Rabu, 09 November 2016

JIWA KEPAHLAWANAN


Pada masa sekolah dasar dulu, saya diajarii sejarah oleh seorang guru yang bukan guru sejarah. Karena ia juga mengajar berhitung dan ilmu bumi. Memang begitulah tipikal sekolah di masa lalu, dimana masih terjadi kelangkaan guru yang berkualitas dan kompeten. Maka satu guru bisa mengajar banyak hal. Akibat diajar sejarah oleh sang generalis itu, maka yang saya ingat sangat dari sebuah peristiwa sejarah hanya tentang nama-nama pelaku sejarah; protagonis atau antagonisnya, tentang tahun, atau nama tempat bersejarah.

Tentang Perang Aceh misalnya, dimulai pada tahun 1873 berakhir tahun 1904. Ada narasi tentang Sultan Aceh yang merasa terancam oleh ekspansi kekuasaan Belanda. Ada peristiwa tewasnya Jenderal Kohler dan pasukannya yang dipukul mundur, terus tentang keberanian dan patrioisme para pahlawan seperti Teuku Umar,Teuku Cik di tiro atau Cut Nyak Din. Pokonya saya nyaris hafal semua kisah perjuangan dan kepahlawan secara kognitif, tidak ada sentuhan afektif, apalagi motorik di sana.

Tentu saja dengan metode pengajaran sejarah yang dikemas seadanya, hanya bermain dipermukaan, tanpa sentuhan dan dramatisasi, akan cepat dilupakan siswa seiring berjalannya waktu. Mungkin masih ada siswa yang hafal tentangnya, tap tidak akan menjadi azas bagi perubahan prilaku, atau paling tidak memberi inspirasi dan motivasi jiwa kpahlawanan. Terlebih dewasa ini sangat langka ditemui pahlawan-pahlawan hidup di sekitar kita. Di lingkungan terdekat, ketemu orang yang mau bersikap ramah dan murah senyum saja sudah susah juga, kecuali yang ada maunya, ada mamfaat dari bersantun dan bersopan ria. Orang hanya ramah dan senang melihat pak Rt, Rw, Lurah atau para pengusaha dan penguasa. Sementara pedagang kecil. Abang becak atau orang susah dicuekin, bahkan dicurigai. Tak ada yang berjiwa Sudirman yang tak membeda-bedakan orang dan berat sebelah, atau Achmad Dahlan yang selalu mengingatkan untuk membumikan Surat Al Maun. Intinya jiwa pengorbanan dan kepedulian sudah menipis, berganti sifat dan sikap bernafsi-nafsi, ellu-ellu.gue-gue, alias pragmatis dan individualis sekali deh.

Jika toch ada prinsip ukkhuwah wathaniyah di hati bangsa ini, ia tak bersambungan dengan prinsip ukhuwah Islamiyah atau ukhuwah basyariah. Atau sebaliknya mengutamakan ukhuwah islamiyah, tidak perduli pada ukhuwah wathaniyah atau ukhuwah basyariah. Akibatnya terjadilah permusuhan antara rakyat dan pejabat, bentrok antara aparat dan aktivis. Sementara semua mengaku telah menjadi patriot bangsa. Untuk menjadi pahlawan hidup mustahil bisa dicapai jika orang masih terikat pada aturan institusinya yang ketat. Dan untuk menjadi seorang Islam sejati, takkan jadi jika masih berkutat pada batasan organisasinya. Ingat WR Supratman menciptakan lagu Indonesia Raya bukan hanya untuk di dengan di Jawa atau kalangan Kristiani belaka, tapi untuk seluruh bangsa Indonesia. Dan Haji Agus Salim berdiplomasi keluar negri bukan demi kepentingan orang Padang dan Islam saja, tapi demi kejayaan seluruh bangsa Indonesia. Itulah jiwa kepahlawanan yang kini memudar nyaris sirna. Perlu diketahui ukhuwah wathaniyah adalah persaudaraan kebangsaan, ukhuwah Ialamiyah, persaudaraan Islam, dan ukhuwah basyariah adalah persaudaraan kemanusiaan.

Mengapa bisa terjadi kelangkaan jiwa-jiwa pahlawan di sekitar kita dewasa ini? Yang tentu karena cara pengajaran sejarah di tingkat paling rawan dan peka di sekolah dasar tidak begitu mendalam, mengena dan menggerakkan. Sejarah tinggal hafalan belaka, tanpa penghayatan. Mestinya sejarah atau kisah kepahlawanan itu diberikan seperti para pendongeng lakukan.Harus ada kemampuan bercerita dan menggugah yang handal, sehingga siswa bisa terpana dan jadi penghayat sejarah, bukan pemamah biak sejarah. Jika matpel sejarah hanya diberikan secara sambil lalu apalagi dengan hanya didiktekan untuk sekedar beroleh nilai tinggi ulangan dan ujian, maka para siswa hanya akan menganggap para pahlawan tak sebesar dan semulia tokoh-tokoh dongeng, legenda dan mitologi.

Globalisme juga berperan merontokkan segenap nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan bangsa. Ini bukan masalah anti asing. Tindakan KPI melarang penayangan film anak-anak bermasalah di televisi sudah tepat. Tapi ketika setiap hari saya melihat keponakan-keponakan merengek pada ayah dan ibunya untuk dibelikan video-video Spiderman, Superman atau Batman, maka rasa gembira pun tertunda. Apalagi jika melihat prilaku anak-anak pengidola tokoh-tokoh khayal itu meniru kelakuan dan aksi idolanya, maka kian nelongsolah jiwa ini. Di sekolah TK sekarang anak-anak tak suka lagi main prosotan atau ayunan, tapi lebih suka mengganggu teman-temannya yang dipandang lemah dengan menendang, atau memukulnya. Jadi yang ditiru bukan jiwa kepahlawanan para hero rekaan itu, tapi prilaku berantem dan kekerasannya. Mungkin para guru harus mengajarkan mereka bahwa pahlawan itu berjiwa mulia, rendah hati, melindungi........dst, dst.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar