Senin, 09 Maret 2015

CELOTEH TENTANG NET DEMOCRACY


Di era City State Yunani kuno, konsep demokrasi dalam politik pemerintahan jelas tidak efektif bahkan ditentang adanya justru oleh para pemikir-pemikir brilian atau filosof seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Demokrasi mengandaikan adanya keterbukaan informasi dan komunikasi yang bersifat massif. Pada jaman ini informasi hanya bisa tersebar lewat para demagog yang kerap berorasi di sebuah bukit kecil, atau filsuf keliling semisal Socrates. Tambahan lagi warga kota belum well informed pada masalah sehari-hari, apalagi day to day politik. Berita yang sampai lebih bersifat desas-desus, gossip atau kabar burung. Bahkan salah seorang filsuf itu pernah mengatakan demokrasi adalah kedaulatan para preman.

Bagaimana rakyat bisa bersatu menggalang kekuatan jika kampung yang satu dengan kampung yang lain terasing satu sama lain, belum terkoneksi dalam jaringan informasi yang baik dan benar, dan peran kepala kampung lebih dominan dalam memaknai sesuatu kejadian atau issue. Di tengah kondisi keterpisahan ini, para pemimpin atau politikus jelas punya peluang untuk memanipulasi kebenaran dan memonopoli kekuasaan. Maka tidak heranlah jika Socrates sang pembela kebenaran bisa dengan mulus di hukum mati dengan tanpa banyak protes dan gejolak berarti. Aristoteles pun harus hengkang dari Athena setelah raja pelindungnya, Alexander the Great mangkat.

Di wilayah kerajaan-kerajaan Islam sistem komunikasi dan informasi hanya dimonopoli kalangan elite pemerintahan. Peranan pemikir pencerahan juga harus mengikuti pola hubungan patron client untuk bisa berkiprah di lapangan ilmu, pilsafat dan kebudayaan. Persaingan antara para intelektual sangat tajam dan berbahaya. Mereka ini yang diharap bisa menjadi penegak kebenaran malah karam dalam perseteruan tak berujung, sampai memafaatkan kedekatan dengan para penguasa untuk memhabisi seterunya. Al Hallaj adalah tokoh sufi pemikir yang dihukum mati karena perbedaan interpretasi ke-Tuhanannya dengan para pemikir mu’tazila yang konon katanya menghormati rasionalisme dan kebebasan manusia.

Di era feodalisme atau kuasa patrimonial Indonesia juga telah banyak memakan korban para inteletual yang punya pandangan berbeda dengan rezim ilmu dan politik. Hamzah Fansuri di Aceh, Syech Siti Jenar di Jawa, adalah contoh - contoh nyata betapa peran kaum intelektual dan sistem demokrasi masih sangat rentan diberangus dan digantung. Di sini intelektual tak berdaya menghadapi tangan-tangan kekuasaan karena tak adanya apa yang disebut “masyarakat madani” atau Civil Society yang punya kesadaran tinggi terhadap masalah-masalah kekuasaan karena adanya sistem informasi luas dan tak terdirtorsi. Jika seorang intelektual mati membela kebenaran maka ia mati sendiri dan akan segera terlupakan oleh berjalannya waktu. Namun akan datang suatu masa selang berabad lamanya, kebenaran yang mati bersama sang pemikir akan hidup lagi dan dianut oleh banyak orang. Seperti kebenaran-kebenaran Socrates, Plato, dan Aristoteles yang hidup lagi di era renesan.

Nah, pada jaman informasi dan komunikasi tingkat tinggi sekarang ini, apa yang terjadi di era kegelapan mustahil bisa leluasa bermetamorfosis dengan aman dan lancar. Rakyat telah disatukan oleh sistem, dan bisa dengan mudah digalang untuk berkekuatan dengan metode informasi dan komunikasi yang tepat dan canggih. Kejatuhan para dictator negara-negara timur tengah dalam revolusi Arab Spring, dan cepatnya Barack Obama meraih popularitas ada hubungannya dengan keberadaan media informasi dan komunikasi yang mendukung seperti Face Book. Segala bentuk manipulasi, monopoli kebenaran akan mentok oleh kecanggihan daya tembus mata berlian para penggila dan pencari informasi. Dari mulai berita gelondongan sampai yang termasuk rahasia Negara dan pribadi orang, bisa cepat diakses dan didapat. Ibaratnya setiap dinding sekarang ini bisa dipasangkan mata dan telinga. Jika ada penguasa yang mencoba untuk menutupi suatu kebenaran, maka ia pasti akan kecele dan menyesal karena akan beroleh hujatan dan ketidak percayaan rakyat lagi.

Dewasa ini demokrasi telah mengambil bentuknya yang sejati dan punya power yang nyata karena adanya factor kecanggihan sistem informasi dan komunikasi. Jika di jaman baheula muncul istilah-istilah demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi social atau demokrasi pancasila, maka sekarang atau nanti orang bisa berbicara demokrasi cyber atau “ Net Democracy”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar