari lempung keras ( shalshal kal fakkhar, lumpur hitam dan tanah busuk ( hamian masnun ), tanah biasa ( thin ) dan debu (turab ) kemudian Allah berkenan meniupkan nafas dari Ruh-Nya kedalamnya, sehingga jadilah manusia utuh. Sedangkan kejernihan Muhammad merujuk pada adanya teori Nur Muhammad yang juga dianut oleh banyak sufi di Mandar, kalindaqdaq di atas tentunya dibuat oleh seorang sufi sastrawan yang telah dalam dan luas keilmuan dan kesufiannya. Menurut keyakinan para sufi, Nabi Adam, dan sekalian para Nabi serta alam ini dicipta Allah dari dan karena Nur Muhammad.

Kita tidak sedang membahas tentang teori Nur Muhammad, tapi mencoba menghubungkan faham keagamaan yang dominan pada suatu daerah di masa lalu, kaitannya dengan penciptaan karya sastra. Berdasar pada ta’rif historis, Abdul Hadi membagi sastra bercorak Islam di Indonesia ke dalam dua kategori. Satu, yang menganut ‘ realisme formal’ yang banyak dianut sastrawaan Sumatra Barat dan dari daerah lain, seperti A.A. Navis, Hamka, Ali Audah, Abu Hanifah, Achdiat K. Miharja, Bachrum Rangkuti, dll. Dua, sastra sufistik dengan aneka kecendrungan dan nuansa penghayatan. Sastra yang berkolaborasi dengan budaya local Jawa yang sinkretis, ada pada karya-karya Kuntowijoyo atau Danarto. Bahkan Danarto kadang mencampur kecendrungan sufistiknya dengan ajaran-ajaran kebatinan Jawa dan Tantrisme Budha.

Ciri mereka yang beraliran realisme formal adalah bahwa mereka akrab dengan ide-ide pembahuan keagamaan yang dlakukan kaum paderi dan gerakan Muhammadiyah. Mereka lebih mengedepankan rasionlitas dalam beragama dan berkarya. Peka dan kritis terhadap tahyul, bid’ah dan khurafat ( TBC). Navis mengecam shalat atau ritual minta turun hujan. Sedangkan Hamka menolak keberadaan cerita-cerita mambang, peri, bidadari, jin dan makhluk supranatural lainnya. Mereka menganggap bahwa makhluk-mahluk gaib yang gentayangan dalam mitos dan legenda itu tidak layak masuk ke dalam republik sastra. Bagi mereka sastra adalah bagian integral dari kegiatan inteletual dimana akal budi memegang peranan utama demi menggambarkan pengalaman estetik. Pemihakan pada gerakan tajdid mereka akan terbaca pada “ Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dan ‘Di Bawah Lindungan Ka’bahnya Hamka. Hujatan dan perlawanan terhadap adat budaya tampak juga pada Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Salah Asuhan karya Abdul Muis, atau Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana.

Sedangkan Danarto, Kuntowijoyo adalah sastrawan bercorak sufistik heterodoks yang mengacu pada wahdatul wujudnya Ibnu Arabi, Hulul Al Hallaj atau Manunggaling kaula gusti dari Syech Siti Jenar. Bagi mereka, sastra bukan sekedar representasi dari realitas atau alam ( mimesis), tetapi simbol, yang merupakan penemuan dan penciptaan manusia. Suatu usaha spiritual untuk bisa hidup dalam dimensi baru sebuah realitas. Mereka mengagungkan kehidupan batin dan iluminatif jiwa serta imaginasi yang kaya, sehingga karya mereka kadang tampak absurd dan melangit, namun semua adalah dalam rangka pencarian wilayah-wilayah kebenaran dan keindahan baru. Mereka Pendamba dunia ideal dan pembangun istana harapan yang tak kenal lelah, mereka salik yang ingin tenggelam dalam union mistica. Impian ini dapat dilihat pada karya-karya Danarto, Godlob, Adam Makrifat, serta Khotbah Di Atas Bukitnya Kuntowijoyo.

Bersama-sama dengan Fudoli Zaini, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar atau yang lain, Husni Djamluddin bisa disebut sebagai sastrawan yang berada diantara dua wawasan sastra tersebut di atas. Mereka bisa disebut sebagai sastrawan yang bercorak ‘ Realisme Sufistik”. Abdul Hadi WM dalam eseinya “ Islam, Tradisi Estetik dan Sastranya” yang dimuat dalam majalah Horison tahun 2008, memang tidak menyebut Husni Djamluddin, tapi atas dasar analisa dan pembelahannya itu, kita bisa mengkategorikan Husni kedalam satrawan penganut’ realisme sufistik’. Yang menyempal sedikit adalah Sutarji yang agak mendekat pada konsep ‘Ittihadnya Abu Yazid Al Bustami. Tardji pernah berkata “ Bagaimana akan sampai pada Tuhan bila kata tidak sampai.” Hal ini mirip dengan apa yang pernah dikatakan oleh Abu Yazid,” Manusia bertobat dari dosa-dasoanya, tetapi aku bertobat dari ucapanku laa ilaaha illallah, karena dalam hal ini aku memakai alat atau huruf, sedang Tuhan tidak dapat dijangkau alat atau huruf.”

Husni adalah Mandar, dan Mandar adalah Husni. Sebagai seorang penyair Mandar, tentu saja Husni tidak bisa dipisahkan dari khazanah sastra dan budaya Mandar. Saya mengutip kalindaqdaq sufistik di atas karena pernah membaca Husni telah bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW yang disertai dengan isak tangis, seperti yang diceritakan oleh Prof. Dr. KH Sahabuddin. Bahkan menurut pak Sahabuddin, sejak menjadi murid tarekat Qadariyah dengan mursidnya KH Muh. Shaleh, pengalaman religius Husni Djamluddin kian bertambah kaya dan berbobot. Husni pernah mendapatkan lailatul kadar ketika salat tarwih di Masjid Bukku Majene, berupa cahaya dari langit.

Dengan Nur yang telah didapatkan itu maka setiap syair dan ucapan seorang Husni punya bobot yang tinggi dan kedalaman yang perlu kita telusuri dan pahami. Panglima Puisi itu banyak membuat sajak yang bercorak sifistik atau yang berwawanan perennial atau universal. Simaklah salah satu baitnya yang pernah dikutip oleh Idwar Kasim berbunyi, “… / Jangan marah Ya Allah / jika seperti Rabiah al Adawiyah / Aku pun jatuh cinta / padamu ( Jangan Marah Ya Allah )

Karomah atau penyaksian kalbu Husnilah yang mampu membuatnya bisa berucap begiru dalam dan mesra pada Sang Kekasih. Beliau seperti haqqul yakin pada cahaya yang datang padanya sebagai penyingkap selubung diri yang dipenuhi noda-noda duniawi dan kegelapan insani. Ia seperti telah makrifat sehingga berani menembak Tuhan dengan terang-terangan tanpa sungkan atau ragu. Ia telah sampai pada makam orang mati sebelum mati ( mutu qabla an tamutu ) dan berkeingin talabul maula bil maula ( mencari Allah dengan Allah), makanya Husni berkata :
Ya Allah perkenankan
aku bergabung
dalam apa pun kehendakmu
Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar