Sabtu, 05 November 2016

KETIKA AGAMA BICARA

Emile Dhurkheim kerap memandang agama secara negative, dimana menurutnya agama adalah semacam proyeksi kemasyarakatan belaka yang mewujud pada simbol-simbol tertentu, semisal ‘totemisme’, berupa pensakralan terhadap binatang, tumbuhan, ataupun manusia. Bisa juga berupa ‘Bangsa’ seperti pada credo Hitler ‘ Deuchtland Uber Alles”. Tapi ketika dia mengatakan bahwa prinsip ‘Solidaritas dan Konsensus’ penting untuk mencegah ambruknya sebuah struktur sosial patut diamini, dan menjadi cara kita melakukan aproach pada fenomena ‘4/11. Demontrasi ummat Islam hari jumat kemaren yang begitu massif dalam jumlah hampir setengah juta manusia, namun berlangsung begitu tertib dan civilised, benar-benar telah menunjukkan kebenaran teori tersebut.

Menurut Kuper dan M.G. Smith. solidaritas dan konsensus adalah sebuah unsur budaya yang digunakan sebagi pedoman hidup sehari-hari bersumber dari suatu ajaran agama, maka fungsi agama adalah sebagai motivasi dan etos masyarakat. Jadi agama bisa menyatukan masyarakat dari segala segmen dan kelas. Di demo 4/11 itu orang menyatu dalam atmosfir agamis yang tiba-tiba begitu sakral, menghanyutkan dan mengharukan. Di lautan kesadaran yang fitri itu bergeraklah gelombang Dzikir dan Salawat yang menggemakan kebenaran dan kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa ‘ Maha benar Allah dengan segala Firman-Nya’

Kaum muslim urban yang borju maunpun kaum miskin kota yang muslim, plus kaum rural yang datang dari berbagai pelosok negeri, serta sekalian para petugas keamanan yang tercerahkan. Senja itu hanyut dalam bahasa yang sama.yakni ‘Bahasa Agama’. Solidaritas yang terbangun secara spontan itu juga telah menciptakan konsensus bisu, yang diam-diam menyapa untuk mebina damai dengan lingkungan. Maka bergeraklah sebagian pemrotes untuk menjaga taman-taman dan menyingkirkan sampah-sampah yang berserak. Konsensus atas nama Tuhan itu jelas menghindarkan orang untuk bertindak anarkis dan melukai siapa dan apapun.

Solidaritas keagamaan yang begitu kuat mengikat pada demo 4/11 jelas tak mencari musuh pada agama lain atau pada ras tertentu. Tapi menyasar pada pribadi tertentu yang kebetulan adalah cagub Gubernur DKI, Basuki Cahaya Purnama, yang dianggap telah mendiskreditkan agama. Rasanya siapapun orang di republik, tak perduli orang Jawa, batak Padang atau Makssar, akan di demo habis jika tak mau sadar budaya apalagi agama. Buktinya tokoh seperti Ignasius Jonan yang malahan lahir di Singapura dan beragama Katolik begitu diapresiasi publik sebagai menteri Perhubungan dan ESDM. Kwik Kian Gie juga begitu dihormati rakyat karena kesantunan dan kemampuan mereka.

Munculnya keributan kecil di depan istana adalah buah dari keterbatasan manusia biasa. Di sana yang bicara adalah kelelahan fisik dan emosi. Ketika para demonstran capek, petugas juga capek. Sementara keadaan tak memberi kepastian apapun, kecuali janji-janji belaka. Maka sebuah benturan tak bisa dihindrkan. Argumen yang mengatakan bahwa demo telah melewati batas waktu yang ditentukan maka tindakan pembubaran dengan gas airmata dan pentungan dapat dibenarkan adalah tidak tepat . Ketika massa karena banyaknya hanya bisa berkumpul di depan Istana dalam waktu yang mepet dari batas waktu, dan baru saja berorasi, sebagian belum kebagian bicara, sementara delegasi mereka sedang berunding dengan wakil-wakil Jokowi. Maka himbauan dan perintah untuk membubarkan diri adalah absurd. Maka terjadilah insiden saling baku hantam itu. antara kalangan HMI yang masih belia vs petugas keamanan yang juga masih muda-muda.

Tulisan ini tak akan memasuki wilayah politik yang akhir-akhir ini kian meradang. Juga pada ranah hukum yang sejatinya sedang dan akan diupayakan cepat penyelesaiannya seperti janji Jusuf Kalla. Namun hanya ingin menggambarkan sekaligus mengingatkan bahwa di republik ini potensi solidaritas dan konsensus keagamaan masih besar dan menjanjikan. Jadi yang membangun Indonesiaan yang lebih canggih dan manusiawi nantinya bukan hanya prinsip ‘Kebangsaan’. Tapi juga prinsip keagamaan dan keberagaamaan.

Ketika negara mengalami friksi dan perbedaan yang tajam, agama dan kebangsaan bisa menjalankan fungsinya masing-masing, bahkan saling menyapa dan berangkulan. Bukankah pada demo 4/11 juga muncul tokoh-tokoh non muslim untuk menunjukkan solidaritasnya seperti Jaya Suprana, Ratna Sarumpaet, dll. Bendera Merah Putih juga di arak dan dikibarkan secara khusuk. Jadi jika faktanya semua manusia bisa mati, maka secara niscaya agama akan selalu bicara. Kecuali orang bisa hidup seribu tahun lamanya seperti mimpi Khairil Anwar,maka teruskan dan perbanyak bicara tentang Nasionlisme, dan masukkan agama ke dalam kerangkeng emas.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar