Minggu, 07 September 2014

PRIE GS DAN SAYA

PRIE GS DAN SAYA



Prie GS

Banyak orang menangis ketika Baharuddin Lopa dikabarkan meninggal. Ada dua jenis tangis duka yang bisa kita tafsirkan. Pertama tangis kehilangan kedua tangis kecemasan.

Cemas jika orang baik di Indonesia ternyata tinggal Lopa seorang. Kecemasan yang berlebihan memang. Tapi syarat kecemasan memang harus berlebihan. Karena kepergian Lopa tetap menyulut kecemasan berikutnyta. Betul, orang baik tidak cuma Lopa. Betul, orang baik masih banyak di Indonesia. Tapi kebaikan saja mana cukup untuk mengatasi persoalan ini.

Benar masih banyak orang baik. Tapi bagaimana kalau mereka tak memiliki keberanian. Mana ada jaminan bahwa kebaikan dan keberanian selalu menjadi satu. Kenyataan mengajarkan, banyak orang baik tapi menderita ketakutan diam-diam.

Benar masih banyak orang baik sekaligus berani. Tapi bagaimana jika ia tak diberi kesempatan. Mana ada jaminan bahwa kebaikan dan keberanian selalu jadi satu dengan kesempatan. Kenyataan mengabarkan, betapa banyak orang baik dan berani malah frutrasi karena tak memiliki kesempatan.

Benar ada orang baik, sekaligus berani sekaligus mendapat kesempatan. Lopa contohnya. Tapi bagaimana kalau ia tiba-tiba dihentikan langsung oleh Sang Pemilik Kekuasaan. Mana ada jaminan bahwa kebaikan, keberanian dan kesempatan selalu berarti sukses sebuah tujuan. Mana ada manusia sanggup mendikte nasib.

Kematian Lopa adalah sebuah sindiran bahwa persoalan bangsa ini sudah terlalu berat jika dibebankan cuma kepada jaksa agung. Manusia Indonesia yang nyaris terancam linglung ini harus secepatnya mengingat kembali kata ''cuma'' itu. Karena kalaupun semua yang berlabel agung ini dikumpulkan, dioplos jadi satu, mulai dari jaksa agung, hakim agung, dewan pertimbangan agung... mana ada jaminan bahwa mereka telah otomatis menjadi keagungan yang sesungguhnya. ''Masih ada Aku,'' kata Sang Maha Agung.

Jikapun semua yang akbar-akbar disatukan mulai dari tablig akbar, pengajian akbar, apel akbar, demontrasi akbar... siapa menjamin bahwa mereka akan menjadi keakbaran yang sesungguhnya. ''Masih ada Aku,'' kata Sang Maha Akbar. Kita memang mencintai Lopa dan menangis untuk kepergiannya. ''Tapi dia milik-Ku,'' kata Sang Maha Pemilik. ''Ia Ku-ambil untuk menegaskan kembali tentang kekuasaan-Ku,'' kata Sang Maha Berkuasa.

Maka ayo belajar menangkap isyarat ini beramai-ramai bahwa persoalan bangsa ini sudah terlalu rumit untuk diatasi cuma oleh kita. Tugas kita ternyata cuma satu saja agar krisis ini rampung, yakni menjadi ''kita yang baik''. Sebuah tugas yang hingga sekarang belum kita tunaikan. Jika kita menjadi presiden harus presiden yang baik. Jika menjadi anggota dewan, harus anggota yang baik, menjadi rakyat pun harus rakyat yang baik.

Tapi kebaikan itu hingga sekarang belum rampung kita rumuskan. Masih kita perdebatkan, menjadi ajang pertengkaran, menjadi alat politik dan alat kepentingan. Padahal sementara kita sibuk bertengkar, si kebaikan kedapatan sendirian di pojok, kesepian dan tak seorangpun mau menyapanya.


Syafiyullah Pilman


Wahai saudaraku Prie GS, sebelumnya kuucapkan terimakasih atas keberadaan tulisan yang sungguh mengharukan di atas, maafkan bila saya telah mengcopasnya tanpa kulo nuwun. Orang terharu karena beberapa hil. Dalam hal ini saya termasuk orang yang bisa terharu oleh sebab apa saja. Karena bahagia, karena melihat kembang senyum bocah atau kekasih, atau melihat cekikik orang tua pikun yang ompong , karena pura-pura atau karena otak cekak sementara teman-teman begitu kreatif dan seperti begitu banyak akal. Tapi yang ini termasuk kategori terharu pada diri sendiri, alias mementingkan diri sendiri. Jika sekarang saya terharu atas tulisan anda ini, maka itu adalah karena lillahi taala, karena terharu atas kepekaan seorang Prie GS, terharu melihat nasib bangsa yang sebenarnya dulu itu betul-betul kehilangan sosok Baharuddin Lopa yang baik dan berani seperti yang anda katakan. Apakah setelah kepergian beliau akan ada dan banyak pelanjut sebagai pendekar hukun yang genuine, bukan cowboy hukum belaka, itu soal nanti atau kehendak sejarah, atau lebih tepatnya ada dalam wewenang Tuhan untuk menuliskannya. Yang pokok kita tahu dan ini betul-betul terjadi, jutaan bangsa Indonesia yang masih bening dan betul nuraninya telah menangis terharu atas wafatnya pembela keadilan yang tiada banding itu. Termasuk saya, dan anda tentunya, atau keluarga besar, family serta anak istri beliau. Karena menangis atau suka terharu dan punya rasa iba adalah penanda kemanusiaan yang otentik, maka “ menangislah sebelum menangis itu dibuatkan ketentuan dan undang-undangnya. Judulnya bisa berbunyi “ Larangan Menangis di tempat Umum” atau “ Syarat-Syarat Menangis” dengan klausul, harus ada izin pejabat, harus menangis secara bertanggung jawab, ngga boleh menangisi kematian seorang pejabat, durasi, tujuan dan sanksi menangis, atau apa hukum menangisi orang mati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar