Rabu, 29 Januari 2014

TEATER RAKYAT TANAH MERDEKA


Di masa remaja, secara diam-diam saya sering mendatangi sebuah teater rakyat yang letaknya tidak jauh dari komplek saya tinggal. Bukan saja ciri kerakyatan itu tampak pada cara penyajian dan cerita-cerita rakyat yang menjadi corenya, tapi memang teater itu juga membangun gedung pertunjukan dan komunitasnya di kampung yang betul-betul dihuni oleh kaum marginal kota yang terdesak oleh pembangunan, bahkan tempat itu nyaris disebut kumuh, secara pisikal dan psikologi masyarakatnya.
Nama kampung itu “ Tanah Merdeka”. Mayoritas warganya berasal dari daerah Indramayu, Jawa Barat dengan minoritas Jawa, bugis dan Mandar. Salah seorang keluarga Mandar tinggal di sana yang kerap saya datangi untuk menikmati ande-ande Mandar. Kebanyakan mereka bekerja sebagai nelayan atau pedagang kecil. Sejauh yang saya ketahui, hanya satu keluarga yang bekerja sebagai pegawai negeri. Tapi mereka di sana hidup rukun, jarang ada keributan atau ketegangan antar suku. Sebabnya mungkin karena tipologi warga mayoritas yang terkenal sebagai masyarakat yang kalem. Pasrah, sabar dan easy going, dengan keterikatan pada budaya dan moral yang longgar. Memang mereka berasal dari daerah yang sering mengalami paceklik dalam segala hal, dalam hidup penuh dengan banalitas yang vulgar,diasuh oleh budaya campuran Jawa-Sunda yang tak kunjung utuh dan mapan dalam waktu lama, sehingga mampu mengkultivasi mereka menjadi penduduk yang berkarakter.
Teater itu sendiri sering mengangkat tema-tema penderitaan orang kecil, keterkungkungan dan keterlemparan, serta tragedi-tragedi yang bercampur baur dengan eksotisme, sensualitas dan mistik. Namun bukan rasa keterlemparan yang eksistensialis ala Martin Heidegger yang memekarkan angst dan anxiety, kecemasan dan ketakutan. Kadang ada juga kisah percintaan yang biasanya berakhir tragis, seperti dalam cerita,’ nu poe ti popotongan’ ( orang yang mati diantara perceraian dan rujuk kembali). Secara garis besar apa yang disajikan mirip-mirip dengan film-film jaman sekarang yang bertema horror, cinta tersita yang mellow. Kadang dalam cerita muncul-muncul penggalan-penggalan kehidupan sehari-hari dengan ironi-ironinya. Perlengkapan pentas seadanya, demikian juga perlengkapan diri dan busana sangat sederhana. Gaya berperan dengan spontan dan penuh improvisasi, diselingi lawakan yang kadang vulgar, kayak dalam ketoprak atau lenong betawi.
Tujuan pementasan kalau tak menguras ketawa, ya airmata. Jangan harap ada katarsis seperti yang dimaksud Aristoteles. Komic dan tragedy yang coba dimunculkan sama sekali tak memberi efek pemurnian dan pembersihan jiwa yang bersifat teraupetis. Apalagi akan sampai membawa perubahan atau penyesalan, semacam pertobatan dalam kerangka religius. Tragedy yang terjadi di atas panggung betul-betul tragedy, jika sang tokoh menderita ya menderitaan sendiri tipikal kaum marginal yang tak punya peluang dan akses untuk bertransformasi. Nasib diterima dengan keluhan yang berkepanjangan dan mengenaskan. Tak ada pertanyaan tentang hak seorang di tengah masyarakat yang merosot dan dekaden, seperti obsesi Antonin Artaud atau Betolt Brecht, kecuali hanya terror dan ketakutan yang terus-menerus datang tanpa ada kehendak kuat dan pasti untuk melawannya seperti yang dilakukan para pahlawan mitologi Yunani ala Promotheus. Mungkin lebih tepat jika menggambarkan derita dan masalah di sana adalah sebuah “Pathos” yang effusive sekali. Arthur Miller pernah mengatakan,” Pathos truly is the mode for the pessimist. But tragedy requires a nicer balance between what is possible and what is impossible…..in the tragedy lies the belief- optimistic.”
Teater rakyat sebenarnya bagian dari kategori teater daerah atau etnis disamping teater istana dan teater keagamaan. Teater Istana ialah kelompok teater etnis yang bersetting kehidupan Istana dengan segala kebaikan dan kebobrokannya. Ini terdapat pada drama-drama karya Homerus, Shakespeare, atau Sopokles. Kalau di Indonesia Wayang Wong dan teater boneka wayang kulit serta langendrian. Sedangkan teater keagamaan teater yang berakar pada ritual-ritual dan pemujaan. Justru jenis teater ini adalah cikal bakal perkembangan teater yang lain. Pada 525-456 SM, telah ditemukan sebuah naskah drama kuno di Yunani, penulisnya adalah Aeschylus. Isi lakonnya berupa persembahan untuk memuja dewa-dewa.
Dari segi gaya, teater rakyat tanah merdeka itu mendekati gaya “ Realisme Konvensional “ yang ilusionis. Karena realitas diupayakan tampil sejelas mungkin. Selalu ada setting property yang berbicara secara nyata tentang ruang- waktu kejadian. Bahkan sering saya lihat para pemain piguran muncul ke atas panggung dengan mengenakan busana yang telah di pakai sejak sore beserta mimik kemiskinannya yang dibawa sejak lahir. Hanya para pemain utama yang berias dan berhias disesuailkan dengan peran yang dimainkannya, tapi itupun tak berlebihan dan mewah. Dalam berakting, sepertinya mereka kena pengaruh Stanislavsky yang menolak gaya yang dibuat-buat, atau dialog deklamatoris dengan tekanan pada pentingnya pemeranan yang wajar dan spontan.
Mereka juga berakting berdasarkan pada plot atau alur cerita, namun tak terlalu tegas dan konsisten, tapi tetap memperhatikan aspek sebab akibat. Alur ceritanya juga cenderung mewujudkan struktur yang dikenal dengan nama Struktur Piramida Aristoteles. Struktur ini memiliki unsur-unsur yang berurutan, seperti eksposisi ( pembukaan atau pengenalan), komplikasi ( keruwetan), krisis ( kegawatan), klimaks ( puncak kegawatan, resolusi ( penguraian ), dan konklusi ( kesimpulan ).
Kelemahan utama dari teater rakyat gaya ini, adalah pada kecendrungannya untuk “ shooting” atau menggampangkan masalah, lembut atau menenangkan, dengan kecendrungan menghibur dan komersial yang besar. Akibtanya adalah seperti yang dikatakan oleh Thornton Wilder,” The tragic had no heat ; the comic had no bite; the social criticism failed to indict us with responsibility.” Teater kehilangan vitalitasnya dengan banyaknya objek-objek spesifik di panggung. Dengan metode yang terlalu menunjukkan specification dan localization “ the characters are all dead before the action starts”
Namun disisi kelemahannya itu, teater tanah merdeka juga punya nilai tambah dari sudut pandang budaya, karena ia tak memisahkan kebudayaan dari kehidupan. Mereka tak masuk dalam kotak-kotak budaya yang rigid dan karam dalam system-sistem. Formula-formula, pikiran-pikiran dan tanda-tanda yang memisahkan niat dan tindakan. Mereka telah menyatukan pikiran dan tindakan dalam hidup kongkrit yang historis dan jauh dari snobisme seperti yang dianut oleh kaum kaya baru atau borju. Jika di sana ada imajinasi, tak terlampau utopis, jika di panggung ada aspirasi, hanya sekedar kidung yang melempar tanya pada rumput yang bergoyang. Mereka seperti sadar betul dengan kemarginalannya, sehingga tak merasa perlu bergagah-gagah mengkuti trend tema-tema teater yang banyak diadopsi kelompok teater yang sering manggung di TIM, dan tempat bergengsi lainnya.
Sangat berbeda dengan teater. Sastra dan film pada umumnya yang berciri kekotaan atau kosmopolitan, yang takut tak popular dengan tidak mengangkat tema-tema yang sedang mengarus dan melanda masyarakat, dengan ilusi-ilusi cengeng yang kekanak-kanakan. Para pegiat teater rakyat tanah merdeka itu, tetap merdeka dengan banalitas dan keliarannya, dan itulah yang sejatinya melahirkan keberanian untuk hidup serta kejujuran yang akan melempangkan jalan menuju kebenaran sejati.
Teater sejatinya menterjagakan hidup yang penuh dan tak parsial sehingga akan menyembulkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Orang akan saling rangkul, berpelukan, tak saling menghina dan menjatuhkan seperti kelakuan para politisi. Teater atau sastra akan berfungis deliberative dan emansipatoris bahkan katarsis seperti yang pernah dikatakan oleh mantan presiden Amerika Serikat John F, Kennedy, “ Bila politik menyesaki kehidupan bangsa dengan kotoran, maka sastralah yang akan membersihkannya,”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar