Selasa, 21 Oktober 2014

SEPENGGAL KISAH DARI SITU GUNUNG

Entah mengapa kelompok ‘ Althuser’ yang anggotanya adalah para professor atau dokter alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ( FKUI) 1971 gemar melakukan outing atau rekreasi ke Situ Gunung yang ada di lereng Gunung Pangrango, Kadu dampit , Sukabumi. Dan biasanya saya selalu diajak serta untuk menemani dan untuk mengiringi mereka bernyanyi –nyanyi ria sambil berdansa. Pada hari Jumat tgl 17 Oktober, jam 11 lewat, kami tiba di Vila Tanah Merah, salah satu resort di Situ Gunung, dengan tubuh masih segar karena jalanan yang dilalui dari Jakarta tidak begitu macet, sehingga tidak begitu menguras energi batin serta mengganggu mood.

Usai shalat jumat di sebuah mesjid desa, makan siang dan istirahat sekedarnya, para Altuhser langsung bernynyi-nyanyi sambil menikmati landscape yang indah dari ketnggian 1000 mdpl. Di keluasan depan mata kami tampak kota Cisaat dalam gambar terang tapi samar. Belum tampak kerlap-kerlip lampu, hanya kabur tipis yang mengambang di keluasan yang menyatukan suasana dalam melankolia dan kelembutan yang menenangkan jiwa. Makanya ketika Prof Zuberi Djurban bernyanyi dan membelah keheningan dengan lagu Country Rodnya John Denver, angan-angan seketika terbang rendah mencari penyatuan dengan alam yang terhampar dan mengelilingi kami. Syair lagu mungkin menyaran pada suatu tempat nun jauh di daratan Amerika, tapi melodi atau karakter lagu seperti sangat akrab dengan suasana pedesaan atau pegunungan sore itu.

Country road take me home, to the place I belong, west Virginia, mountain mama take me home country road….Apa yang dinyanyikan oleh John Denver tentang kerinduan pada kampung halamannya di West Viirginia, di hati saya menjelma manjadi kerinduan pada alam pedesaan nun jauh di West Sulawesi. Dan bagi pak Zuberi tentu menjadi kerinduan pada suasana alam desa dan pegunungan di Jogya sana. Musik memang paling cepat meresonansikan sebuah tempat kenangan, ketika juga menyatu dengan alam lingkungan di mana ia berkumandang. Musik adalah bahasa universal yang bisa menyentuh dan member makna secara berbeda pada semua orang. Musik yang kita lepaskan dari konteksnya, bisa jadi kendaraan imginasi kita untuk melanglang ke tempat yang selalu kita kenang dan rindukan.

Musik memang mampu membuat kita terbang ke manapun, bahkan ke tempat-tempat dan waktu yang belum pernah kita datangi dan masuki sebelumnya. Tentu saja jika kita mau menurutkan langkah imaginasi kita dan tidak membatasinya. Itulah sebabnya, ketika prof Endang Basuki menyanyikan lagu La vie en rose, saya kontan membayangkan menara Eifel yang berdiri indah dan kokoh di jantung kota Paris yang belum pernah saya kunjungi, tapi hanya melihatnya di foto-foto, majalah atau buku. Salah seorang altuhser mungkin akan teringat sebuah nursery yang d dalamnya ada mawar merah yang bagus dan semerbak. Atau mungkin ada membayangkan kekasihnya yang telah memberinya buket bunga mawar merah, seperti yang digambarkan dalam sebuah lagu dangdut “ sekuntum mawar merah….yang kuberiakan kepadamu, di malam itu,….kumengerti akan maksudmu…...”

Para althuser adalah senior citizen yang rata-rata sudah pensiun dan kini tinggal menikmati hidup secara bermakna ataupun secara ringan atau klangenan belaka, dan dua-duanya perlu, begitu kata WS. Rendra. Saat althuser pada bernyanyi dan berdansa sambil mengenang masa jaya dahulu, beberapa diantaranya menghabiskan malam dengan membakar kayu kaliandra sebagai api unggun untuk menghangatkan badan, berdiskusi sambil menikmati kopi, kopi jahe, teh manis,, jagung bakar atau tape dengan gula merah dll. Mereka karam dalam kealaman suasana dan penganan. Melupakan cemilan mewah yang di bawa dari Jakarta, tergeletak begitu saja di meja kayu tak disentuh. Makan malam juga ala Sunda dengan dominasi lalap-lalapan dan sambel cobeknya di samping sayur asem, ikan nila bakar, tahu dan tempe. Asal tahu saja, semuua tanaman dan pohon dilindungi di Situ Gunung, namun hanya kaliandra yang bisa dijadikan kayu bakar untuk api unggun karena tumbuhnya liar dan cepat. Dan bisa menggangu tanaman yang lain.

Esoknya, sebelum fajar meninggi kami turun ke Situ Gunung untuk menangkap embun dan kabut yang mengambang di permukaan situ atau danau. Pada pagi sebelum jam Sembilan, danau yang dibuat oleh ‘ Mbah Jalun ‘ seorang bangsawan Mataram buronan Belanda pada tahun 1814 itu memang sangat indah dan menawan. Saking antusianya pak Zuberi pada suasana dan pemandangannya, disamping jeprat-jepret sendiri, saya juga diminta untuk memotret apa saja yang indah dan bermakna di sana dengan kamera canon yang dipinjamkan pada saya. Beliau memang penggemar berat fotografi, bahkan sudah menulis buku tentang fotografi dan memamerkan karya-karya fotografinya. Pagi itu beliau diwawancara oleh TVRI tentang kegemarannya ke Situ Gunung dan memotret objek-objek bagus di sana.

Karena asyik menikmati keindahan dan kesejukan Situ Gunung, para althuser jadi tak sempat melakukan jogging track ke Curug Sawer, sekitar 4 kilo dari Situ Gunung, padahal tempat itu tak kalah indah dengan dasar yang dalam karena curahan dari curug, serta air yang mengalir ke Sungai Cinumpang. Selesai memotret, saya sendiri hanya duduk-duduk sambil menikmati kopi di tempat seorang pengrajin yang sedang mengukir kulit kayu damar untuk dijadikan cinderamata yang indah. Semua hasil karyanya ternyata memamfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar situ. Ada tasbih yang terdiri dari rangkaian buah rotan dengan mata atau hiasan kayu catang yang tumbuh di dasar danau. Warnya hitam karena endapan lumpur, seperti ebony dan sekeras kayu besi. Saya membeli tasbih dan kalung dari buah jail-jali.

Salah satu objek yang saya potret adalah pohon jail-jali yang berdiri sendiri, seperti kesepian di tepi danau. Pohonnya sebenarnya tak terlalu tinggi dibanding dengn pohon cemara atau damar, tapi tampak ramping karena daunnya yang berbentuk lancip tak begitu rimbun serta buahnya memang jarang. Sambil memotret pohon itu, saya dengan perlahan menyanyikan lagu Jali-jali, lagu rakyat dari Betawi. “ Ini dia si jail-jali, pohonnya tinggi, pohonnya tinggi, buahnya jarang………”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar