Senin, 20 Oktober 2014

REFLEKSI TENTANG KONSEP DIRI DAN MAKNA SIRIQ

Secara fenomenologi orang Mandar akan selalu memandang diri dan masyarakatnya sangat terkait dengan sebab-sebab vertikal, dan hal ini mengatasi ruang dan waktu. Di mana oleh sebab ketuhanan atau kedewaan, akan muncul konsepsi-konsepsi atau persepsi akan kedirian yang sublime dan kudus. Perasaan, emosi dan plkiran yang terpusat pada wawasan langit yang luhur itu, tentu saja rentan untuk mengalami kontradiksi dan kontraksi dalam hubungannya dengan realitas alam kontemporer dan kekinian. Akan ada jurang pemisah antara sturktur batin ideal dengan struktur batin dalam dunia empiris. Malahan dalam sejarahnya telah sering berkonfrontasi yang bahkan telah menimbulkan peristiwa berdarah-darah. Ketika siriq sebagai realitas langit mengalami sosialisasi dan pembudayaan maka akan terjadi reduksionisme dan distorsi-distorsi akibat keterbatasan daya tangkap analisis manusia. Akan ada hirarki makna yang pada gilirannya rentan menimbulkan friksi dan antagonisme sosial

Salah satu akibat horizontal dari sebab vertical tersebut adalah munculnya konsep diri yang terlalu menekankan pada ‘rasa malu’ dan kemartabatan atau harga diri yang diidentifikasi sebagai Siriq. Padahal , apa yang diinginkan oleh Siriq tidak ada hubungannya dengan pikiran-pikiran atau perasaan yang bersifat mundane atau keduniaan tersebut. Profanisasi sifat siriq secara membabi-buta telah menghilangkan sama sekali esensi langit atau rohnya yang sakral. Siriq dalam bentuk awalnya adalah berbanding lurus dengan eksistensi karakter kebangsawanan atau Ammara’diang. Dengan kata lain semakin murni dan tinggi darah putih atau darah biru seseorang maka semakin tinggi pila kadar siriq dalam diri seseorang. Di mana dalam maqam itu,sangat ditabukan untuk melakukan kekerasan dan kekejaman dalam bentuk apapun yang memanifestasiakn kepentingan pribadi atau memanjakan egoism belaka.

Realaitas jiwa bangsawan itu tidak secara otomatis melekat pada seorang raja atau bangsawan, kecuali ia bisa menjaga sikap, prilaku yang bermartabat yang jauh dari kesewenang-wenangan, kekerasan dan keserakahan. Makanya secara idealistik, di Mandar, siapapun bisa naik ke jenjang sahabat langit dan mempunyai sifat siriq yang terpuji. Keberanian, kejujuran dan kepahlawanan adalah ukurannya yang lain. Seorang biasa bisa terorbit jadi mara’dia, atau sebaliknya, mara’dia bisa jatuh menjadi bukan siapa-siapa.

Sepertinya memang siriq merupakan suatu konsep yang bersifat dinamis, ia telah mengalami berbagai pergeseran arti. Dalam waktu lama telah menjadi suatu yang bersifat persepsional. Hanya saja siriq masih berkutat dengan erat pada persepsi sosial, di mana masyarakat dijadikan sebagai cermin bagi sikap dan tingkah laku ideal yang disebut harga diri atau siriq. Mirip dengan teori konsep diri Cooley “ looking glass self atau teori ‘cermin’ di mana diri senantiasa memantulkan pandangan-pandangan orang lain dan masyarakat. Cermin menampilkann evaluasi-evaluasi yang kita bayangkan dari orang lain. Diri selalu merasa dalam sorotan tetangga, kerabat, dan masyarakatnya. Prilaku jadi serba kikuk dan kaku, tidak bebas sehingga hal-hal kecilpun menjadi pikiran, bisa jadi masalah besar. Baju yang sedikit robek bisa menjadi sebab turunnya harga diri jika dilihat oleh orang banyak. Pokoknya terjadi sensivitas yang kelewat, sehingga sedikit kata-kata yang dianggap mencemooh dan merendahkan, dapat menimbulkan pertengkaran dan perkelahian sampai saling bunuh. Orang yang memiringkan songkoknya saja sudah dianggap sebagai suatu tantangan bagi kejantanan, dan biasanya akan dibalas dengan reaksi yang agresif.

Dalam habitus yang demikian, diri didefinisikan sangat rendah, diri spiritual menurun tajam, di mana agama, akal dan qalbu kurang berfungsi. Siriq tak lagi menjadi stabilisator yang menjaga harmoni sosial, malahan telah menjadi ajang pelampiasan diri. Diri kebendaan menggejala yang berkelindan dengan diri sosial dan diri badani. Diri diukur dan diidentifikasikan dengan benda-benda, gadget, kendaraan, kartu kredit, atm atau rumah mewah. Superioritas diletakkan pada seberapa banyak orang memiliki, bukan seberapa banyak amal dan kontribusinya. Di mana-mana terjadi persaingan, jor-joran dan penonjolan diri yang akut. Untuk menutupi inferiority orang melakukan hal yang muskil dan diluar nalar atau common sense sebagai konpensasi. Yang badannya gode’ mau jadi kurus seperti twiggy, yang kerempeng mau punya tubuh sintal padat. Yang miskin mau cepat jadi kaya, lalu tak menyia-nyiakan kesempatan korupsi meski bertentangan dengan hati nurani dan ajaran agamanya.

Nah, konsep diri yang salah, yang berimbas pada persepsi tentang nilai budaya yang keliru itulah yang telah menimbulkan kekisruhan dan anomali sosial yang berkepanjangan. Orang yang melanggar siriq mengatakan telah menegakkan siriq. Orang yang tak punya siriq merasa mempunyai martabat dan harga diri. Korupsi kolusi dan nepotisme merajalela, kekerasan, perselingkuhan, penipuan, dan segala macam prilaku maksiat mengemuka dengan tanpa ragu dan malu-malu lagi . Di sinilah urgensi untuk mnegembalikan Siriq pada makna sejatinya.

Menurut budayawan Abu Hamid, Siriq berasal dari kata Sirrun dalam hadis qudsi yang disebarkan oleh para ulama di masa Islamisasi, “ Al insan sirri, wa ana sirruhu “ (Manusia adalah rahasia-Ku, aku adalah rahasianya ) Tidak mudah untuk mengulas makna terdalam hadis qudsi tersebut di atas, karena begitu terkait dengan ilmu hakekat dan makrifat, dan tak boleh dibahas secara sembarangan karena akan menimbulkan fitnah dan kesalah fahaman. Dalam ajaran sufi , ‘ Sirr’ menduduki puncak anak tangga subbadan halus manusia. Badan Sirr adalah wilayah rahmat dan kesejatian. Intinya adalah bahwa untuk mencapai maqam ‘Kayyang Siri, orang harus berproses secara tekun dan konstan tidak instan, melewati maqam demi maqam, tidak secara ujuk-ujuk datang dan serta merta menambah martabat seseorang. Siriq yang sejati hanya bisa dicapai dengan sikap yang senantiasa ikhlas dalam ibadah dan beramal. Suatu keadaan di mana manusia merasa anonim dalam segala perbuatannya, non ego dan non persepsi. Pada tingkat inilah manusia Mandar dianggap mempunyai Siriq Atau amala’biang. Mandar telah menjadi seperti yang dicita-citakan Muhammad Iqbal dalam sajaknya :
Hiasi dirimu dengan warna Ilahi
Hormati cinta dan tegakkan
Tabiat muslim penuh cinta kasih
Yang tak punya cinta jadi kafir
Segala gerak hidupmu tergantung pada Allah semata
Segala kehendaknya, iradah Ilahi
Mari tinggalkan kata
Cari hakekat ruhaninya
Tuangkan cahaya Ilahi atas gulita amalmu
………………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar