Jumat, 31 Desember 2010

Panjala.flv

Artikel (Daftar Isi)

 

Kamis, 30 Desember 2010

Puisi-puisi Perjalanan

BAH

Resapan air dalam tubuhku,
dalam jiwaku
Tak kuat menampung lagi
Banjir yang menggunung
Tak ada juga pelampung
Hingga aku hanya mengapung
Bah kirimkan segala kotoran
jadi jelaga yang bertimbun
Hati seolah dikepung musuh
tanpa pelindung

Hanya satu kemungkinan
terbebas dari serangan
menggali resapan baru
di dalam diri
Biar segala jelaga
Biar segala kotoran
habis tenggelam


TITIAN RAMBUT

Menetas cintaku dari telor matamu
Kurentangkan titian
di air mengalir deras
Aku meniti
namun tak pernah sampai
Titian seperti bertambah panjang saja
Pohon tua daunan muda
Gedung lama penghuni baru
Terhubung titian rapuh


BITUNG

Bila tiba di Bitung nanti, jangan lupa nikmati
cap tikus di kedai minum
kata teman seperjalanan
Aku hanya tertawa kecil
Terkenang Mamat ditinggal kapal
Asyik berlupa dengan aroma spritus
Hingga tanda pluit penghabisan

Kapal Umsini, 1991
PONTIANAK

Dari puncak Hotel Mahkota
kurasakan denyut jantungmu
yang kian melambat
Tersumbat  lemak dan sekat Suku Agama
Kapan saja urat nadimu bisa pecah
mengalirkan bau anyir
kepelosok-pelosok negri
Dan bila itu terjadi
Matahari akan mencari
perlintasan lain

Pontianak, 1989


HIPPY TUA
                          Buat Anto Sumarsono                    

Entah sudah berapa kali
kita beraksi dan berlagak jadi Cowboy
di pannggung-panggung hiburan
dengan laken dan baju kotak-kotak

Dan setiap pertunjukan
adalah totalitas bagimu
Tak pernah kau sia-siakan
untuk jadi Personator,
Hank William, Don Mc Clean, Ricky Skage, Allan Jackson
Bahkan Elvis Presley
Semua menyatu dalam dirimu

Kau The Old Hippy
yang menggenggam nafas zamanmu
lewat lagu-lagu Western, Blue Grass, Cajun dan Gospel.

Speaker kadang bergetar oleh suaramu
Panggung bergoyang karna aksimu
Penonton kau buat larut dan hanyut
dalam tema-tema alam, cinta dan Tuhan.

Kau The Old Hippy, telah tiada
Kini kami mengenangmu

Jakarta, 2000

Di MALAHAYATI

Di senja itu
kau jadi labuhan hati
Di atas bukitmu
Pohonan pinus senandungkan cinta
Lampu-lampu kapal
bagai mata anak perawan
Sepimu sepi abadi
Selalu orang-orang pulang lebih awal
Sebelum Magrib tiba
dermaga telah lelap tertidur
Di sini seperti tak pernah
melintas sejarah kebesaran Aceh
Apakah Hamzah Fansuri pernah kemari?
atau Nuruddin Ar Raniri............

Malahayati, 1987
PELAYARAN

Aku berlayar di lautMU
dengan hati galau
Pusaran angin tak menentu
cuaca berubah cepat
Sudah lama aku tak tahu
arti isyarat burung
bahasa awan dan nubuat mendung
Bila demikian, sebesar apapun perahuku
pastikan karam dan tenggelam
Tapi siapa yang mengatasi kasih sayangmu
takdir dan kuasamu
Jika perahu karam
andai aku tenggelam
untuk siapa semua itu?

Tuhanku, aku bukan apa-apa di hadapanmu

MIMPI CALON SUFI

Subuh yang basah oleh cinta
Mimpi sahaya asyik masyuk
Sedang kotoran bertumpuk-tumpuk

Manuk-manuk cintaku membumbung tinggi
melesat di tubuh angin 
Tapi kan sia-sia pendakian
akan habis perbekalan
Karena tujuan begitu jauh
dan kendaraan begitu rapuh

Tapi haruskah ada persatuan
dan lenyap semua bagian?.

Minggu, 26 Desember 2010

Sekilas ttg Sulbar

Sulawesi Barat
Lambang Sulawesi Barat
Lambang
"Mellete Diatonganan; "
( Meniti pada Kebenaran)
Locator sulbar final.png
Peta lokasi Sulawesi Barat
Koordinat 3º 50' - 0º 40' LS
117º 20' - 120º 10' BT
Dasar hukum UU 26/2004
Tanggal penting 5 Oktober 2004 (hari jadi)
Ibu kota Mamuju
Gubernur Anwar Adnan Saleh
Luas 16.796,19 km²
Penduduk 938.254 jiwa
Kepadatan
Kabupaten 5
Kota 1
Kecamatan
Kelurahan/Desa
Suku Suku Mandar (49,15%), Suku Toraja (13,95%), Suku Bugis (10,79%), Suku Jawa (5,38%), Suku Makassar (1,59%), Suku Lainnya (19,15%)
Agama Islam (83,1%), Kristen (14,36%), Hindu (1,88%), Buddha (0,04%), Lain-lain (0,62%)
Bahasa Bahasa Indonesia, bahasa Mandar, bahasa Bugis, bahasa Toraja, bahasa Makassar
Zona waktu WITA
Lagu daerah
Rumah tradisional {{{rumah}}}
Senjata tradisional {{{senjata}}}
Singkatan {{{singkatan}}}

Referensi: {{{ref}}}

Situs web resmi: http://www.sulbar.net
(?)

Sabtu, 25 Desember 2010

Pelantikan Soekarno sebagai Presiden

Rasa sayang sayange dalam film Belanda

Indonesia Tempoe Doeloe

Jakarta - Tempo Doeloe dan Sekarang

BATAVIA 1939

Tetty Kadi - Sepasang Rusa

Antara Pria Dan Wanita - ANNA MATHOVANI (P'Dhede Tjiptamas).wmv

TIADA LAGI - Tuty Subardjo........P'Dhede Ciptamas.wmv

Peluklah Daku dan Lepaskan - DEDY DAMHUDI.......P'Dhede Ciptamas.wmv

Sendja Di Kaimana - ALFIAN (P'Dhede Ciptamas).wmv

Jumat, 24 Desember 2010

Bahasa Mandar Untuk Anda


Muissambandi?

WAI ANNA OTO’
Dialaweta diang wai 38 liter, gannai nipake mambasei oto. Diang to’o 650 oto’, 250 nipake mua millambai tau. 0to’ kaminang masiga ma’jama oto’ kalopa’ mata, iamo anna malai tau tikin-kini’. Mua oto’ kaminang magassing, lila.

MATA
Bola matata mambe’na 28 harang. Mata to seha’ ( anding buta warna ) malai mambedakang limangatus cora’ abu-abu.

NAWA
Rupa tau rata-rata minnawa 680 juta dilalang tuona. Kira-kira 23,000 sangallo. Lasuna pute digoso’ diamboti’ malai  naendus nafasna tau.

TIPUI’
Mua tipui’ tarrusi tau inggana 6 taung anna 9 bulang, malai jari gas anna  energi nipake mappapia bong atong.

TIURU
Batang alawe mappapia tiuru tallulliter sangallo. Nganga mappapia mesa liter sangallo.

SEL ULI’
Mesa-mesa manne diang sakitar patappulolessorang sel uli’mate ra’da di batang alawe’.

INGARANG
Sadar duai tau cicco’ mua’ purai dipolong barota’.

ANYAMANGANG
Orgasmena tommuane kaminang masae annang deti’. To baine duappulo tallu deti’. Adede.......

ARE’
Are, mappapia lapisang lendir satia’da’dua minggu, anna da nande alawena.

BELUA’
Tommuane pad’dai bilua’na patappulo sangallo, tobaine pituppulo. Mesa batang belua’ tumbuh sakitar dua ingganna annang taung mani nasallei bomi belua’ baru

LIMA
Anding tomala mallepa’i sikunna. Mua nipasijajari lima kanan anna kaeri, lakkana sittengang linggato’na alawe.

KANUKU
Kanuku limanna tau missung peappe la’bi masiga dadzi kanuku lette. Sappulotallu prosen tau dilino kidali. Tau andiang kidal amesa taong la’bi malakka ummurna dadzi tokidal.

OTA’
Sitonganna tau meita mappake ota’. Mata sangga’ sittengangi kamera makkiring data lao di ota’. Kira-kira diang sappulo appe bagiang ota’ tipake ma’atur mata..

SIDI’ JARI
Mane tallumbulangi tau dilalang are diammo sidi’jarita.

JANTUNG
Jantungna tau me’uya sangatus lessorang sangallo.

TALINGA
Peirranna tau la’bi kayyang di talinga kanang

RINGE
Sanaeke diang 20 ringe mula-mulana. Tomatua diang 32. Diang la’bi tallungngatus pappapia karang ringe. Ringe meloi sikkarras batu karang.

DARA
Batang alawe mappapia  anna mappatei sappulo juta sel dara mamea ilalang mesa detik.

MANGIPI
Sappulo da’dua proseng to normal mangipi malotong-mapute. Ia lainna mangipi full color.


BONUS ( KOMPUTER ANNA INTERNE’ )
Interne’ mammulana na ita ianasang tau di 30 April 1993. Kira-kira 35 prosen to miccue konta’ jodo diinterne’, purami likka.

Damusangai folder barumu CON, apa’ tatta’i tu’u New Folder sangana.
Da mu se’ tes pailmu judulna, Bush hid the facts, apa na pa’dai tu’u tesnna ( teks ), andani na mindulu.
Keti’i dio di MS Word, =rand(200,99), na tibikke’o tu’u



Siruamo dolo, tattangaimi sambunganna…………..


Jakarta, 25 – 12 – 2010

Syafiyullah Pilman

Kamis, 23 Desember 2010

Musik Pembebasan

Bicara tentang musik, maka kita akan bicara sesuatu yang luas, halus, indah, harmonis dan menyenangkan. Musik dari jaman ke jaman telah berfungsi macam2 : Ritual, kenegaraan, hiburan dan pembebasan.

Nah, musik sebagai pembebasan ini menarik untuk disimak. Konon yang mengalahkan Amerika di Vietnam adalah musik, lewat kuncen-kuncennya spt, Bob Dylan, Joan Baez dan Jane Fonda. Lewat lagu protes dan anti perang merekalah, mahasiswa2, rakyat pro perdamaian bangkit untuk melawan nafsu predator dan imperialis Amerika. Jadi sebuah negara superpower dikalahkan oleh musik dan lagu.

Musik sebagai terapy kecerdasan dan kesehatan, perlu juga kita perhatikan. Para ahli mengatakan, bahwa 
penyebab kelebihan dan kecerdasan anak2 Jepang dan Singapura adalah, karena mereka sejak dini ( dibawah usia 6 thn ), telah dikenalkan dan diajari musik2 klassik atau bermutu, spt musik klasik Mozart, Chopin, Bethopen dll. Dengan berlatih dan memainkan musik2 klasik yang indah, bermutu dan sering rumit itu, otak kiri anak akan dirangsang untuk activ dan bekerja, yang pada gilirannya akan mengembangkan kemampuan2 logika, matematis dan daya ingat mereka. Makanya di Jepang, anak-anak SD sudah bisa membuat program games komputer. Musik disni berfungsi sbg pembebasan dari kebodohan.

Dari sudut pandang penganut paham Art for Art, apa yang ditulis diatas memang agak berlebihan. Masalahnya adalah apakah kita mau merubah negara kita dari negara yang masih dikategori biasa2 saja ini, menjadi negara yang diperhitungkan dan berwibawa di dunia. Tentu tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang positif demi perbaikan kedepan. Pengajaran dan perkembangan musik2 serius di negara kita masih belum memadai untuk menjadi salah satu motor penggerak kemajuan. Masih didominasi oleh musik2 hiburan dan pertunjukan untuk komoditas pariwisata. Bahkan musik2 tradisional kita telah lama menjadi komoditi pelampiasan rasa ingin tahu dan eksotisme para turis. Jarang ada sebuah eksplorasi musik tradisi sekarang ini yang tidak dikaitkan dengan upaya pengembangan pariwisata.

Untuk sebuah musik pembebasan, ( Indah dan bermutu ), tidak harus datang dari barat. Kitapun bisa meramu musik seperti itu dengan bahan-bahan dari negri sendiri seperti, musik tradisional, religi, pop, dangdut dan kroncong. contoh yang bagus adalah musik Kiayi Kanjeng ( MH. Ainun Najib). Masih banyak sebenarnya ciptaan2 musik bangsa sendiri yang masuk kategori musik pembebasan, namun ia tenggelam dalam hingar-bingarnya musik Hip-hop, Rap, Disco, Rock dan alternative. yang belakangan ini bukannya buruk, hanya fungsinya saja yang lebih banyak kehiburan dan merangsang nafsu2 instingtif kita. Ada juga diantaranya yang bagus.

Nah, marilah kita sebagai orang2 yang masih mencintai musik dan bangsa ini berjibaku untuk meningkatkan kelas musik kita, hingga berfungsi sebagai musik Pembebasan. Caranya, ya antara lain dengan meningkatkan dan mengembangkan Apresiasi dan Pendidikan Musik. Salam.


Jakarta, 23 Desember 2010.
Syafiyullah Pilman

Rabu, 22 Desember 2010

Daftar Isi

VOICE OF SULBAR

Bangunnya Keke dari Mati Suri

Bangunnya Keke dari Mati Suri
“N
ak, ada keke sebentar lagi”, ujar Ibu angkat saya lembut dengan wajah yang Sumringah.
Saya yang sedang asyik mempelajari Bahasa Mandar di kamar baru saya segera keluar kamar.  Saya memang begitu penasaran dengan kesenian yang satu ini. Keke namanya. Nama kesenian yang belum pernah saya dengar sebelumnya.
Sebenarnya saya mengenal nama keke dari ayah angkat saya di sini. Beberapa hari lalu, saya bertanya-tanya kepada ayah saya yang juga merupakan tokoh adat di Dusun Limboro. Saya bertanya tentang kesenian yang ada di Limboro. Beliau pun menjelaskan bahwa cukup banayak kesenian yang pernah hidup di Dusun Limboro. Ada suling, rebana, tambolang, sayang-sayang, tari Mandar dan juga keke.
Kesenian keke agaknya yang paling menarik perhatian saya. Saya mencoba bertanya tentang semua hal yang berhubungan dengan musik keke. Ayah saya tersebut pun berjanji akan mengundang pemain keke untuk bermain di rumahnya. Menurutnya, tak banyak warga dusun Limboro yang dapat bermain keke. Hal ini disebabkan alat musik keke sudah mati suri sejak lima puluh tahun lalu di dusun ini. Jelas, generasi-generasi yang bukan tahun 50-an atau 60-an, tidak mengenal kesenian ini.
Ya, malam ini agaknya saya sangat beruntung. Ayah saya menepati janjinya untuk mengundang pemain keke bermain dan meniup kekenya kembali. Pemain keke tersebut bernama Bapak Sulaimanah, Bapak Samsul, dan Bapak Muhamaad Ali. Suasana rumah saya malam itu begitu ramai. Warga dusun Limboro seolah tidak ingin ketinggalan menyaksikan secara langsung peristiwa bangunnya keke dari mati suri. Ya, malam ini   Keke hidup kembali setelah lima puluh tahun tidur panjang di desa ini.
Bapak Sulaimanah yang menurutnya usianya kini sekitar 70 tahun, mulai meniup keke. Suara keke pun mulai terdengar. Sungguh alunan musik keke membuat saya dan sebagian warga dusun Limboro yang menyaksikannya menjadi terpana. Alunan suara dari bambu kecil itu telah membuat kami tersihir dan merinding.
Tidak hanya musik keke yang diperdengarkan. Lantunan syair-syair Mandar atau biasa disebut dengan kalinda’da’ pun turut didendangkan oleh Bapak Syamsul dengan iringan musik keke. Malam itu, pertunjukkan keke sungguh membuat saya menjadi sangat terhibur.
Para warga Dusun Limboro pun mulai berbisik-bisik. Mereka tampaknya sibuk membicarakan keke yang telah bangun dari mati surinya. Banyak warga Limboro yang ternyata belum pernah mendengar musik tersebut. Hanya orang-orang tua, yang umurnya di atas lima puluhan, yang tampaknya mengenal keke. Para orangtua-orangtua yang berkumpul pun terlihat sangat menikmati dan seolah bernostalgia dengan masa lalunya. Bahkan ada beberapa ibu yang menitikkan air mata.
Alat musik yang hampir punah ini ternyata memang alat musik lama. Alat musik ini sudah ada sejak zaman perang Kemerdekaan atau zaman penjajahan Jepang. Keke hadir ketika alat-alat musik tradisional lainnya belum lahir.
Bapak Mukdin, yang juga merupakan tokoh adat di Dusun Limboro menceritakan sejarah alat musik keke kepada saya. Ia mengatakan, menurut cerita-cerita dari orang tuanya dulu, alat musik keke dibuat oleh para pejuang kita yang sedang melawan penjajah Jepang. Para pejuang yang sedang bergeriliya di hutan mengusir sepi dengan membuat alat musik keke.
Alat musik keke sangat unik. Alat musik ini terbuat dari dua bambu kecil berbentuk suling kecil yang disatukan. Bambu kecil yang pertama dibentuk seperti suling kecil yang mempunyai empat lubang. Sementara itu, bambu kecil yang kedua dibentuk seperti suling tetapi tidak mempunyai lubang. Bambu tersebut diberi celah agar bisa mengeluarkan bunyi. Di ujung bambu pertama diberi daun pisang yang dililitkan diujung badan keke. Panjang keke kurang lebih 20 cm. Alat musik ini dimainakn dengan cara ditiup.
Pada awal pembuatannya, keke memang dibuat untuk mengusir penat para pahlawan  kita yang sedang berjuang di hutan Sulawesi. Namun pada perkembangannya tahun 1950an, keke bukan lagi dimainkan hanya sekadar mengusir kebosanan di hutan. Keke dimainkan pada perayaan panen atau pesta pernikahan.
Biasanya, keke dimainkan bersamaan dengan dilagukannnya syair kalinda’da. Kalinda’da merupakan syair-syair Mandar yang biasanya dilisankan.
Kalinda’da berisi macam-macam tema. Tema-tema tersebut sekitar hubungan dengan Tuhan, tentang rezeki, cinta, dan perilaku masyarakat sosial. Tak jarang juga, kalinda’da’ berisi sindiran-sindiran terhadap orang yang datang pada acara diadakannya pertunjukkan keke.
Malam itu, ternyata kalinda’da’ atau syair mandar yang dinyanyikan oleh Bapak Samsul berjudul “Tipalayu”. Tipalayu merupakan kata yang berasal dari Bahasa Mandar. Tipalayu artinya gambaran dari ciri khas wanita remaja mandar yang berparas cantik tinggi dan ramping.
Syair Tipalayu bercerita tentang seorang jejaka Mandar yang sedang naik kapal. Ia sedang berlayar hendak merantau. Ketika sedang berada di atas kapal layar, ia membayangkan seorang gadis Mandar. Gadis Mandar itu tipalayu.
Sama seperti pertunjukkan wayang kulit di Pulau Jawa, pertunjukkan keke juga terkadang dilakukan semalam suntuk. Namun berbeda dengan dalang yang terus menerus memainkan dari malam hingga pagi hari sendiri, penutur kalinda’da’ dan pemain keke menampilkan secara bergantian.
Pertunjukkan keke tidak jarang ikut menampilkan wanita untuk menarik perhatian penonton yang datang menyaksikan. Wanita yang ditampilkan adalah gadis-gadis tipalayu. Gadis-gadis tipalayu ini diletakkan berjejer di depan pemain keke. Jumlah gadis-gadis tipalayu ini bermacam-macam. Jumlahnya sekitar lima sampai sepuluh orang. Di depan gadis-gadis tersebut, terdapat tempat untuk meletakkan uang. Masing-masing gadis tipalayu mendapat satu kotak tempat uang. Biasanya, jika penonton pertunjukkan suka atau tertarik pada salah satu gadis tipalayu yang ditampilkan, ia menaruh uang di depan tempat gadis itu duduk.
Malam itu, pertunjukkkan keke yang berlangsung di rumah Pak Saeni yang juga ayah angkat saya, berlangsung hingga pukul 23.00. semua warga yang datang merasa begitu terhibur. Saya juga merasa begitu senang dapat menjadi saksi bangunnya keke dari mati suri.
Namun, tidak lantas saya berbangga hati. Ada pekerjaan berat yang harus segera dilakukan. Keke tak mungkin terus dibiarkan. Jika terus terpendam, ia benar-benar akan mati dan hilang dari peradaban. Dusun Limboro pun lantas akan kehilangan aset budaya yang sangat membanggakan. Perlu adanya usaha pelestarian. Pengkaderan terhadap generasi-generasi penerus pun tampaknya menjadi salah satu cara agar musik keke terus berdendang kembali. Semoga pertunjukkan yang ada malam itu menjadi titik tolak kebangkitan musik keke kembali di dusun ini.
Limboro, 22 November 2010
Saktiana Dwi Hastuti

Satu Respon dari “Bangunnya Keke dari Mati Suri”

  1. yulhaida Badar berkata:

    Dec 16, 10 4:37 am Betapa kayanya Indonesia dg berbagai kesenian,mdh2an dg adanya IM bisa membangkitkan bbrp kesenian daerah yg blm banyak diketahui dan hampir punah itu.


VOICE OF MANDAR


Menapaki Jalan Sunyi Aba Patima...
Diposting tanggal: 06 Oktober 2010

Teks dan Foto : Abdul Muttalib

La ilaha Illallah...
Naleppang tappa’i  tau dzi lino maindang dosa / Hanya singga di dunia meminjam dosa//Dosa Kindo’ Kama’andani riulle di suatang / Dosa Ibu Bapak sungguh berat untuk dipikul//Mandangganni boi tau dosa lao dzi tau laeng / Kita pun ikut menambah dosa baru ke sesama//

Demikian salah satu lirik sayang-sayang yang ditembangkan Ka’da (75) karib di panggil A’ba Patima saat bermain kacaping di suatu sore yang mendung, awal Okteber lalu. Lirik sayang-sayang yang mengajak kita merenung, memaknai hakekat hidup. Seolah menarik kita menapaki jalan sunyi nan hening.
Dengan antusias dan pola keramahan khasnya, A’ba Patima menyambut kami di rumah panggung miliknya dengan senyum yang tak pernah surut di raut wajah yang dibeberapa bagian telah menampilkan gurat keriput. Boleh dibilang usianya kini menyenja, namun semangatnya mempertahan kesenian kacaping khas Mandar tak boleh disangsikan.
“Nariangmo’ annapulo appe taung upogau di’e kesenian kacapinge’ (Sudah 64 tahun saya menggeluti kesenian kacaping ini),” katanya seraya menerangkan awal usia 11 tahun dirinya mulai karib dengan alat musik yang diakuinya banyak mendatangkan berkah. Tentu bukan dalam bentuk materi.
“Karana kacaping anna panginoang sayang-sayang mai’di’mi kappungnna tau uwita, maidi tomi tau dzisisasangang. Palluareang menjari mai’di’ (Berkat kacaping dan kesenian sayang-sayang, saya banyak melihat/mengunjungi daerah dan mengenal orang baru untuk mejaga tali silaturrahim,” ucapnya merendah.
Kemampuan A’ba Patima memainkan kacaping dan menembangkan syair sayang-sayang yang tidak hanya indah tapi juga banyak memuat seruan bijak para tetuah pendahulu di Mandar. Tak heran, jika dirinya telah beberapa kali diundang ke berbagai wilayah semisal; Kalimantan, Makassar dan beberapa daerah pelosok di Sulawesi Barat.

Sarat Makna

Jadilah suasana sore di rumah Panggung A’ba Patima yang berada di Desa Tammejarra, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar menjadi hangat. Sesekali di isi oleh letupan canda, sikap ramah dan kesahajaannya begitu memesona. Seperti ketika ditanya, apa dan bagaimana rahasia sehingga bisa melahirkan syair indah sayang-sayang dengan bebas, mengalir, lincah—sarat makna meski tanpa konsep?
“Ia rie’ sayang-sayang, paunna ate, dzipoloa membali (sayang-sayang dan saya hanyalah/ laksana media ungkapkan suara hati terdalam),” bebernya seraya mengembangkan senyum. Jika ingin belajar main kacaping dan sayang-sayang, pesannya, terlebih dulu mesti karib mengenal kacaping.
Tidak hanya mengenal dari segi bentuk materi kacaping, kayu, dan tali senarnya beserta syair puitik sayang-sayang. Lebih jauh, kacaping sanggup menjadi media untuk mengetahui khakekat hidup. Sebab menurutnya, dalam kesenian kacaping dan sayang-sayang sarat makna hidup. Mengajak kita taat dalam harmoni hidup yang menghidupkan.
Lima ga’ri’gi dibagian leher kacaping merupakan simbol lima waktu shalat yang merupakan media komunikasi seorang hamba kepada sang Khalik. Keharmonisan komunikasi ini mesti dijaga dalam hidup yang menghidupkan, layaknya memaknai simbol Ibu yang tengah menyusui. Simbol ini, bisa disimak dari cara duduk saat memainkan kacaping, yang mana, paha kiri diangkat seraya menimang kacaping laksana bayi  yang sedang disusui.

Penjaga Energi

Inilah bukti, bahwa separuh hidupnya telah diwakafkan demi menjaga kelangsungan kesenian tradisi Mandar. Hal ini bisa dilihat saat A’ba Patima ikut mendirikan komunitas Assamallewung (2003-sekarang). Komunitas yang dipahami intens berjibaku dengan musik tradisi khas Mandar yang senangtiasa mengenalkan keragaman serta keunikan kesenian tradisi Mandar ke anak-anak dan generasi muda lewat egenda latihan musik bersama yang dilakukan. 
Di luar aktifitas berkeseniannya, dirinya banyak meluangkan waktu untuk berkebun. Maklum, jarak kediamannya dengan beberapa petak kebun yang digarapnya cukup mudah disambangi. “Mua nandiang’bo’o meperoa mangino kacaping, manguma womi tau.  Apa’ panguma memang dzi’ ita’ (Jika tak ada undangan atau ajakan bermain kacaping, saya kembali berkebun. Karena sebenarnya, saya adalah petani,” Urainya.
Begitulah sosok A’ba Patima, kapan waktu ditemui kala dihujani gemuruh tepukan dari penyaksi kepiawaiannya memainkan kacaping seraya melantunkan kidung indah sayang-sayang yang sarat pesan moral. Tapi di lain waktu dirinya menapaki jalan sunyi sebagai seorang hamba yang menjaga komunikasi dan energi kreatif dengan alam, sesama dan sang pemilik hidup.
(s. 



Art Tatum plays Dvorak

Oscar peterson - Cakewalk

Oscar Peterson -The Quartet Live feat.Joe Pas-Soft Winds

Robert Frost

Stopping By Woods on a Snowy Evening

Minggu, 19 Desember 2010

Andra n 7 Album tergaul Indon

Manusia Biasa, Yopie n Nuno

INBOX - ENDANK SOEKAMTI Live di INBOX (Courtesy SCTV)

Sandhy Sondoro - Malam Biru (Kasihku) @ New Wave Festival, Latvia 2009

Dian Pramana Poetra - Kau Seputih Melati

Sammy & Kerispatih - Aku Harus Jujur (Full Video) -- er1ck9 Music

Ungu - 1000 kisah satu hati - Percaya Padaku

China's wealthiest village - Asia-pacific - Al Jazeera English

China's wealthiest village - Asia-pacific - Al Jazeera English

European values: liberty or tyranny - Features - Al Jazeera English

European values: liberty or tyranny - Features - Al Jazeera English

Hunt on for Indonesia ferry victims - Asia-Pacific - Al Jazeera English

Hunt on for Indonesia ferry victims - Asia-Pacific - Al Jazeera English

Black Magic

Indonesia's flourishing black magic - asia - Al Jazeera English

Rangkuman Pidato SBY di Harvard - Liputan VOA 29 September 2009

Tausiyah Gus Dur

Pidato Megawati Soekarno Putri 06/04/10 (1/5)

President Indonesia, BJ Habibie

Pengunduran Diri Presiden Soeharto

Sukarno berpidato pada HUT RI '64

Fidel Castro Proclaims Himself a Terrorist

Che Guevara, Imperialism speech 1965, translated

VIDEO Pidato Obama di UI Universitas Indonesia Kuliah Umum 2010 Kunjunga...

Jumat, 17 Desember 2010

Tokoh dan Budaya

BAHARUDDIN LOPA DAN KEARIFAN LOKAL MANDAR


Rasanya mungkin hanya segelintir orang saja di republik ini yang tak mengenal sosok Baharuddin Lopa. Kiprah dan sepak terjangnya di dunia hukum begitu  fenomenal dan dikenal luas. Lopa membuat banyak pelanggar hukum dan kriminal negara ketakutan pada tindakan dan keberaniannya. Mulai dari penguasa lokal Andi Selle, pengusaha lokal Tony Gozal, sampai pengusaha Nasional Bob Hasan, semua telah merasakan dan mengalami betapa kerasnya palu godam hukum dan keadilan ditangan seorang Baharuddin Lopa.

Walau karier puncaknya sebagai penegak hukun – Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung di era Gus Dur – hanya bertahan sekitar 5 ( bulan ) karena keburu dipanggil sang Khaliq, namun keteladanan, kredibilitas, integritas dan pemikirannya di lapangan hukum dan keadilan akan dikenang melampaui batas-batas waktu.

Membaca Lopa, tak bisa terlepas dari pembacaan pada tradisi dan kearifan lokal Mandar. Suku Mandar kaya dengan warisan tradisi, nilai-nilai dan kearifan yang terdokumentasi di dalam lontara, cerita-cerita rakyat, sastra lisan ( Kalinda’da ), sejarah pemerintahan dan orang – orang besar Mandar ( Mara’dia dan Bangsawan Adat ).

Lopa dan budaya Mandar saling bersimbiosis ; Lopa terinspirasi oleh tradisi dan kearifan lokal Mandar, yang terakhir terevitalisasi dan teraktualisasi oleh Lopa.

Sosok yang mula-mula meletakkan dasar-dasar sistim budaya politik dan hukum yang berorientasi pada kepentingan rakyat kecil di Mandar adalah I Manyambungi alias Todilaling, Raja Balanipa pertama. Mulai memerintah sekitar thn 1440 ( Darwis Hamzah, 1986 ).
  
Todilaling dimata rakyat Balanipa ( Mandar ), adalah penyelamat dari kezaliman dan angkara murka. Todilaling  menyingkirkan dan menghukum semua pmimpin yang kejam dan sewenang-wenang, seperti To Makaka Lerang, To Makaka Titie, To Makaka Loppong dan lain-lain.

Antara lain sikap dan kearifan Todilaling yang diwarisi oleh banyak pemimpin-pemimpin Mandar yang datang kemudian, adalah prinsip dan sabdanya ” Patondosaliwangi baromu, patondotamai barona tau mae’di ”, ( Tempatkan kebutuhanmu pada garis luar, utamakan kebutuhan orang banyak ).

Prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan yang ditanamkan oleh To Dilaling, boleh jadi telah mengilhami Lopa dalam kiprahnya di Pemerintahan dan Masyarakat. Sikap tanpa kompromi dan keberanian Lopa, adalah tipikal Raja-raja Mandar dahulu dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Salah satu dari sekian banyak yag telah menginspirasi Lopa, adalah ungkapan ” Ada tammakeana, tamakkeappo” ( Hukum itu tidak beranak dan tidak bercucu ). Beliau menjelaskan bahwa hukum harus diberlakukan sama pada setiap orang. Tidak boleh lantaran orang berpangkat tinggi maka dibebaskan dari tuntutan hukum walaupun ia bersalah. Sebaliknya, jangan karena ia seorang penduduk biasa, maka diperberat hukumannya.

Dalam hukum tatanegara ( Politik dan Pemerintahan ), beliau selalu berpedoman pada adat Lontara di Langgana halaman 18 yang berbunyi ” Kalau terjadi perselisihan dalam soal-soal pemerintahan antara Raja dengan para anggota Dewan Adat, maka penyelesaiannya ditentukan oleh rakyat yang berarti keduanya tunduk pada kehendak Rakyat ” ( Baharuddin Lopa, Pidato Kebudayaan di TIM 1999 ).

Nyatalah pada kita, bahwa beliau dalam setiap kesempatan dan pidatonya selalu mengangkat pesan-pesan dan kearifan dari kebudayaan leluhurnya.

Kalinda’da adalah salah satu bentuk sastra lisan Mandar yang sering dikutip oleh Lopa dalam tulisan-tulisan dan orasinya. Beliau paling suka memilih Kalinda’da yang berisi pesan-pesan agar mau bekerja keras, hemat dan menjaga harga diri ( Siri’ ). Kalinda’da yang berisi anjuran untuk bekerja keras berbunyi” Dipameappai dalle, Diletteangi pai, Andiang dalle, Napole mettiroma ” ( Rezeki itu harus dicari, titiannya harus dibuat, karena rezeki tidak akan pernah datang menyongsong kita ).

Untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia yang kini terpuruk disegala bidang, kita memang harus mencari berbagai altenatif perbaikan, lalu meramunya dengan model-model yang telah ada, baik yang datang dari luar maupun dari masyarakat sendiri.

Adalah seorang ahli teori pembangunan Brazil, Alberto Guerreiroo Ramos yang telah memajukan teori P ( Probability ) sebagai alternative atas teori N ( Normative ) yang berciri konvensional. Asumsi teori N adalah, negara-negara yang sedang berkembang sekarang pastilah secara berangsur – angsur menuju kearah tingkat perkembangan yang telah dicapai oleh negara-negara maju. Teori ini berkonotasi totalitas  dan positivistik. Sebaliknya, teori P tak mau terikat pada model-model empiris yang ada. Harus ada alternative2 dan kemungkinan2 baru dalam rangka pembangunan masyarakat. Pendekatan teori P memungkinkan kita untuk mencari kearifan-kearifan dari budaya sendiri guna mendorong perbaikan masyarakat. Dan itu telah dilakukan oleh negara-negara Naga di Asia Timur dengan menoleh pada kearifan2 yang terkandung dalam budaya, agama dan pilsafat mereka, seperti dalam ajaran-ajaran ; Konfucionisme, Taoisme, Budhisme ( Zen Budhism ) dan Shintoisme ( Mokhtar Naim, 1995 )

Dalam kaitan itulah, eksplorasi Lopa pada kebudayaanny, pantas kita hormati dan teladani. Beliau dengan tak bosan-bosannya berusaha mengangkat dan mengaktualisasikan nilai-nalai dan kearifan2 yang terkandung dalam budaya leluhurnya untuk dipersembahkan bagi perbaikan masyarakat. Beliau sangat meyakini, bahwa hukum yang diturunkan dari nilai-nilai dan kearifan yang hidup dan diyakini rakyat, berptensi untuk dihargai dan ditaati sehingga dapat berperan sebagai ” A Tool of Sosial Control and A Tool Of Social Engineering”.

Jakarta, 22 Juni 2007
Syafiyullah Pilman

Kamis, 16 Desember 2010

NARSIS ( sebuah Nostalgia )

SYAFIYULLAH


Lahir di polewali Sulawesi Barat, tanggal 4 Desember 1958. Orang ini punya nama banyak, kadang dipanggil Pilu, kadang Pilu MD, Pilman atau Pilman DR. Yang pasti dia belum punya nama (terkenal) diblantika apapun, padahal obsesinya banyak. Mulanya pengen jadi menteri (mantri cacar kali yaw ) lalu ingin jadi insinyur, trus brubah lagi mimpi jadi pengacara beken, trus jadi pelukis, pengarang, pecatur.......akhirnya nekat ingin jadi komponis, musisi dan arranger. Namun tak satupun obsesi dan ambisinya yang kesampaian. Sebenarnya ada juga sih artis yang dengan terpaksa makai lagu ciptaannya, spt Dina Mariana, Robin Panjaitan, Muni Paramitha, eh siapa lagi ya.... Warkop DKI, Jojon cs, Wanda Chaplin, Tom Sleepe, Asmin Caider, Ajas Cool dll, tapi itu tak sempat membawanya jadi komponis beneran seperti mimpinya. Juga telah mencoba membuat lagu daerahnya; Mandar, tapi belum ada yang mau beli. Sempat juga ngendon di Majelis Kebudayaan PP Muhammadiyah bagian musik, tapi disana kerjanya cuma rapat sana rapat sini. Jadi anggota PAPPRI ( Persatuan Artis Penyanyi dan Pencipta Lagu Indonesia ) dan YKCI ( Yayasan Karya Cipta Indonesia ) dan berbagai organisasi Seni Budaya lainnya. Namun sampai saat ini belum bisa apa2 dan berbuat banyak  Akhirnya sekarang terdampar di Mandarindo sebagai blogger yang mencoba menjadi seorang penulis...........
Pilu pilu mo jadi apa lo1!.

Disini dia pajang penampilan lawasnya di TVRI 1983,bersama Mandar Vocal Group bermain gitar. Yang menyanyi senator Mandar saat ini Iskandar Muda Lopa. Nimbrung juga Ali Masdar, Bupati Polman sekarang. Ada Nani Arif Jamaluddin, Susie Suyud, Erna Nawir, Else Datu lolo, Surya Darwis, Melanie Samsi

MUSIK ETNIK

SAYANG – SAYANG

Sayang – sayang adalah genre musik yang paling popular dan sangat digemari oleh sebagian besar orang Mandar, baik yang berdiam di tanah kelahiran maupun yang tersebar di perantauan. Di Jakarta saja dimana warga Mandar rentan terasimilasi, sayang-sayang tak pernah absen dimainkan dalam setiap perhelatan dan perayaan bersama. Hal ini menandakan bahwa sayang-sayang telah menjadi bagian dari kehidupan dan jati diri orang Mandar.

Namun dalam menyanyikan dan mendengar sayang-sayang, kita sering hanya berhenti pada tahap penikmatan dan keterpesonaan oleh effek melodious dan puitis yang ditimbulkannya. Keindahannya paling banter memberi resonansi alam masa lalu dan suasana tertentu pada jiwa. Kita selalu luput menyingkap makna-makna budaya dibalik eksotisnya sayang-sayang.

Sejatinya sayang-sayang adalah musik ” Hibryd ” atau sebuah pakta persilangan budaya bila ditinjau dari bentuknya yang mutakhir. Dalam bentuk aslinya, kita bisa merujuknya pada alat-alat musik etnik Kacapi dan sastra lisan Mandar ( Kalinda’da ) yang dilagukan. Disini, sayang-sayang masih berfungsi sebagai Foklore ( tradisi rakyat ) yang tersebar secara lisan dan milik kolektiv orang Mandar. Belum terjadi prosea individualisasi dan profesionalisasi.

Pertunjukan dan penyajian sayang-sayang masih dimaksudkan untuk memberi pesan-pesan religious dan sosial, sekaligus untuk mengkritisi anomali-anomali budaya dan politik dimasanya. Jadi dalam bentuk aslinya, sayang-sayang adalah bersifat sakral dan sublim. Pada era individualisasilah ia mengalami dan mendapatkan wujudnya yang propan, komersil dan kerap memparodikan teks-teks lama.

Dalam bentuknya yang mutakhir, secara eksplisit dan implisit nyata ada pengaruh budaya Isalam dan barat pada sayang-sayang. Etnisitas yang tersisa barangkali hanya pada aspek cita rasa dan syairnya saja.

Estetika sayang-sayang telah ter Islamkan sejak awal transformasinya. Menurut seorang sarjana besar Islam, Ismail Al Faruki, ada 6 ( enam ) ciri-ciri seni Islam yakni ; Abstraksi, Struktur modular, Kombinasi Suksessif, Pengulangan Dinamisme dan Kerumitan Namun tidak semua ciri-ciri seni Islam tersebut mengejawantah dalam sayang-sayang.

Mungkin yang paling nyata hujamannya pada sayang-sayang adalah aspek Pengulangan. Dalam sayang-sayang pengulangan2 dengan nada itu-itu saja sangat dominan. Motif-motif melodi dalam satu bait akan diulang lagi pada bait berikutnya. Tak ada batasan dalam jumlah bait, tak ada refrain, tak juga bergagah –gagah dengan variasi nada dan chord.

Pengulangan2 yang kadang membosankan itu dari segi nada bukan akibat miskinnya gagasan musikal. Sebaliknya ciri ini merupakan aspek struktural yang diperlukan oleh orang Islam guna menciptakan efek ketakterhinggaan Tuhan sang maha pencipta ( infinite ). Dalam nada-nada yang terkesan monoton itu akan dialiri oleh syair ( Kalinda’da ) yang berbeda-beda tema dan isinya. Disnilah letak uniknya. Menurut seorang ahli, kebanyakan musik etnik berorientasi pada arti kata, kurang abai pada aspek melodi. Yang pasti pengaruh estetika Islam sangat kental pada sayang-sayang. Kalau diuraiakn juga ciri Islamnya yang lain, kita tak cukup halaman untuk membahasnya.

Pengaruh budaya musik barat adalah yang paling kasat mata pada sayang-sayang. Sejak kacapi dikudeta oleh guitar sebagai waditra untuk mengiringi sayang-sayang, maka scala (tangga nada ) pentatonis – scala asli Mandar – digantikan oleh tangga nada diatonis barat. Penggunaan tangga nada diatonis pada sayang-sayang memungkinkan warna musik keroncong mendominasi sayang-sayang dengan cengkok-cengkok dan alur nadanya yang khas. Susunan dimulai dari nada Tonika – Bridge – sub Dominan – tonika – dominan lalau kembali ke tonika lagi.

Gitar adalah waditra produk Barat ( Portugis/ Spanyol ). Mula-mula dibawa dan disebarkan oleh orang-orang Portugis ke pesisir-pesisir nusantara untuk memperkokoh dominasinya dibidang budaya. Namun kapan persisnya masuk ke Mandar belum terungkap secara pasti. Pemamfaatannya untuk mengiringi sayang-sayang adalah dengan penggunaan teknik Los Quin. Kemungkinan besar gaya permainan Los Quin ini dibawa oleh seniman-seniman Mandar yang tinggal di Makassar pada thn 50 an.

Mengenai Islamisasi sayang-sayang, kita bisa merujuknya pada cara dan strategi penyebar- penyebar Islam di Nusantara yang kerap menggunakan seni dalam berdakwah. Di Jawa para Wali berdakwah dengan gamelan dan wayang, lalu memasukkan unsur-unsur Islam kedalamnya. Mantra-mantra diganti dengan do’a. Di Sumatera para penyebar Islam menggunakan syair-syair, tari Zapin dan lain-lain. Di Mandar, sayang-sayang selalu diawali dengan Basmallah. Syairnyapun banyak yang bernuansa Islam( Kalinda’da Isagala ). Namun akhir-akhir ini telah banyak bermuatan syair percintaan yang malu-malu kucing. Hal ini disebabkan oleh komersialisasi yang akut.

Sampai disni kita lihat betapa besar harapan tapi sedikit yang kita yang punya pada sayang-sayang. Kita hanya bermain dipermukaan, tidak didasarnya. Lalu haruskah kita berhenti bersayang-sayang dan larut dalam kesedihan?.

Bersikap sentimentil atas realitas ini tiada berguna dan hanya membuang-buang waktu. Yang terbaik adalah mencoba memperkaya dan memadatkan sayang-sayang pada aspek etnisitasnya. Caranya dengan mengkaryakan alat-alat musik etnik kita yang selama ini terabaikan seperti, Gandrang, Gong, Keke,Jarumbing, Calong dan lain-lain. Dengan kata lain, kita harus melakukan orkestrasi pada sayang-sayang seperti suku Jawa yang telah mengorkestrasi waditra-waditra etniknya menjadi Gamelan. Gamelan yang awalnya hanya beberapa buah genta dan bonang kini menjadi begitu sopisticated dan  menjadi World Music.

Bertahan pada sifat minimalis sayang-sayang yang terdiri dari dua gitar dan satu coke, hanya akan memperpanjang kesedihan karna watak asingnya yang kental. Mari kita tambah porsi etniknya dan sayang-sayang akan menjadi milik dan kebanggaan kita selamanya

Dengan kredo ”Kembali ke Akar ”, kaum negro Amerika telah mengembalikan Jazz ke Afrika. Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama, mengembalikan sayang-sayang ke Mandar. Ini adalah perjalanan pulang yang Progressive!.


Jakarta, 29 September 2007

Syafiyullah Pilman

Senin, 13 Desember 2010

Budaya mandar yang progressive


Tentu ada yang bertanya, dimana progresivitasnya budaya mandar?.,Sebab Kebanyakan dari kita akan selalu mengasosiasikan Mandar dengan tari Pattu’du yang lemah gemulai,tenang atau mala’bi, walau ditengah hentakan dan pukulan gendang yang gemuruh dan bertalu-talu. Ditambah lagi bila kita melihat sikap pakkacaping yang selalu tenang tentram dan terkesan pasif. Pergi dan temuilah orang Mandar, maka seketika anda akan mendapat kesan lembut bagai angin kata2 mereka,dengan kecendrungan Plegmatis atau menarik dan menutup diri dari relasi dan percakapan terlalu jauh

Namun sering apa yang tampak lahir belumlah bisa dijadikan entry untuk mengetahui apa yang terkandung dilubuk hati manusia ( mentalitas atau budaya ). Dan hal ini terjadi pada orang Mandar. Dibalik apa yang digambarkan diatas tentang orang Mandar, sebenarnya tersimpan jejak-jejak budayanya yang progressiv dan dinamis.
Sudut pandang ini didukung oleh kenyataan bahwa orang mandar adalah bangsa pelaut yang berani mengarungi lautan untuk pergi kenegri-negri dan tempat-tempat jauh untuk mencari ikan atau menetap di sana. Hal ini telah terjadi berabad-abad dan tentu telah membentuk kepribadian orang mandar dengan sifat-sifat berani, tabah, aktiv dan dinamis.

Ketika hampir semua kerajaan atau pusat-pusat kekuasaan nusantara di masa  lalu mempraktekkan sistim kekuasaan absolut, despot dan otoriter, di Mandar, Todilaling ( Mara’dia pertama Balanipa ) telah mempraktekkan Demokrasi,hal ini dibuktikan dengan ucapannya yang terkenal “ Patondo saliwangi baromu, patondo tamai barona to mae’di’ ( Tempatkan kepentinganmu disebelah luar dan kepentingan orang banyak disebelah dalam ). Dan sikap demokratis ini tentu saja telah jadi Role Model bagi raja2 dan rakyat Mandar sepeninggalnya.

Ketika perempuan ditempat2 lain di Nusantara masih terbelenggu oleh budaya Patriarki yang ketat, dimana wanita hanya dijadikan pasangan hidup dengan peran domestik yang terbatas, di Mandar wanita telah setara dengan laki-laki baik dilingkungan rumah maupun diwilayah publik. Jika nelayan (Laki-laki ) telah sampai dipantai dari mencari ikan, maka selesailah tugasnya. Selanjutnya adalah tugas sang istri apakah akan memasak ikan, mengeringkan atau menjualnya ke pasar. Disini jelas ada pembagian tugas yang setara dan emansipatif ( Sibaliparri )

Ciri progresivitas budaya Mandar juga terlihat pada design sarung sutra mandar  ( lipa’ sa’be ). Tadinya penulis beranggapan bahwa design dan motif2 kain Mandar dipengaruhi Estetika Islam, yang cendrung pada garis-garis linear vertikal dan horisontal dengan prinsip denaturisasi atau menghidari penggambaran alam dan machluk hidup. Namun akhinya berasumsi bahwa design sarung Mandar dipengaruhi oleh estetika seni modern ( modern art ) karna adanya penonjolan bahan ( sutra ) yang dihindari dengan sangat oleh seni Islam. Ciri modern art seperti gaya Plastis ( meruang ), linear dengan garis2 horisontal dan vertikalisasi, ada pada design sarung mandar. Estetika mesin yang dingin dan lugas serta warna2 dasar menonjol pada sarung Mandar.Ciri modern art juga terlihat pada design perahu Sande dengan bentuk stremline dan aerodinamis. Ini adalah cara untuk mempercepat laju perahu Sande dengan modus mengurangi hambatan angin.Tentu saja disamping tafsir ini, ada juga tafsir lain tentang estetika Lipa' Sa'be dan Sande.

Dari pakta tsb diatas dapat dikatakan bahwa selain kandungan tradisinya yang kental, budaya mandar juga dalam aspek-aspek tertentu bersifat Progressive. Kedua entitas ini selalu sejalan seiring melandasi dan mewarnai perjalanan peradaban dan kebudayaan Mandar. 

JAKARTA, 14 DESEMBER 2010

SYAFIYULLAH