Kamis, 09 Oktober 2014

MANDAR, POROS MARITIM DAN GEOPOLITIK

Di Nusantara ini, satu-satunya patung Budha yang bertema “ Pelindung Pelaut” ( Dipankara ) dengan pose Mudra Abaya yang berarti ‘ jangan takut’ ditemukan di Mandar Sulawasi Barat, tepatnya di Sikendeng Mamuju. Penemuan itu tentu saja berkorelasi positif dengan pernyataan Christian Pelras bahwa Suku Mandarlah yang merupakan suku pelaut di Sulawesi Selatan-Barat, bukan yang lain. Di alam nyata juga secara kasat mata terlihat kecintaan orang Mandar pada laut yang besar. Selain hobby makan ikan laut atau melaut untuk mencari ikan, juga pada syair-syair Kalindaqdaq, lagu-lagu Mandar, laut senantiasa disebut-sebut dan dinyanyikan . Dengarlah lagu Panjala, Lita’ Pembolongan, Waktu Timur di Pamboang, Lindo-lindo Mariri, Tipalayo, To Pole di Balitung, Bura Sendana, Tenggang-tenggang Lopi, dll, maka anda akan merasa seolah sedang melaut atau berlayar saat menikmatinya.

Karenanya orang Mandar mestinya berada di barisan paling depan menyambut tawaran visioner presiden dan wapres terpilih Jokowi-JK untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘ Poros Maritim’ yang merupakan sebuah penguatan dan penyempurnaan konsep Wawasan Nusantara. Atau paling tidak kita wajib mendukung dengan sepenuh jiwa raga cita-cita wawasan geopolitik yang mulia tersebut. Kita adalah bagian paling nyata dari persyaratan bagi sebuat politik bumi yang mumpuni yang meliputi aspek SDA dan SDM. Dengan kesadaran ini, kita akan tetap ‘ngeh’ pada masih berlangsungnya geopolitik dan geostartegi global dengan aktivitas pencarian Lebensraum yang beroperasi seperti siluman untuk mencaplok satu demi satu sumber-sumber daya alam dan modal produktif kita sebagai bangsa, termasuk diantaranya sumber daya kelautan kita.

Intinya, kita mesti berfastabiqul khairat dalam mengaktualkan kembali budaya maritim dan wawasan kebaharian yang nyaris punah dewasa ini, makanya kini ramai digadang-gadang. Dan semua kita persembahkan hanya demi kesejahteraan bangsa dan perdamaian dunia. Tak perlu kita seperti Inggeris yang dulu berprinsip ‘ Great Britain rules the sea’ berdasar pada tesis Sir Walter Raleigh yang berbunyi “"siapa yang menguasai laut akan menguasai perdagangan dunia dan akhirnya akan menguasai dunia".

Sementara Halford Mackinder dalam buku ‘ Democratic Ideals and Reality’ menguraikan fakta-fakta sejarah akan saling berhadapan kekuatan di laut ( Seapower) dan kekuatan di darat ( landpower). Dimana kekuatan di laut hanya dapat menang dalam jangka waktu panjang ( longrun), dan kemenangan itu tergantung pada sumber-sumber laut, ukuran laut, dan lokasi laut. Dalam bukunya ‘ The Word Island Concept’ ( konsepsi Pulau Dunia), Mackinder mengatakan bahwa daerah jantung dunia atau poros dunia yang disebut Heartland, membentang dari sungai Wolga sampai ke sungai Yang Tze, dari pegunungan Himalaya sampai ke laut Arktika. Di luar daerah jantung tersebut terdapat daerah bulan sabit dalam ( inner crescent) yang terdiri dari Jerman, Austria, Turki, India dan China. Di samping itu terdapat pula daerah bulan sabit luar ( outer crescent) yang terdiri dari Inggeris, Afrika Selatan, Australia, Amerika Serikat, Kanada dan Jepang. Ada juga yang disebutnya Pulau Dunia ( World Island). Daerah poros adalah ‘the key to security’. Untuk mencegah invasi Jerman ke daerah ini, maka perlu dibentuk daerah penyanggah,yaitu Buffer State, yakni Negara-negara Eropa Timur seperti Polandia dan Cekoslovakia.

Berlandakan pada konsepsi Pulau Dunia dan Daerah Poros, maka Mackinder membuat kesimpulan sbb : “ Who rules east Europe commands the Heartland ; who rules the Heartland commands the Word Island ; who rules The World Island commands The Word.” ( Siapa yang dapat menguasai Eropa Timur akan menguasai daerah jantung; siapa yang menguasai daerah jantung berarti menguasai pulau dunia yakni benua Eropa, Asia dan Afrika ; siapa yang menguasai Pulau Dunia dialah yang akan menguasai Pulau dunia )

Itulah sebabnya dalam proyek ekspansi dan agresi Hitler Jerman dengan Biltzkriegnya, yang pertama diserang adalah Polandia sebagai salah satu Buffer Zona. Selain meyakini teori geopolitik di atas, Nazi Jerman di bawah Hitler juga menganut teori geopolitik Karl Haushofer yang berbunyi bahwa Negara tak ubahnya sebuah organisme yang lahir tumbuh dan berkembang. Maka untuk itu Negara memerlukan living space, lebensraum atau ruang hidup untuk dapat bertahan hidup. Space atau ruang itu bersifat statis, sedangkan manusia bersifat dinamis, maka konsekwensinya adalah bahwa manusia atau Negara harus melakukan penaklukan agar dapat tumbuh dan berkembang.

Walau Hans Morgenthau telah mengatakan bahwa teori geopolitik Jerman itu merupakan ilmu pengetahuan palsu, namun banyak bangsa di dunia yang masih mempercayai dan mempraktekkannya. Pencarian ruang hidup yang melintas batas dan menciderai kedaulatan Negara-negara masih secara kasat mata kita saksikan dewasa ini. Penjajahan Israel terhadap Palestina, Invasi dan intervensi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya ke negara-negara lemah tapi kaya SDA, upaya Tiongkok untuk menguasai Laut China Selatan adalah bukti masih dianutnya geopolitik lebensraum itu.

Sejarah mencatat bahwa kita pernah menjadi ‘raja di laut ‘ di masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Goa. Perdagangan antar pulau telah dimulai sejak zaman batu halus, perahu-perahu besar kecil milik suku-suku pelaut di Nusantara, termasuk Mandar hilir mudik membawa muatan dan dagangannya dari Madagaskar sampai lautan teduh, dari Jawa sampai ke Jepang. Konon perahu bercadik telah muncul di nusantara sejak zaman perunggu. Dengan budaya maritim pula maka memungkinkan terjadinya globalisasi budaya Hindu-Budha di abad ke 5, dan Islam di abad ke 13. Di jaman bahari, dialog Kebudayaan yang damai dan intens antara orang-orang India, Arab, Champa, Persia, China dan bangsa-bangsa barat dimungkinkan oleh adanya kebudayaan maritim yang hebat dari nenek moyang bangsa Indonesia.

Menghadapi fakta sejarah dan realitas politik internasional mutakhir, maka penguatan kembali akar kebaharian bangsa adalah suatu keharusan yang pada gilirannya akan memperkokoh kedaulatan maritim kita. Semua bisa dimulai dengan hal-hal sederhana seperti gerakan memberdayakaan para nelayan yang hidupnya masih nelongso karena masih berkutat dengan kelangkaan ilmu dan peralatan tangkap yang kurang mamadai dan berdaya saing. Apalagi konon rezim sekarang masih mengijinkan kapal-kapal nelayan asing yang berbobot lebih dari seribu GT untuk menangkap ikan di perairan Indonesia. Mengoptimalkan semua subsektor kelautan sembari terus melakukan riset kelautan, membuat tol laut, menambah jumlah armada kapal angkut antar pulau, memperbanyak pelabuhan dan fasilitasnya. Mengeksplorasi secara maksimal sumber-sumber mineral bawah laut dan memafaatkan energi pasang surut, menggalakkan wisata laut. Last but not least, menghidupkan kembali ‘ Gerakan Nasional Makan Ikan’ sebab ini terkait dengan kesejahteraan para nelayan yang rata-rata masuk dalam strata terendah masyarakat pekerja Indonesia.


Semua bisa dimulai dengan hal-hal sederhana seperti gerakan memberdayakaan para nelayan yang hidupnya masih nelongso karena masih berkutat dengan kelangkaan ilmu dan peralatan tangkap yang kurang mamadai dan berdaya saing. Apalagi konon rezim sekarang masih mengijinkan kapal-kapal nelayan asing yang berbobot lebih dari seribu GT untuk menangkap ikan di perairan Indonesia. Mengoptimalkan semua subsektor kelautan sembari terus melakukan riset kelautan, membuat tol laut, menambah jumlah armada kapal angkut antar pulau, memperbanyak pelabuhan dan fasilitasnya. Mengeksplorasi secara maksimal sumber-sumber mineral bawah laut dan memafaatkan energi pasang surut, menggalakkan wisata laut. Last but not least, menghidupkan kembali ‘ Gerakan Nasional Makan Ikan’ sebab ini terkait dengan kesejahteraan para nelayan yang rata-rata masuk dalam strata terendah masyarakat pekerja Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar