Kamis, 03 Oktober 2013

KERAJAAN TERTUA

Darmawan Mashud Rahman, professor budaya Mandar yang haibat, dalam artikelnya yang berjudul “ Beberapa Petunjuk Memungkinkan Pencarian KerajaanTertua di Sulawesi Selatan “ mengangkat sederet fakta tentang adanya hubungan sejarah dan budaya antara Mandar dan suku-suku lain di Sulsel dengan ajaran Budha Hinahayana. Yang dulu berpusat di kerajaan Amarawaty, India Selatan. Itu bermula dengan ditemukannya patung perunggu Buddha di Sikendeng Mamuju.

Untuk memperkuat hipotesanya, Prof, Darmawan juga mengungkap sejumlah fakta tentang ritual atau kebiasaan menghormati benda-benda tertentu yang dianggap keramat oleh masyarakat Sulselbar. Antara lain : penghormatan terhadap telapak kaki, penghormatan terhadap rambut, penamaan Bissu bagi pendeta Bugis dan funsinya, penghormatan terhadap pohon Boddi, penghormatan kepada abu raja, dan adanya kesamaan bentuk alat mengusir roh jahat yang disebut Kanci dan Genta di India.

Tentang patung Sikendeng, ditambahkan oleh Prof Darmawan, bahwa aliran Buddha Hinayana dari India Selatan ikut mewarnai aliran Buddha Mahayana yang datang kemudian dari India Utara. Filsafat dasar Buddha Hinayana sebagian besar diambil alih oleh aliran Buddha Mahayanan dan kemudian berkembang pesat di Indonesia. Fa-hien musafir China yang terpaksa singgah di Indonesia karena perahunya diserang topan pada thn 412, memberitakan bahwa jumlah pemeluk agama Buddha di Ye-po ti ( mungkin Jawa ) sangat sedikit. Tetapi dengan ditemukannya patung Buddha Hinayana di Sikendeng, itu berarti pada abad ke 2 dan selnjutnya, perkembangan agama Buddha telah ada di Indonesia.

Dr. Bosch, telah menyimpulkan, bahwa patung Sikendeng dari gayanya tidak terdapat di Jawa maupun Sumatra, tapi hanya terdapat di Amarawaty. Sejak dynasty Catawahana memerintah di India Selatan, maka Amarawaty menjadi pusat kesenian terutama pusat perpatungan yang dikirim ke luar negri, ke wilayah-wilayah yang menganut Buddha Hinayana untuk dijadikan contoh patung penyembahan dan ditempatkan di rumah-rumah ibadah atau candi. Dan tentu saja juga telah sampai di Sikendeng Mamuju.

Berdasar pada hal-hal tersebut diatas, maka Darmawan membuat dugaan sementara, bahwa kemungkinan besar di Sampaga Mamuju dulu telah ada sebuah kerajaan yang menerima arus aliran arus Buddha Hinayana yang diperkuat oleh bukti arkeologi yang menandakan bahwa di daerah ini dulu telah terbentuk sebuah masyarakat yang telah teratur. Hilangnya jejak kerajaan tua tersebut mungkin disebabkan oleh migrasi penduduk dengan melalui dua arus, yang pertama menyusur pantai dan sebagian dengan jalan darat dan kemudian sampai ke Tana Toraja. Dibuktikan dengan upacara dan pola-pola hiasan serta kepercayaan yang masih terlihat di daerah Toraja. Untuk mencarai hubungan lebih jauh dan keinginan untuk berkembang, maka mereka berpindah lagi, kemudian menuju tepi pantai, yakni ke daerah Luwu. Di sana kemudian mereka menetap dan mengembangkan serta menumbuhkan kerajaan yang kemudian menyebar luas ke seluruh penjuru Sulawesi Selatan. Hal ini diperkuat oleh adanya beberapa kesamaan-kesamaan di dalam adat istiadat. Upacara-upacara, tarian dan geraknya, serta penyebutan kepala-kelapa kampung, misalnya Tomakaka dan Ma’dika, kesamaan dialek bahasa antara orang-orang Mandar, Toraja dan Luwu.

Saya sendiri meyakini hipoitesa Prof Darmawan tersebut serta hubungan sejarah dan budaya antara Mandar dan Buddha Hinayana di masa lampau setelah menyaksikan festival agama Buddah di WTC Mangga Dua Jakarta beberapa tahun lalu. Di sana terungkap fakta bahwa patung yang ditemukan di Sikendeng itu adalah patung Dipankara atau patung pelindung pelaut dalam pose “ Mudra Abaya “ yang seolah berkata “ Jangan takut “. Boleh jadi itulah sebabnya orang Mandar dikenal sekarang sebagai pelaut ulung yang berani dan pantang menyerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar