Minggu, 26 Januari 2014

RENUNGAN DI GALETTO

Pasca adagium Rene Dercartes ,” saya berpikir maka saya ada” ( cogito ergo sum ), maka berlahirannya manusia -manusia rasional dari rahim subjektifisme yang radikal dan fudamentalistik itu. Manusia merayakan kelahirannya di mana-mana, setelah lama mendekam dalam gua kegelapan zaman selama lebih kurang seribu tahun. Tubuh kebangkitan ( rennesance) pun kian bongsor bahkan meraksasa sehingga dengan mudah melangkahi atau menginjak-injak segala makhluk mistis, magis, mitos, takhyul, tak rasional menjadi serpihan-serpihan yang berserak di habitatnya masing-masing yang kecil, tersudut dan marginal.
Hanya karena datangnya seorang Martin Heidegerlah, maka filsafat “ kesadaran” diatas mulai sadar diri. Bahwa kini bukan dialah yang ada satu-satunya yang bertengger di puncak obelisk sejarah pemikiran manusia. Heidegger berkilah, bahwa Rene dan pengikutnya terlalu terfocus pada cogito sehinga melupakan sum. Bukan kesadaran yang menentukan ada, tapi ada yang menentukan kesadaran. Dassein atau prinsip adanya Heidegger, tak bisa dipaksa untuk mengada, tapi ia akan menyingkapkan dirinya sendiri secara mandiri. Ia tak boleh dizalimi dan terkungkung dalam kesadaran dan kehendak subjek.
Ada atau eksistensi bagi Heidegger adalah suatu kemungkinan yang tak terbatas, bahkan ia bisa tak menampakkan diri atau menjadi tiada. Jadi bukan subjek yang mengadakan atau meniadakannya tapi dirinya sendiri. Tapi dalam metafisika Heidegger, hanya manusia yang tak punya esensi tetap, dus berkebebasan secara unlimited, yang selainya hanya realitas yang tergeletak begitu saja dengan esensi tetap. Dalam ruang lingkup humanisme – rasionalme juga humanis- yang eksesif dan mengacuhkan bahkan melecehkan benda-benda, muncullah antinomi-antinomi baru yang mengungkap kontradiksi dalam filsafat eksistesialisme Martin Heidegger untuk beremansipasi dan mengada.
Emansipasi juga terjadi di ranah seni, pada ranah musik, Arnold Schomberg dengan prinsip atonalitas, dibantu oleh ideolognya, Theodor Adorno, mengobrak-abrik system tonalitas musik barat dengan menghidupkan nada-nada kromatis yang selama ini hanya jadi pelengkap penderita, sebagai ornamen dalam music klasiek, substitute dalam music jazz. Dan yang lebih radikal adalah dengan menumbangkan nada “ do ” atau tonika sebagai pusat dan nada dasar yang memarginalkan nada dominan dan sub dominan dll, hingga menjadi wilayah penyanggah dan pendukung saja dalam sebuah komposisi dan harmonisasi karya musik. Adorno berpendapat bahwa keindahan, pengalaman tentang isi dari suatu objek, bukan hanya dialami oleh subjek individual, bukan juga sekedar kebenaran ‘objektif’ ; menurutnya karya seni bukan hanya objek yang diam tak berdaya, yang hanya dihargai atau dikenali oleh subjeknya, namun mereka membuat diri sebagai moment subjektif karena mereka adalah kognitif, yakni upaya untuk diketahui.
Nah, dalam konteks itulah kita akan memahami perlunya untuk mencari makna-makna diam dan tersembunyi dalam setiap karya seni budaya. Melihat ragam hias dan ukiran batu ( lukisan timbul ) nisan pada kompleks makam Galetto di Tamangalle, Polewali Mandar, yang berciri Islam dengan pola arabesk dan geometris, saya lantas berpikir bahwa Mandar dulu sejatinya telah masuk dalam pusaran pergerakan peradaban Islam yang tinggi di seluruh dunia. Tanda ketinggian peradaban Islam di Mandar itu juga terdapat pada ornamentasi masjid, rumah-rumah adat dan berbagai benda-benda budaya lainnya.
Ornamen pada pemakaman galetto dan di tempat-tempat lain itu bukan sekedar tempelan untuk memperindah, namun ia adalah bagian dari struktur keindahan yang bermaksud untuk memperluas dan mengintensifkan penghayatan muslim akan sesutu yang transenden dan patut kita jadikan sebagai pusat orientasi hidup dan kehidupan dengan menyembahnya, Allah SWT. Motif-motif arabesk, di mana bentuk dedauan yang dipisahkan dari bentuk alaminya ( stilisasi ) yang ada pada masjid, rumah, nisan, dan pada benda-benda rumah tangga sekalipun, adalah abstraksi atau transfigurasi yang berfungsi untuk meninggikan, mengagungkan dan meningkatkan nilai spiritual objek seni. Sehingga tidak saja melulu benda propan tapi juga entitas yang sakral. Jadi berbeda dengan Adorno, seni dalam Islam tak saja telah beremansipasi dari objek menjadi subjek dalam republik sekuler, tapi telah diangkat derajatnya menjadi media Islami untuk melakukan perjalanan naik agar sampai pada penghayatan tentang arti “ tawhid” yang sebenarnya.
Ornamentasi dalam Islam adalah perekat agar kehidupan tak pecah dan terpisah dalam wilayah agama dan wilayah sekular. Ornamentasi seni Islam bukan sekedar embel-embel atau pilahan belaka yang terlepas dari hakekat seni an sich, tapi ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari struktur seni yang hendak menegaskan spiritual dari kreasi artsitik serta ideology Islam, di sisi penanda bagi infinitas Allah yang Indah dan suka pada keindaham “ Innallaaha Jamiil wa yuhibbul Jamaal.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar