Senin, 07 November 2016

DEMO 4/11, FLU DAN IBNU ARABI


Saya pikir banyak yang ikutan demo 4/11 itu mirip orang yang kena sakit Influenza atau Flu. Penyakit itu diawali dengan gejala-gejala batuk dan bersin. Flu disebabkan oleh kuman-kuman, bakteri dan virus. Saat masyarakat terserang flu intervensinya harus bijak dan tepat. Seringkali waktu muncul batuk-batukdan bersin orang hanya menterapinya dengan obat kumur penumpas tenggorokan. Ada yang mengandung hidrogen-peroksida 3%, ada yang berisi ion yodium. Dengan cara gampangan ini yang tertumpas hanya kaum bakteri, sedangkan legium virus luput dari tangkapan dan hantaman. Virus itu akan terus merangsek menggerus kesehatan, yang tadinya ‘common gold’ belaka akan segera menjadi flu.

Pada stadium ini, bersinnya berhenti, namun hidung jadi pilek dan batuk-batuk mulai melecetkan selaput dinding tenggorokan yang kemudian meradang.maka muncullah demam tinggi, otot pegal-pegal, serta persendian sakit. Pada saat begini yang namanya obat alternative tak akan berguna lagi, termasuk ‘kerokan’. Sampai kulit jadi lecet dan belang-belang merah menyala bak kulit harimau pun takkan menghilangkan pegal-pegal dan sakit sendi. Selama kuman atau virus tidak ditumpas habis ditenggorokan, maka tak ada solusi bagi penyakit itu. flu jangan dianggap remeh, ia bukan masuk angin biasa yang bisa diatasi dengan kerokan atau sekedar minum jamu tolak angin misalnya.

Flu juga jangan didefinisikan seperti orang kuno lakukan. Sekira 400 tahun lalu orang mengatakan bahwa flu adalah penyakit yang dipengaruhi oleh pergerakan planet-planet, sehingga terkenallah istilah “Under the influence of partikular constellation of planets” yang menunjuk pada keberadaan penyakit ‘Flu’. Definisi seperti ini akan memunculkan terapi yang aneh-aneh dan mendekat pada praktek takhyul. Akibat mewarisi pandangan yang salah terhadap flu, dunia pernah diharu-biru oleh pandemi flu di tahun 1918 yang menewaskan sekitar 22 juta manusia. flu yang terkenal dengan nama ‘ Spaanse Griep itu bermula di Spanyol, kemudian dengan cepat menular ke seluruh dunia lewat kota-kota plabuhan. Hingga ke Indonesia.

Penyebab flu sejatinya sederhana saja, dan lebih sering datang pada musim hujan. Waktu hujan turun, sejumlah besar bakteri dan virus dari lapisan udara setebal 10 meter terempas bersama air hujan ke rumah-rumah. Dan udara berkuman itu kita hirup sehingga masuklah kuman-kuman ke saluran pernafasan kita. Makanya flu juga disebut ‘infeksi saluran pernafasan’. Tambahan lagi di musim hujan, suhu udara akan turun. Tubuh pun akan melemah oleh serbuan aneka virus. Sementara bakteri dan virus memang suka ngerjain orang-orang yang sedang lemah dan susah.

Untuk mengatasi flu, orang biasanya akan minum aspirin atau APC yang bisa dibeli di warung-warung pinggir jalan. Namun tidak akan mengobati secara mendasar flu itu. Paling hanya menghilangkan rasa sakit, radang atau demam yang ada, tapi virus sebagai faktor utama penyakit tidak hilang. Akhirnya orang akan ramai-ramai pergi ke dokter, dan berharap mendapatkan obat ‘Anti Biotik’ yang cespleng dan tokcer. Dan dokter yang baik akan memberi orang yang sakit flu Asetaminofen atau Salisilamida.

Nah, Jika orang-orang yang sakit flu itu ibarat ummat Islam yang demo di 4/11, maka dokter itu adalah Presiden Jokowi. Ketika didatangi untuk dimintai pertolongan, sang Dokter tak berada di tempat. Orang-orang yang sedang sakit, kecewa dan marah, tentu saja tidak mau ditemui oleh para asisten atau pembantu dokter. Repotnya ketika sebagian orang-orang telah mengekspresikan marahnya yang dipicu hal-hal sepele, bapak dokter datang walau telah sangat terlambat, itupun hanya member sekedar himbauan, wejangan atau pujian. Dan terlebih diimbuhi dengan sinyalemen mendadak dan tak terduga, bahwa flu telah diboncengi oleh semacam ‘ streptococcus pneumoniae’. Hal ini justru akan memerlukan pengerahan antibiotik yang sangat mahal untuk meredakan sakit para pasien. Obat yang sebenarnya sudah tersedia tidak akan mempan lagi. Dengan kata lain, diagnosa sang dokter justru telah menimbulkan komplikasi baru.

Sepertinya diagnosa dokter tersebut hanya berdasar pada penglihatan dan pemeriksaan pembantunya yang bisa saja keliru. Dalam hal penyakit Kista misalnya, orang bisa salah menilai dan mengatakan seseorang telah mengidap penyaki kista dispfungsional dan telah menjadi tumor ganas. Padahal yang ada hanya kista fungsional yang merupakan akibat dari siklus hormonal belaka. Akibatnya adalah pasien harus siap menghadapi operasi yang berat dan memerlukan biaya mahal. Mestinya orang bisa sembuh dengan memompa cairan yang berada dalam kantong bernama kista itu.

Jika Presiden Jokowi sudah tak mau menerima dan mendengar rakyat, kepada siapa lagi rakyat akan mengadu dan menghaturkan masalahnya, termasuk dalam masalah agama. Dan satu-satunya milik rakyat yang tersisa dan tak bisa dirampas adalah agama. Saya yakin mereka yang tergurus oleh program-program pembangunan nasioal ataupun di DKI, bisa bertahan untuk tidak bertindak nyeleneh berupa gerakan anti struktur dan kemapanan adalah karena masih kuatnya mereka memegang agamanya yang menyuruh orang untuk senantiasa tabah, bersyukur dan bersabar.. Dan sikap-sikap inilah yang harus diberikan apresiasi , bukannya menuduh yang macam-macam. Sekarang ini mereka tak melihat lagi ada petinggi negara yang mau berpihak pada mereka secara tulus, minimal berempati terkait keyakinan mereka yang dinila telah dinista. Dan partai-partai besar dirasa sudah begitu jauh dari mereka. bahkan partai PKB yang berbasis para ulama dan santri pun dianggap sudah terlalu elitis.

Mereka juga merasa tak ada lagi media yang bisa menyalurkan suara mereka secara genuine. Minimal untuk sharing pendirian terhadap aneka masalah yang menghimpit. Dulu TV One dianggap sebagai terompet mereka, tapi kini malahan mendukung calon yang dianggap mereka bermasalah. Pembakaran motor crew TV One tidak terjadi begitu saja. Dan saya sendiri mendengar analis dari Kompas TV mengatakan bahwa besarnya demo 4/11 karena adanya prinsip parokialisme atau budaya patron-client. Apakah pengecilan kecerdasan dan kesadaran rakyat ini bijak dan benar dikatakan di tengah emosi yang membumbung. Jadi kekerasan terhadap jurnalis Kompas TV, M. Guntur harus dilihat dalam perspektife yang lebih luas. Rakyat kebanyakan tak melihat pemihakan terhadap mereka dalam kacamata abstrak, tapi kongkrit.

Sebagai ilustrasi sederhana, dalam hal penggusuran, rakyat tentu tak akan faham pada yang namanya etika ‘Utilitarian’ yang lnti ajarannya lebih membela kepentingan yang lebih besar. Mereka hanya melihat pada siapa yang dianggap mengganggu kenyamanan dan rasa betah mereka di habitat lamanya. Pada dasarnya mereka masih berpikir bahwa Hujan emas di negeri orang ( rusun Marunda), lebih enak hujan batu di negri sendiri ( kampung luar batang). Begitupun pada yang bernama makhluk pluralisme dan inklusivitas keagamaan, itu asing bagi mereka. kecuali mereka dan anak2nya sudah bersekolah di tempat keren dan bergengsi yang memampukan untuk mencerna ide-ide baru. Ketika hidup masih senin-kemis, sekarang untung, esok buntung dan terkadang punya ‘baju satu kering di badan’, jarang orang akan berpikiran jauh. Jadi mengapa kita masih berharap agar rakyat bisa mentransendir situasi mereka.

Apakah manusia atau ummat tidak boleh marah ketika ada sesuatu yang dinilai melecehkan agamanya. ... tentu saja boleh. Imam Syafei pernah berkata bahwa manusia yang tidak marah ketika harus marah adalah ‘manusia keledai’. Karena marah adalah sunnatullah, maka niscaya adanya. Hanya saja harus dikelola atau dihadapi dengan cara-cara elegan agar marah itu tak menjelma menjadi eksplosif. Menurut saya para pemimpin ummat pada demo 4/11 yang rata-rata berkualitas ulama ; ahli agama dan intelektual, faham betul kondisi ummat yang sedang marah. Makanya mereka pada berusaha meredam amarah itu agar tak berekskalasi menjadi tidakan anarkis. Paling tidak mereka pernah membaca perihal sufi besar Islam, Ibnu Arabi.

Menurut Ibnu Arabi, manusia yang benar-benar bebas adalah yang hanya menjadikan Allah sebagai sandarannya, termasuk pada hukum-hukumnya atau Sunnatullah. Justru ketika ada yang menistakan agama ummat tidak marah, maka ke-Islamannya dipertanyakan. Karena ia telah menyempal dari Sunnatullah. Hanya jika ia marah tapi terkendali dan taat hukum ia telah memasuki Maqom Ubudah, seperti yang dikatakan Ibnu Arabi.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar