Senin, 27 Januari 2014

KEBUDAYAAN DAN HUKUM ADAT

Ada salah kaprah yang meluas di masyarakat tentang penyebutan kata “ feodal” bagi golongan yang ingin mempertahankan hubungan hierarkhis atas- bawah serta melestariak hak-hak privilege kalangan elite. Kendati ungkapan kata feodal tersebut hanya sebagai ungkapan oposisional terhadap konsep dan prinsip demokrasi yang berkesetaraan dan berkebebasan, namun secara substansial ia tak berakar dari setting hubungan sosial masyarakat dan budaya nusantara.
Menurut Max Weber, ada dua pola atau tipe kerajaan-kerajaan jaman dahulu, pola feodal di Eropah dan pola Patrimonial di Asia Tenggara. Pada yang pertama, raja dan kerajaannya bersifat duniawi atau sekuler. Raja dianggap bukan dewa yang berkuasa di Bumi. Mereka jadi raja karena telah menjadi pahlawan perang atau sebagai petarung yang hebat dengan tekanan pada kekerasan sebagai modus operandinya. Hubungan-hubungan manusia yang terjadi adalah berdasar hukum dan kontrak sosial. Kesadaran pada hak-hak yang bersifat duniawi sangat tinggi dan peka, hingga sering menimbulkan ketegangaan antara para bangsawan dengan para raja.
Ide atau gagasan tersebut tidak terdapat pada kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada regional ini kerajaan bukan saja merupakan kenyataan, tapi terutama adalah sesuatu yang bernilai suci atau sacral. Hubungan-hubungan antar manusia tidak berlandas pada hukum atau kontrak, tetapi oleh hubungan perasaan atau hubungan keluarga. Tapi bukan berarti tidak ada peraturan atau hukum di kerajaan yang berpola patrimonial, malahan ada banyak. Tetapi hukum dan konflik bukan sebagai alat utama untuk mengatur masyarakat. Jarang terjadi perkara hukum, apalagi yang mengarah kepada penyelesaian secara kekerasan dalam hal yang menyangkut kekuasaan. Jarang terjadi perlawanan atau penentangan terhadap para raja atau kaum bangsawan dari strata bawah. Sebabnya adalah, adanya sebuah gagasan tentang kesatuan dalam ‘siri’ yang dibentuk oleh prinsip kemurnian dan kesucian darah titisan dewata atau tomanurung bagi masyarakat di wilayah Sulselbar.
Berdasar pada teori di atas, maka sebuah istilah kitab hukum atau kodifikasi hukum tidak dikenal oleh kerajaan-kerajaan nusantara di jaman dulu. Jadi Civacasana di masa raja Dharmawangsa bukanlah sepenuhnya kitab hukum seperti yang dikonstruksi para ahli hukum bangsa Belanda dan murid-murinya Indonesianya, melainkan sebuah kitab yang memuat segala aspek-aspek kebudayaan, adat dan agama yang dianut, termasuk pasal-pasal hukum. Begitu juga halnya dengan kitab Adigama di jaman Majapahit atau Kutaramanawa di Bali, dan lontaraq di Sulselbar. Jadi kitab-kitab diatas bukan seperti Undang-undang Dasar, Undang-undang, atau peraturan tapi lebih sebagai “sumber dari segala sumber hukum”. Dengan tilikan ini, sekaligus menohok kedudukan Pancasila yang disebut demikian. Bagi saya Pancasila hanya sumber hukum, dasar dan landasan pilosofis negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersumber dan dihimpun dari roh atau spirit dari kitab-kitab tersebut di atas.
Dengan sendirinya apa yang dikonstruksi oleh sarjana-sarjana hukum Belanda juga keliru jika hukum adat yang bersumber dari keutuhan budaya masyarakat etnik, melulu dikaitkan dengan hal-hal mistis dan magis. Ini adalah pandangan yang bersifat pejorative dan melihat beradabnya sebuah system hukum dari kacamata pandangan hidup liberal dan sekuler barat. Mr. Is.H. Cassuto dalam bukunya “ Adatrech van Nederland Indie”. Mengatakan pengaruh magi dan animisme pada hukum adat terlihat dalam empat hal :
1. Pemujaan pada roh-roh leluhur, sehingga hukum adat disebut juga oleh bangsa barat “ adat leluhur” ( adat der voorouders atau les coustumer des ancetres)
2. Percaya adanya roh-roh jahat dan baik, seperti danyang-danyang desa dan lain sebagainya.
3. Takut pada hukuman dan pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib. Hal ini menyebabkan adanya kebiasaan mengadakan ziarah-ziarah serta memberi sesajen tempat-tempat yang dianggap keramat.
4. Dijumpainya di mana-mana orang-orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan gaib.
Bahkan Van Vollenhoven yang dikenal dengan pembelaannya yang gigih pada eksistensi hukum adatpun dalam bukunya “ Het Magish denken van der Irlander” berkata bahwa magi itu justru merupakan kunci yang dapat membuka pintu gerbang hukum adat.
Seandainya mereka sempat membaca kompilasi ilmu yang terkandung dalam lontara-lontara yang ada di Sulselbar khusunya di Mandar, maka mereka tidak akan gegabah berpandangan sempit begitu yang mengkaitkan hukum adat dengan kepercayaan-kepercayaan suku-suku primitive. Lontara yang mungkin menjadi salah satu refrensi mereka disamping konvensi-konvensi yang hidup di masyarakat, bukan hanya mengandung soal-soal hukum adat, tapi juga meliputi aspek-aspek pemerintahan, adat-istiadat, perjanjian, sastra, pendidikan, agama Islam, kepahlawanan, pesan dan wasiat, dll.
Ketika mara’dia Kakanna Ipattang Daetta Tommuane mengatakan.” Naiya Mara’dia, tammatindoi di bongi, tarrarei di allo, na madandang mata : dimamatannna daung ayu / diamalimbonganna rura / diamandinganinna lita’ / diajarianna banne tau / diatepuanna agama. ( seorng raja, tidak boleh tidur nyenyak di waktu malam, tidak boleh berdiam diri di waktu siang, tetapi ia harus senantiasa memperhatikan : hijau suburnya daun kayu, dalam dangkalnya tebat, aman tenteramnya negara, berkembang biaknya manusia, kemantapan hidup beragama), ini bukanlah sekedar program kerajaan atau sebuah indeks hukum dan pemerintahan, serta statemen duniawi belaka, melainkan sebuah penegasan yang mentransendir semua itu. Sebuah pernyataan siri’ dan kesucian hati yang bebas pamrih dan kepentingan pribadi “ Raja”, demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Ide-ide dan gagasan seperti ini hanya akan lahir dari bangsa yang berkebudayaan dan berperadaban luhur dan mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar