Rabu, 29 Januari 2014

TEATER RAKYAT TANAH MERDEKA


Di masa remaja, secara diam-diam saya sering mendatangi sebuah teater rakyat yang letaknya tidak jauh dari komplek saya tinggal. Bukan saja ciri kerakyatan itu tampak pada cara penyajian dan cerita-cerita rakyat yang menjadi corenya, tapi memang teater itu juga membangun gedung pertunjukan dan komunitasnya di kampung yang betul-betul dihuni oleh kaum marginal kota yang terdesak oleh pembangunan, bahkan tempat itu nyaris disebut kumuh, secara pisikal dan psikologi masyarakatnya.
Nama kampung itu “ Tanah Merdeka”. Mayoritas warganya berasal dari daerah Indramayu, Jawa Barat dengan minoritas Jawa, bugis dan Mandar. Salah seorang keluarga Mandar tinggal di sana yang kerap saya datangi untuk menikmati ande-ande Mandar. Kebanyakan mereka bekerja sebagai nelayan atau pedagang kecil. Sejauh yang saya ketahui, hanya satu keluarga yang bekerja sebagai pegawai negeri. Tapi mereka di sana hidup rukun, jarang ada keributan atau ketegangan antar suku. Sebabnya mungkin karena tipologi warga mayoritas yang terkenal sebagai masyarakat yang kalem. Pasrah, sabar dan easy going, dengan keterikatan pada budaya dan moral yang longgar. Memang mereka berasal dari daerah yang sering mengalami paceklik dalam segala hal, dalam hidup penuh dengan banalitas yang vulgar,diasuh oleh budaya campuran Jawa-Sunda yang tak kunjung utuh dan mapan dalam waktu lama, sehingga mampu mengkultivasi mereka menjadi penduduk yang berkarakter.
Teater itu sendiri sering mengangkat tema-tema penderitaan orang kecil, keterkungkungan dan keterlemparan, serta tragedi-tragedi yang bercampur baur dengan eksotisme, sensualitas dan mistik. Namun bukan rasa keterlemparan yang eksistensialis ala Martin Heidegger yang memekarkan angst dan anxiety, kecemasan dan ketakutan. Kadang ada juga kisah percintaan yang biasanya berakhir tragis, seperti dalam cerita,’ nu poe ti popotongan’ ( orang yang mati diantara perceraian dan rujuk kembali). Secara garis besar apa yang disajikan mirip-mirip dengan film-film jaman sekarang yang bertema horror, cinta tersita yang mellow. Kadang dalam cerita muncul-muncul penggalan-penggalan kehidupan sehari-hari dengan ironi-ironinya. Perlengkapan pentas seadanya, demikian juga perlengkapan diri dan busana sangat sederhana. Gaya berperan dengan spontan dan penuh improvisasi, diselingi lawakan yang kadang vulgar, kayak dalam ketoprak atau lenong betawi.
Tujuan pementasan kalau tak menguras ketawa, ya airmata. Jangan harap ada katarsis seperti yang dimaksud Aristoteles. Komic dan tragedy yang coba dimunculkan sama sekali tak memberi efek pemurnian dan pembersihan jiwa yang bersifat teraupetis. Apalagi akan sampai membawa perubahan atau penyesalan, semacam pertobatan dalam kerangka religius. Tragedy yang terjadi di atas panggung betul-betul tragedy, jika sang tokoh menderita ya menderitaan sendiri tipikal kaum marginal yang tak punya peluang dan akses untuk bertransformasi. Nasib diterima dengan keluhan yang berkepanjangan dan mengenaskan. Tak ada pertanyaan tentang hak seorang di tengah masyarakat yang merosot dan dekaden, seperti obsesi Antonin Artaud atau Betolt Brecht, kecuali hanya terror dan ketakutan yang terus-menerus datang tanpa ada kehendak kuat dan pasti untuk melawannya seperti yang dilakukan para pahlawan mitologi Yunani ala Promotheus. Mungkin lebih tepat jika menggambarkan derita dan masalah di sana adalah sebuah “Pathos” yang effusive sekali. Arthur Miller pernah mengatakan,” Pathos truly is the mode for the pessimist. But tragedy requires a nicer balance between what is possible and what is impossible…..in the tragedy lies the belief- optimistic.”
Teater rakyat sebenarnya bagian dari kategori teater daerah atau etnis disamping teater istana dan teater keagamaan. Teater Istana ialah kelompok teater etnis yang bersetting kehidupan Istana dengan segala kebaikan dan kebobrokannya. Ini terdapat pada drama-drama karya Homerus, Shakespeare, atau Sopokles. Kalau di Indonesia Wayang Wong dan teater boneka wayang kulit serta langendrian. Sedangkan teater keagamaan teater yang berakar pada ritual-ritual dan pemujaan. Justru jenis teater ini adalah cikal bakal perkembangan teater yang lain. Pada 525-456 SM, telah ditemukan sebuah naskah drama kuno di Yunani, penulisnya adalah Aeschylus. Isi lakonnya berupa persembahan untuk memuja dewa-dewa.
Dari segi gaya, teater rakyat tanah merdeka itu mendekati gaya “ Realisme Konvensional “ yang ilusionis. Karena realitas diupayakan tampil sejelas mungkin. Selalu ada setting property yang berbicara secara nyata tentang ruang- waktu kejadian. Bahkan sering saya lihat para pemain piguran muncul ke atas panggung dengan mengenakan busana yang telah di pakai sejak sore beserta mimik kemiskinannya yang dibawa sejak lahir. Hanya para pemain utama yang berias dan berhias disesuailkan dengan peran yang dimainkannya, tapi itupun tak berlebihan dan mewah. Dalam berakting, sepertinya mereka kena pengaruh Stanislavsky yang menolak gaya yang dibuat-buat, atau dialog deklamatoris dengan tekanan pada pentingnya pemeranan yang wajar dan spontan.
Mereka juga berakting berdasarkan pada plot atau alur cerita, namun tak terlalu tegas dan konsisten, tapi tetap memperhatikan aspek sebab akibat. Alur ceritanya juga cenderung mewujudkan struktur yang dikenal dengan nama Struktur Piramida Aristoteles. Struktur ini memiliki unsur-unsur yang berurutan, seperti eksposisi ( pembukaan atau pengenalan), komplikasi ( keruwetan), krisis ( kegawatan), klimaks ( puncak kegawatan, resolusi ( penguraian ), dan konklusi ( kesimpulan ).
Kelemahan utama dari teater rakyat gaya ini, adalah pada kecendrungannya untuk “ shooting” atau menggampangkan masalah, lembut atau menenangkan, dengan kecendrungan menghibur dan komersial yang besar. Akibtanya adalah seperti yang dikatakan oleh Thornton Wilder,” The tragic had no heat ; the comic had no bite; the social criticism failed to indict us with responsibility.” Teater kehilangan vitalitasnya dengan banyaknya objek-objek spesifik di panggung. Dengan metode yang terlalu menunjukkan specification dan localization “ the characters are all dead before the action starts”
Namun disisi kelemahannya itu, teater tanah merdeka juga punya nilai tambah dari sudut pandang budaya, karena ia tak memisahkan kebudayaan dari kehidupan. Mereka tak masuk dalam kotak-kotak budaya yang rigid dan karam dalam system-sistem. Formula-formula, pikiran-pikiran dan tanda-tanda yang memisahkan niat dan tindakan. Mereka telah menyatukan pikiran dan tindakan dalam hidup kongkrit yang historis dan jauh dari snobisme seperti yang dianut oleh kaum kaya baru atau borju. Jika di sana ada imajinasi, tak terlampau utopis, jika di panggung ada aspirasi, hanya sekedar kidung yang melempar tanya pada rumput yang bergoyang. Mereka seperti sadar betul dengan kemarginalannya, sehingga tak merasa perlu bergagah-gagah mengkuti trend tema-tema teater yang banyak diadopsi kelompok teater yang sering manggung di TIM, dan tempat bergengsi lainnya.
Sangat berbeda dengan teater. Sastra dan film pada umumnya yang berciri kekotaan atau kosmopolitan, yang takut tak popular dengan tidak mengangkat tema-tema yang sedang mengarus dan melanda masyarakat, dengan ilusi-ilusi cengeng yang kekanak-kanakan. Para pegiat teater rakyat tanah merdeka itu, tetap merdeka dengan banalitas dan keliarannya, dan itulah yang sejatinya melahirkan keberanian untuk hidup serta kejujuran yang akan melempangkan jalan menuju kebenaran sejati.
Teater sejatinya menterjagakan hidup yang penuh dan tak parsial sehingga akan menyembulkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Orang akan saling rangkul, berpelukan, tak saling menghina dan menjatuhkan seperti kelakuan para politisi. Teater atau sastra akan berfungis deliberative dan emansipatoris bahkan katarsis seperti yang pernah dikatakan oleh mantan presiden Amerika Serikat John F, Kennedy, “ Bila politik menyesaki kehidupan bangsa dengan kotoran, maka sastralah yang akan membersihkannya,”

Senin, 27 Januari 2014

KEBUDAYAAN DAN HUKUM ADAT

Ada salah kaprah yang meluas di masyarakat tentang penyebutan kata “ feodal” bagi golongan yang ingin mempertahankan hubungan hierarkhis atas- bawah serta melestariak hak-hak privilege kalangan elite. Kendati ungkapan kata feodal tersebut hanya sebagai ungkapan oposisional terhadap konsep dan prinsip demokrasi yang berkesetaraan dan berkebebasan, namun secara substansial ia tak berakar dari setting hubungan sosial masyarakat dan budaya nusantara.
Menurut Max Weber, ada dua pola atau tipe kerajaan-kerajaan jaman dahulu, pola feodal di Eropah dan pola Patrimonial di Asia Tenggara. Pada yang pertama, raja dan kerajaannya bersifat duniawi atau sekuler. Raja dianggap bukan dewa yang berkuasa di Bumi. Mereka jadi raja karena telah menjadi pahlawan perang atau sebagai petarung yang hebat dengan tekanan pada kekerasan sebagai modus operandinya. Hubungan-hubungan manusia yang terjadi adalah berdasar hukum dan kontrak sosial. Kesadaran pada hak-hak yang bersifat duniawi sangat tinggi dan peka, hingga sering menimbulkan ketegangaan antara para bangsawan dengan para raja.
Ide atau gagasan tersebut tidak terdapat pada kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada regional ini kerajaan bukan saja merupakan kenyataan, tapi terutama adalah sesuatu yang bernilai suci atau sacral. Hubungan-hubungan antar manusia tidak berlandas pada hukum atau kontrak, tetapi oleh hubungan perasaan atau hubungan keluarga. Tapi bukan berarti tidak ada peraturan atau hukum di kerajaan yang berpola patrimonial, malahan ada banyak. Tetapi hukum dan konflik bukan sebagai alat utama untuk mengatur masyarakat. Jarang terjadi perkara hukum, apalagi yang mengarah kepada penyelesaian secara kekerasan dalam hal yang menyangkut kekuasaan. Jarang terjadi perlawanan atau penentangan terhadap para raja atau kaum bangsawan dari strata bawah. Sebabnya adalah, adanya sebuah gagasan tentang kesatuan dalam ‘siri’ yang dibentuk oleh prinsip kemurnian dan kesucian darah titisan dewata atau tomanurung bagi masyarakat di wilayah Sulselbar.
Berdasar pada teori di atas, maka sebuah istilah kitab hukum atau kodifikasi hukum tidak dikenal oleh kerajaan-kerajaan nusantara di jaman dulu. Jadi Civacasana di masa raja Dharmawangsa bukanlah sepenuhnya kitab hukum seperti yang dikonstruksi para ahli hukum bangsa Belanda dan murid-murinya Indonesianya, melainkan sebuah kitab yang memuat segala aspek-aspek kebudayaan, adat dan agama yang dianut, termasuk pasal-pasal hukum. Begitu juga halnya dengan kitab Adigama di jaman Majapahit atau Kutaramanawa di Bali, dan lontaraq di Sulselbar. Jadi kitab-kitab diatas bukan seperti Undang-undang Dasar, Undang-undang, atau peraturan tapi lebih sebagai “sumber dari segala sumber hukum”. Dengan tilikan ini, sekaligus menohok kedudukan Pancasila yang disebut demikian. Bagi saya Pancasila hanya sumber hukum, dasar dan landasan pilosofis negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersumber dan dihimpun dari roh atau spirit dari kitab-kitab tersebut di atas.
Dengan sendirinya apa yang dikonstruksi oleh sarjana-sarjana hukum Belanda juga keliru jika hukum adat yang bersumber dari keutuhan budaya masyarakat etnik, melulu dikaitkan dengan hal-hal mistis dan magis. Ini adalah pandangan yang bersifat pejorative dan melihat beradabnya sebuah system hukum dari kacamata pandangan hidup liberal dan sekuler barat. Mr. Is.H. Cassuto dalam bukunya “ Adatrech van Nederland Indie”. Mengatakan pengaruh magi dan animisme pada hukum adat terlihat dalam empat hal :
1. Pemujaan pada roh-roh leluhur, sehingga hukum adat disebut juga oleh bangsa barat “ adat leluhur” ( adat der voorouders atau les coustumer des ancetres)
2. Percaya adanya roh-roh jahat dan baik, seperti danyang-danyang desa dan lain sebagainya.
3. Takut pada hukuman dan pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib. Hal ini menyebabkan adanya kebiasaan mengadakan ziarah-ziarah serta memberi sesajen tempat-tempat yang dianggap keramat.
4. Dijumpainya di mana-mana orang-orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan gaib.
Bahkan Van Vollenhoven yang dikenal dengan pembelaannya yang gigih pada eksistensi hukum adatpun dalam bukunya “ Het Magish denken van der Irlander” berkata bahwa magi itu justru merupakan kunci yang dapat membuka pintu gerbang hukum adat.
Seandainya mereka sempat membaca kompilasi ilmu yang terkandung dalam lontara-lontara yang ada di Sulselbar khusunya di Mandar, maka mereka tidak akan gegabah berpandangan sempit begitu yang mengkaitkan hukum adat dengan kepercayaan-kepercayaan suku-suku primitive. Lontara yang mungkin menjadi salah satu refrensi mereka disamping konvensi-konvensi yang hidup di masyarakat, bukan hanya mengandung soal-soal hukum adat, tapi juga meliputi aspek-aspek pemerintahan, adat-istiadat, perjanjian, sastra, pendidikan, agama Islam, kepahlawanan, pesan dan wasiat, dll.
Ketika mara’dia Kakanna Ipattang Daetta Tommuane mengatakan.” Naiya Mara’dia, tammatindoi di bongi, tarrarei di allo, na madandang mata : dimamatannna daung ayu / diamalimbonganna rura / diamandinganinna lita’ / diajarianna banne tau / diatepuanna agama. ( seorng raja, tidak boleh tidur nyenyak di waktu malam, tidak boleh berdiam diri di waktu siang, tetapi ia harus senantiasa memperhatikan : hijau suburnya daun kayu, dalam dangkalnya tebat, aman tenteramnya negara, berkembang biaknya manusia, kemantapan hidup beragama), ini bukanlah sekedar program kerajaan atau sebuah indeks hukum dan pemerintahan, serta statemen duniawi belaka, melainkan sebuah penegasan yang mentransendir semua itu. Sebuah pernyataan siri’ dan kesucian hati yang bebas pamrih dan kepentingan pribadi “ Raja”, demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Ide-ide dan gagasan seperti ini hanya akan lahir dari bangsa yang berkebudayaan dan berperadaban luhur dan mulia.

Minggu, 26 Januari 2014

RENUNGAN DI GALETTO

Pasca adagium Rene Dercartes ,” saya berpikir maka saya ada” ( cogito ergo sum ), maka berlahirannya manusia -manusia rasional dari rahim subjektifisme yang radikal dan fudamentalistik itu. Manusia merayakan kelahirannya di mana-mana, setelah lama mendekam dalam gua kegelapan zaman selama lebih kurang seribu tahun. Tubuh kebangkitan ( rennesance) pun kian bongsor bahkan meraksasa sehingga dengan mudah melangkahi atau menginjak-injak segala makhluk mistis, magis, mitos, takhyul, tak rasional menjadi serpihan-serpihan yang berserak di habitatnya masing-masing yang kecil, tersudut dan marginal.
Hanya karena datangnya seorang Martin Heidegerlah, maka filsafat “ kesadaran” diatas mulai sadar diri. Bahwa kini bukan dialah yang ada satu-satunya yang bertengger di puncak obelisk sejarah pemikiran manusia. Heidegger berkilah, bahwa Rene dan pengikutnya terlalu terfocus pada cogito sehinga melupakan sum. Bukan kesadaran yang menentukan ada, tapi ada yang menentukan kesadaran. Dassein atau prinsip adanya Heidegger, tak bisa dipaksa untuk mengada, tapi ia akan menyingkapkan dirinya sendiri secara mandiri. Ia tak boleh dizalimi dan terkungkung dalam kesadaran dan kehendak subjek.
Ada atau eksistensi bagi Heidegger adalah suatu kemungkinan yang tak terbatas, bahkan ia bisa tak menampakkan diri atau menjadi tiada. Jadi bukan subjek yang mengadakan atau meniadakannya tapi dirinya sendiri. Tapi dalam metafisika Heidegger, hanya manusia yang tak punya esensi tetap, dus berkebebasan secara unlimited, yang selainya hanya realitas yang tergeletak begitu saja dengan esensi tetap. Dalam ruang lingkup humanisme – rasionalme juga humanis- yang eksesif dan mengacuhkan bahkan melecehkan benda-benda, muncullah antinomi-antinomi baru yang mengungkap kontradiksi dalam filsafat eksistesialisme Martin Heidegger untuk beremansipasi dan mengada.
Emansipasi juga terjadi di ranah seni, pada ranah musik, Arnold Schomberg dengan prinsip atonalitas, dibantu oleh ideolognya, Theodor Adorno, mengobrak-abrik system tonalitas musik barat dengan menghidupkan nada-nada kromatis yang selama ini hanya jadi pelengkap penderita, sebagai ornamen dalam music klasiek, substitute dalam music jazz. Dan yang lebih radikal adalah dengan menumbangkan nada “ do ” atau tonika sebagai pusat dan nada dasar yang memarginalkan nada dominan dan sub dominan dll, hingga menjadi wilayah penyanggah dan pendukung saja dalam sebuah komposisi dan harmonisasi karya musik. Adorno berpendapat bahwa keindahan, pengalaman tentang isi dari suatu objek, bukan hanya dialami oleh subjek individual, bukan juga sekedar kebenaran ‘objektif’ ; menurutnya karya seni bukan hanya objek yang diam tak berdaya, yang hanya dihargai atau dikenali oleh subjeknya, namun mereka membuat diri sebagai moment subjektif karena mereka adalah kognitif, yakni upaya untuk diketahui.
Nah, dalam konteks itulah kita akan memahami perlunya untuk mencari makna-makna diam dan tersembunyi dalam setiap karya seni budaya. Melihat ragam hias dan ukiran batu ( lukisan timbul ) nisan pada kompleks makam Galetto di Tamangalle, Polewali Mandar, yang berciri Islam dengan pola arabesk dan geometris, saya lantas berpikir bahwa Mandar dulu sejatinya telah masuk dalam pusaran pergerakan peradaban Islam yang tinggi di seluruh dunia. Tanda ketinggian peradaban Islam di Mandar itu juga terdapat pada ornamentasi masjid, rumah-rumah adat dan berbagai benda-benda budaya lainnya.
Ornamen pada pemakaman galetto dan di tempat-tempat lain itu bukan sekedar tempelan untuk memperindah, namun ia adalah bagian dari struktur keindahan yang bermaksud untuk memperluas dan mengintensifkan penghayatan muslim akan sesutu yang transenden dan patut kita jadikan sebagai pusat orientasi hidup dan kehidupan dengan menyembahnya, Allah SWT. Motif-motif arabesk, di mana bentuk dedauan yang dipisahkan dari bentuk alaminya ( stilisasi ) yang ada pada masjid, rumah, nisan, dan pada benda-benda rumah tangga sekalipun, adalah abstraksi atau transfigurasi yang berfungsi untuk meninggikan, mengagungkan dan meningkatkan nilai spiritual objek seni. Sehingga tidak saja melulu benda propan tapi juga entitas yang sakral. Jadi berbeda dengan Adorno, seni dalam Islam tak saja telah beremansipasi dari objek menjadi subjek dalam republik sekuler, tapi telah diangkat derajatnya menjadi media Islami untuk melakukan perjalanan naik agar sampai pada penghayatan tentang arti “ tawhid” yang sebenarnya.
Ornamentasi dalam Islam adalah perekat agar kehidupan tak pecah dan terpisah dalam wilayah agama dan wilayah sekular. Ornamentasi seni Islam bukan sekedar embel-embel atau pilahan belaka yang terlepas dari hakekat seni an sich, tapi ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari struktur seni yang hendak menegaskan spiritual dari kreasi artsitik serta ideology Islam, di sisi penanda bagi infinitas Allah yang Indah dan suka pada keindaham “ Innallaaha Jamiil wa yuhibbul Jamaal.”

Jumat, 24 Januari 2014

SUNNATULLAH DAN BENCANA

Meletusnya Gunung Sinabung setelah empat abad diam dan anteng, banjir bandang di Menado yang langka terjadi dan tak terduga, bahkan badai salju hebat di AS serta hujan salju di California yang baru terjadi setelah seratus tahun, adalah hujjah yang telak betapa berkuasanya Tuhan atas segala ciptaannya. Tuhan mampu merubah semua hakekat alam ciptaannya yang dikenal dengan nama Sunnatullah atau hukum alam. Telah lama disadari oleh para pemikir dan ilmuwan bahwa disamping adanya fakta keteraturan pada alam (uniformity of nature) ada juga konsep “purposive order yang mengatakan bahwa alam ini tak dapat diterangkan kecuali sebagai aktivitas suatu zat yang sangat bijaksana. Interaksi dua pandangan ini sekaligus meruntuhkan tesis ilmu pengetahuan yang sejak abad ke 17 dianut, bahwa pergerakan alam ini senantiasa mengikuti prinsip determinisme dimana hukum kausalitas begitu menentukan. Sekaligus membongkar kepercayaan buta para ilmuwan akan adanya system yang tertutup ( closed system ) bahwa di dalam alam ini tidak ada daya atau pengaruh dari luar yang dapat merobah aturan-aturannya. Prof.A.O. Lovejoy dalam bukunya “ The Discontinuities of Evolution” mengatakan,” Adanya kejadian-kejadian dalam evolusi yang menunjukkan bahwa sesungguhnya peraturan-peraturan alam itu itu tidak sempit, akan tetapi sebaliknya luas dan mengandung kemungkinan-kemungkinan yang merupakan tindakan2 sesuatu zat yang mempunyai maksud.”
Hal yang common sense sekarang bukanlah pada pertanyaan apakah alam ini merupakan susunan yang teratur atau alam tidak punya susunan yang teratur, akan tetapi sebuah kebenaran bahwa dalam alam yang teratur ini, hukum alam dapat dan bisa dirobah dimana perlu. “ Apakah kamu melihat air yang kamu minum? Apakah kamu yang menurunkan dari awan, ataukah kami? Jika kami menghendakinya, kami akan menjadikannya masin, maka bersyukurlah.” ( Qur’an 56 ayat 68-70).
Tuhan tidak bermain dadu dengan dunia. Dan ‘caprice’, bercanda dan menjadikan dunia ini hanya permainan yang tak berujung pangkal arahnya. Atau menjadikannya sebagai sebuah mesin raksasa yang bergerak secara mekanis tapi mati kaku. Tuhan bahkan selalu menyempurnakan cipataannya justru dengan berbagai musibah dan bencana yang menimpa di mana-mana. Allah berfirman dalam Qur’an 79 ayat 26-28, “ Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi pengajaran bagi orang yang takut ( kepada Allah). Apakah kejadian kamu lebih sukar ataukah (kejadian langit)? Dia telah menbangunnya. Dan meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya.”
Kesempurnaan sunnatullah ada pada mekanisme dan kepastian alam yang diciptakan-Nya, dan juga dalam kegilaan dan keliarannya yang aneh. Letusan gunung terjadi oleh sebab tekanan di dalam bumi dan kalau tekanan itu cukup, maka akan terjadi letusan. Siapapun yang berada dalam danger area akan menderita. Tak perduli orang muslim atau non muslim. Tapi Tuhan toch tidak ujuk-ujuk meledakkan gunung Sinabung, tapi selama empat bulan atau lebih telah memberi warning kepada manusia berupa awan panas yang terus menyembur dari tubuhnya. Mungkin Tuhan punya maksud untuk memberi peringatan pada manusia yang telah lama merusak alam. Seharusnya itu diantisipasi dan direspon cepat dengan mitigasi bencana dan evakuasi warga, sehingga tak menimbulkan penderitaan yang parah seperti sekarang ini ba’da meletus.
Ada dua jenis kejahatan di dunia yang kita percayai selama ini, yakni kejahatan manusia atau kejahatan moril dan kejahatan alam. Tapi kejahatan alam seperti gempa tektonik maupun vulkanik serta banjir, sejatinya tak ada apa-apanya dibanding dengan yang telah dilakukan manusia. Manusia bisa membuat orang yang seharusnya tidak menderita jadi menderita. Bencana alam sebenarnya merupakan akibat manusia tidak menjaga hutan atau melakukan perusakan lingkungan di mana-mana. Kelaparann juga karena sifat koruptif manusia atau karena kebijakan ekonomi yang monopolistik.
Sedangkan kejahatan alam yang melanda kita adalah sebuah penampakan kekuasaan Tuhan yang selalu sempurna dalam menciptakan sesuatu. Apapun yang diciptakan Tuhan pasti sempurna dalam daya kebaikan dan daya rusaknya. Air misalnya sungguh bermamfaat secara ekonomis dan biologis, tapi pada saat itu juga punya potensi jadi air bah karena kesempurnaan sifatnya yang cair, pleksibel dan mudah berubah mengikuti bentuk. Tuhan justru tidak Maha Kuasa dan Sempurna dalam zat dan ciptaan-Nya jika air itu padat, keras. Bayangkan kalau ada hujan air sekeras batu. Demikian pula dengan gunung, pada yang telah mati dan tak bekerja, tak akan memberi harapan pada alam dengan kesuburan seperti pada gunung yang aktif bekerja serta rajin meletus. Daerah-daerah yang banyak gunung merapinya adalah daerah dan lereng-lerengnya yang paling layak ditempati manusia dengan segala berkah, keindahan dan kesuburanya.
Mobil bemo misalnya, tidak mematikan jika menabrak karena mesinnya yang sudak jelek sehingga larinya ngos-ngosan dan tersendat-sendat. Sedangkan ciptaan yang keren seperti mobil Mercy, BMW atau mobil balap, pasti mematikan dalam larinya yang cepat karena bagus dan sempurnya. Pisau yang paling tajam untuk memotong daging dan mengupas mangga juga berpotensi paling melukai dan mematikan. Apa yang bisa diperbuat oleh pisau tumpul? Begitulah analogi terhadap kesempurnaan alam semesta ciptaan Allah SWT.
Bencana dimulai ketika manusia sebagai khalifatullah salah menafsir kehendak Allah SWT begitu kata Sayyed Hossein Nasr. Menurut tafsiran beliau, kata “ Sakhkhara” dalam Qur’an Al Hajj ayat 65 bukan dalam pengertian penaklukan atas alam secara liar dan tanpa control, seperti dalam pengertian manusia modern, tetapi Sakhkhara berarti penguasaan atas sesuatu yang memang diperkenankan Tuhan untuk itu. Penguasaan itu harus tetap berada dalam arah yang sejalan dengan keseimbangan hukum-hukum Tuhan atau Sunnatullah.

ALLEWUANG

Kalau kita perhatikan bentuk wajah, pola hias serta pola gerak penari pattu’di maka akan terlihat adanya satu benang merah yang mempersatukan dan mencipta harmoni, yakni sesuatu yang bundar, bulat atau melingkar. Bisa ditafsirkan bahwa wajah bulat penari adalah cermin kebulatan hati atau kebulatan tekad seorang pribadi. Sedang dali, konde dan hiasan-hiasan lain yang bundar adalah cermin prilaku yang mempunyai kesatuan dalam kebulatan dengan hati tadi. Nah, pola gerak dalam formasi yang selalu melingkar serta dilakukan secara bersamaan dan beriringan oleh para penari adalah sebuah prosesi atau perjalanan menuju kesatuan, persatuan serta keutuhan sosial. Hal-hal itulah yang disebut integritas pribadi dan integrasi sosial atau allewuang.
Sebuah kesepakatan atau kebulatan tekad yang orang Mandar menyebutnya Allewuang, adalah prasyarat bagi kekuatan dan kejayaan suatu pemerintahan, masyarakat atau komunitas umtuk mencapai apa yang disebut kondisi Malaqbi atau mulia, bermartabat atau terhormat. Pada stadium ini orang Mandar akan bertingkah laku dalam menjaga apa yang ada dalam ungkapan. “ Manus siorongngi/ Maraqba sipatokkong /Malilu sipakaingaq /Dibuttu dilappar /Andiang tau mala sisara mellulluare.(
Warren Buffet mengatakan orang memerlukan dalam kehidupan karier dan pribadinya Integritas, intelektualitas dan energy. Namun bila integritas tidak ada, maka yang kedua berikuatnya akan membunuh. Jadi orang yang tidak punya integritas atau tidak malebu hatinya dimana akal, hati, pikiran, moralitas dan kejujuran bergabung menjadi satu, akan mudah jatuh pada prilaku maksiat, koruptif dan dosa yang cepat atau lambat akan membunuh dirinya sendiri atau karakternya. Bagaimana kurang pintar dan berlimpahnya energy para pesakitan KPK, mantan-mantan ketua MK, SKK migas, gubernur, bupati sampai eks menteri, semua nyaris sempurna dalam hal hard power atau ilmu-ilmu keras, tapi lemah dalam hal integritas, makanya mereka pada meringkuk sekarang di hotel prodeo. Secara sosial mereka telah membunuh lembaganya atau bahkan nyaris membunuh republik.
Secara pribadi orang yang tak punya integritas akan merusak diri sendiri secara pisik dan mental. Pemabuk kehilangan harga diri, penjudi kalah, banyak yang bunuh diri atau jadi gila. Hanya para koruptor yang masih ketawa-ketawa di depan publik seolah tak bersalah padahal mereka sejatinya telah membuat banyak orang kelapara, mungkin mati dan tak tersentuh kepentingannya oleh negara akibat perampokan mereka terhadap uang negara.
Sifat alamiah dan perhargaan pada nilai-nilai moral dan etika orang Mandar dulu telah melahirkan karakter-karakter yang berintegritas seperti Todilaling, Baharuddin Lopa, Husni Jamaluddin, Ibua Depu, Imam Lapeo, dll. Kepribadian para icon Mandar itu sejatinya dibentuk oleh kemauan untuk untuk menyatukan dan menyelaraskan intelektualitas, energy kerohanian, spiritual dan agama untuk diselaraskan dengan niat, sikap dan tindakan hingga menjadi sebuah Allewuang atau integritas. Tanpa keutuhan di ranah psikis dan pisik, mustahil mereka dapat punya kekuatan dan keberanian untuk mengembang tugas-tugas kemasyarakatan dan kenegaraan yang berat dan penuh tantangan.
Todilaling harus menghadapi dan mengalahkan para tomakaka yang ganas dan kejam sebelum mampu mendirikan kerajaan Balanipa bersama-sama para hadat appe’ banua kayyang. Ibu Depu demi mimpi kemerdekaan bangsa Indonesia dan Mandar, rela berjuang dengan meninggalkan istana dan lalu dipenjara oleh penjajah. Husni Jamaluddin dalam keadaan lemah karena sakit yang diderita, rela tampil membacakan puisi dalam ajang sastra internasional di Makassar beberapa tahun lalu.
Baharuddin lopa berani dan mau menangkap penguasa militer yang korup dan sewenang-wenang di masa jadi bupati di Mandar di tahun 60 an. Beliau memang tidak pernah dipenjara malahan jadi Dirjen Pemasyarakatan. Tapi Jose Rizal Manua, seorang penyair menceritakan pada saya ketika mampir dikedai bukunya di TIM dulu, bahwa beliau sering diajak Baharuddin Lopa untuk keliling penjara-penjara membacakan puisi disela ceramah dan pengarahan beliau kepada para napi. Dan tentu saja banyak para napi yang tersentuh lalu menyadari kesalahnnya karena dibina, dididik dan diarahkan oleh sosok yang penuh integritas, Pendekar Hukum Baharuddin Lopa, “ The One and Only.”


Senin, 20 Januari 2014

STRATIFIKASI SOSIAL MANDAR

Apabila Imam Lapeo akan menerima seorang murid, maka terlebih dulu si calon santri akan disuruh untuk melakukan sesuatu yang diharap akan mengempiskan egonya sebagai manusia. Tak perduli anak seorang raja, bangsawan atau anak orang biasa, ia akan disuruh menjual sayuran di pasar. Di sini beliau mencoba mendekontruksi mentalitas feodal dan menyaran suatu masyarakat egalitarian, di tengah realitas perbedaan berdasar stratifkasi social masih begitu ketat dianut orang Mandar sejak dulu sampai kini. Tentu beliau bukan bermaksud mengabaikan keberadaan kerajaan atau bangsawan hadat, tapi agar muridnya tidak sombong, merasa lebih tinggi atau mulia dari yang lain. Pastilah beliau faham betul arahan Qur’an, bahwa Kemuliaan seseorang ditentukan oleh taqwanya.
Budaya berbasis keraton sekarang ini malahan mengalami revitalisasi kendati gelombang demokratisasi sedang mengkosolidasi diri di mana-mana. Sejatinya sistem kerajaan di Mandar dulu secara substansial hampir sama dengan sistem monarki konstitusional Inggris, Jepang atau Thailand, dimana raja hanya simbol dan tak punya kekuasaan mutlak atau absolut. Meski ada juga perbedaannya. Dalam praktek pemerintahan kerajaan di Mandar, mara’dia adalah ibarat seorang nakhoda perahu, sedangkan pemilik perahu para bangsawan hadat ( Ana’kodai mara’dia, to ilopi se’i ada’). Hadat juga berfungsi seperti MPR/DPR yang mengawasi serta bisa memakzulkan raja bila mana perlu.
Sejak perang Paderi, Diponegoro atau perlawanan Aceh, Belanda berkepentingan untuk meredusir dan menetralisir pengaruh gerakan Islam yang dianggap sebagai faktor pemersatu yang ampuh guna berdirinya sebuah republik Indonesia. Maka mereka memamfaatkan budaya etnik dengan segala hukum adatnya untuk membendung Islamisasi yang telah terjadi di Nusantara sejak kejatuhan Baghdad ke tangann bangsa Mongol di tahun 1250, dan juga oleh jatuhnya Malaka ketangan Portugis. Di Jawa Islamisasi terjadi kian gencar sejak munculnya Demak menggantikan Majapahit yang runtuh dari dalam.
Dalam proses Islamisasi itu, semua kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadikan Islam sebagai landasan sosio kulturalnya bersama dengan budaya dan adat masing-masing. Hingga dalam kerangka itu terciptalah Tamadun atau Civil Society yang memacu berkembanganya kebudayaan, kesenian, kesusastraan, kerajinan, pertanian, dll. Tapi semua itu mangalami keterpecahan pada tahun 1800, tahun dimana titik awal kolonialisme dimulai. Politik devide et impera dilakukan untuk memisahkan elemen pemersatu, seperti Islam dari etnonasionalisme sebagai proto nasionalisme. Masyarakat jajahan dibagi dalam tiga strata, orang Eropah, Timur Asing dan Pribumi. Eksistensi Islam pun sebagai salah satu landasan sosio cultural dipinggirkan atau diberangus.
Jadi sejatinya proses pribumisasi Islam telah terjadi sejak jaman Belanda. Dengan licik Snouck Hurgronye, masuk kekantong-kantong Islam seperti di Aceh untuk mempelajari Islam dan hukum Islam suntuk mencari kelemahan struktur dan kulturalnya. Puncaknya adalah munculnya Van Vollenhoven yang mengintrodusir Sembilan belas wilayah kesatuan hukum adat di seluruh Nusantara. Salah satunya adalah wilayah persekutuan hukum adat Sulawesi Selatan. Semua itu dilakukan dengan hanya berdasar pada pengetahuan hukum adat dan telaah antropologis yang dangkal dan dipaksakan. Sehingga melupakan realitas eksistensi persekutuan adat lainnya, seperti persekutuan adat Mandar.
Stratifikasi sosial adalah istilah asing yang diintrodusir dan diangkat untuk tujuan politik, bukan ilmiah. Pelapisan sosial di Mandar adalah tulisan seorang sarjana Belanda, J.J Friedricy. Di bawah ini adalah konstruksinya :
A. Todiang Layana ( zij die vorstenblod hebben )
1. De Arajang ( de regeerende vorstengeslacht)
2. De Ana’ Pattola Payung ( de opvolgers van het zonneschem. Nakomelingen van zuiver bloed van vorige vorsten ).
3. De Mara’dia Tallupparapa’ ( de die kwart mara’dias)
4. De Puang Sassigi’ ( de halve heeren)
5. De Puang Siparapa’ ( de kwart heeren)
B. Tau Mara’deka ( bevrigen)
1. De Tau Pia ( regenten adel)
2. a. Tau Pia Nae ( hoogere hoofdengelachten)
3. b. Tau Pia ( lagere hoofdengeslachten)
C. Batuwa
1. Batuwa Sassorang, budak turun temurun ( erfslaven)
2. Batuwa Nialli, budak yang dibeli ( nieuwe slaven)
D. Batuwa Inranang ( menjadi sahaya karena kalah perang atau karena berutang).

Minggu, 19 Januari 2014

SIRIQ DALAM DUA KALINDAQDAQ


Muaq meloqo sigayang /Pattandaimoq galung /Na niengei /Sipatombangang ceraq ( kalau engkau mau baku tikam / kau tentukanlah gelanggang / yang akan ditempati / bersimbahan darah.
Kindoq saqbaroqo naung / mapparuq lameayu /ande to tuna/ande to kasi-asi ( wahai ibu, sabarlah /memarut ubi kayu /makanan orang hina / makanan orang miskin.
Dua kalindaqdaq di atas mewakili dua sifat kontras orang Mandar, yakni keras, emosional, dan berani di satu pihak, sabar, lembut, rendah hati di saat yang lain. Karakter yang pertama biasanya dinisbahkan pada laki-laki, sedang yang kedua adalah sifat-sifat yang dimiliki perempuan Mandar pada umumnya.
Dua karakter yang saling beroposisi secara dikotomis itu ( oposisi binner) adalah langue atau fakta social yang merupakan identitas atau basic personality orang Mandar. Andai ada laki-laki Mandar yang tampak bersifat kemayu atau mirip-mirip olga, presenter beken dahsyat itu maka hal tersebuat adalah bersifat individual atau merupakan parole dalam perspektif strukturalisme Saussure. Atau jika ada wanita yang tampak begitu over confident, lalu jumawa, apalagi tomboy alias macca’muane, maka itu adalah penyimpangan atau kekecualian.
menurut Ferdinand De Sauussure, bahasa adalah fakta sosial, realitas internal, bentukan sosial yang merupakan kaidah yang menentukan sebuah tuturan atau parole. Sementara Emile Duhrkeim mengatakan, bahwa fakta sosial bukan merupakan phenomena psikologis, karena ia tak dalam Kontrol sadar seorang individu. Meskipun ia tercipta oleh akal budi manusia. Ia ada sebelum kelahiran dan sesudah kematian seseorang. Menentukan impuls-impuls dasar jiwa seseorang dan juga mengatur prilakunya agar sesuai dengan standar sosial. Jadi ada kesadaran kolektif dan ada kesadaran individual.
Walaupun kalindaqdaq yang pertama bersifat individual alias sebuah parole, tapi ia juga adalah bahasa dan menggunakan bahasa Mandar sebagai bahannya. Jadi ia adalah fakta sosial atau budaya yang mengandung struktur dalam atau mentalitas orang Mandar. Mungkin saja kalindaqdaq pertama diciptakan oleh seorang pujangga Mandar yang sedang marah dan emosi, tapi ia tak bisa lari dari takdir bahasa yang mewakili kesan dan tanggapan jiwanya terhadap realitas sosial yang dihadapinya. Dengan kata lain amarah dan kenekatannya adalah manifestasi dari sifat dan karakter orang Mandar yang keras dan suka nekat dan mengamuk. Jika dikatakan bahwa orang Mandar itu suka mengamuk karena dimotivasi oleh factor siri’ atau harga diri, maka makna atau tema utama dari kalindaqdaq tersebut adalah “ SIRI”, meski tak diucapkan di sana.
Begitu juga dengan kalindaqdaq yang kedua, terlepas dari diksi, imaji, sense atau tone dasarnya, ia adalah tampilan sifat malaqbi perempuan Mandar yang senantiasa mengedepankan kesabaran dan kerendah hatian dalam setiap situasi kehidupannya. Temanya juga tentang siri’ yang dicoba dinetralisir dengan prilaku mulia, tak komfrontatif seperti dengan kalindqdaq yang pertama. Orang Mandar itu memandang kemiskinan sebagi siri’ yang harus ditutupi dan tak terbuka bagi orang lain. Namun reaksi terhadapnya bisa berbeda, effek siri’ tak akan sama pada setiap orang, dan juga cara meresponnya. Ada yang berlebihan seperti pada kalindaqdaq yang pertama, ada yang justru memacu diri untuk kerja keras seperti pada kalindaqdaq yang kedua. Mapparu’ lameayu adalah simbol keterjagaan dan justru adalah respon positif terhadap siri’. Jadi kata “ tuna” di situ pada dasarnya adalah kemuliaan yang tak disadari.

THOMAS JEFFERSON

“ Tak pernah saya dapat membayangkan, bagaimana suatu makhluk yang berakal budi dapat menawarkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dari kekuasaan yang dipakainya atas orang lain.” Begitu Jefferson menulis di tahun 1811, dua tahun setelah ia lengser dari kursi presiden Amerika Serikat. Meski berpeluang besar untuk dipilih lagi yang ketiga kalinya, penulis kunci Declaration of Independence itu lebih memilih lengser dan pulang kampung. Mungkin beliau telah merasa sesak dengan lingkungan kekuasaan yang tak cocok dengan nuraninya. Atau tak tahan lagi dituduh macam-macam, antara lain dituduh sebagai seorang penganut agama Islam.
Denise A. Spelberg dalam bukunya,”Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders. “ telah mengungkapkan, “ Owing to his superior perception to Islam and Muslims, he was often misunderstood by others American leaders. Jefferson had disagreed with John Adam since about the best response to piracy. Five years later, their difference in this and other political matters had become more pronounced. When the rift became public, Islam became not only a subject for dispute but a means of personal and political insult. He was first accused of being a Muslim as a result of words he wrote in 1791 in praise of his friend Thomas Paine’s tract, The Right of Man. “
Dalam politik, pembunuhan karakter dengan mengangkat issue kepemelukan agama tertentu adalah biasa dan sering terjadi. Jangankan di masa Jefferson, ketika fanatisme agama terjadi di mana-mana, di era millenium ini saja, agama masih sering dijadikan ukuran bagi penerimaan dan elektabilitas seorang pemimpin, atau menyingkirkan dan membunuh sebuah kelompok agama, ormas, parpol yang berpotensi jadi saingan berat. Dulu, Megawati pernah jadi sasaran tembak terus-menerus terkait agama yang dipeluknya, bahkan seorang tokoh politik telah menuduhnya sebagai pemeluk agama Hindu, dus tak pantas jadi presiden RI, yang kontan membuat orang-orang Bali meradang. Raja dangdut kita, H. Rhoma Irama juga pernah bermain-main dengan issue yang peka itu waktu pemilukada Jakarta yang dimenangkan Jokowi dan Ahok.
Terlepas dari benar atau tidaknya ke-Islaman Thomas Jefferson , memang sejak masih mahasiswa hukum, beliau telah tertarik dan akrab dengan Al Qur’an, yang tentu saja telah mempengaruhi dan membentuk jiwa idelaismenya. Bahkan setelah pensiun dan pulang ke rumahnya di Monticello, ia membuat tempat khusus di perpustakaan pribadinya bagi teks-teks Arab dan Qur’an. Di samping itu beliau juga mempelajari bahasa Arab yang mungkin telah membuatnya lebih memahami Islam dan berkomitment pada kemerdekaan agama.
Namun sebagai seorang yang kritis, Jefferson juga punya pandangan yang salah kaprah terhadap Islam, seperti persepsinya pada Kristen dan Yahudi yang dianggap sebagai agama-agama yang tak kompatibel dengan perkembangan Ilmu pengetahuan. Konon dalam hal ini, ia telah terakses pada pemikiran penuh prasangka Eropa dengan Voltaire sebagai protagonisnya. Filsuf Perancis yang satu ini memang punya pandangan yang muram terhadap semua agama, menghujat Gereja yang dianggapnya benteng kefanatikan, lalu berseru, Ecraze l’imfame!
Tapi pandangann ala weberian itu tak mengurangi respek kita kepada Thomas Jefferson yang dengan spririt ke-Islamannya yang banyak dituangkan dalam deklarasi kemerdekaan Amerika - dalam asumsi kita -, telah menginspirasi revolusi-revolusi kemerdekaan di seluruh dunia, termasuk revolusi Perancis dan revolusi kemerdekaan kita sendiri.

CINTA DAN BENCI

Sejak masih di sorga manusia telah dilanda oleh gelombang pertarungan cinta dan benci atau cemburu. Cinta Tuhan pada Adam yang memuliakan martabat dan tempatnya di firdaus, sebuah pemukimam mewah, nyaman, indah dengan fasilitas lengkap dan gratis, membuat syaitan cemburu. dalam hatinya dipenuhi rasa benci. Takdirnya yang berdiam diwilayah kumuh secara spiritual, menempa tekadnya untuk menjerumuskan Adam dan Hawa dengan lantunan bujuk rayu yang membuai dan membius sehingga Adam mau mengkonsumsi buah yang telah diwanti-wanti Tuhan untuk tak didekati, apalagi di mangsa.
Akhirnya Tuhan pun menggelandang pasangan asyik masyuk itu untuk turba ke dunia asing dan gersang, di bumi, tepatnya di padang arafah. Di pembuangan ini bakat rasa cinta dan benci Adam juga Hawa yang terinternalisasi sejak di sorga justru kian berkembang dan menjadi-jadi lantas menitis pada keturunannya. Peristiwa terbunuhnya Habil oleh Qabil adalah episode lanjutan yang mempertontonkan teater cinta dan benci yang berseteru. Habil tak boleh terus hidup dengan rasa cinta saudara perempuannya yang cantik, karena kasih tulus habil yang dibuktikan dengan kesungguhannya memberi korban yang benar dan baik. Qabil yang mengubur mayat Habil karena inspirasi burung, mungkin adalah simbol atau genesis pertarungan jagoan versus bandit yang diawal-awal cerita dimenangkan bandit, kemudian dengan datangnya para Jagoan, sebagai personifikasi dari kebaikan, telah membuat para bandit dengan segala sifat buruknya yang dibeli dari syaitan, mulai memberi ruang bagi kebaikan dan mau turut dalam arena perlombaan adu lari dengannya, di mana mereka itu saling susul, kadang kebaikan di depan, dan kadang di belakang keburukan. Begitu seterusnya sampai akhir zaman, karena menusia sejatinya ada diantara dua jemari Tuhan, Kemulyaan dan Kemurkaan-Nya.
Sejarah penaklukan antar ras dan bangsa yang tak berkesudahan sejak jaman paling baheula, adalah sejarah persaingan rasa Cinta dan Benci. Oleh sifat xhenobia, chauvisnistis yang dipicu oleh rasa iri, cemburu, benci dan dendam Hitler pada kelebihan bangsa Yahudi dan separuh dunia yang menghukum bangsanya karena sifat agresornya sendiri, Hitler dengan sembotan “ Deutchland Uber Alles,” sebagai buah rasa superioritas bangsa Aria, tega membunuh lebih dari 20 juta anak manusia secara langsung maupun tidak langsung. Belum lagi riwayat Stalin yang dengan mengeksploitasi dan mengatas namakan rasa benci kaum proletar terhadap kaum kapitalis, telah membuang dan membunuh jutaan anak manusia ke kepulauan gulag, kamp-kamp konsentrasi di Siberia.
Langkah perubahan sejarah sesungguhnya bisa beredar disekitar rasa cita dan benci. Kita bisa berasumsi bahwa penaklukan Mesir oleh Romawi dengan segala romantikanya tak bisa dilepaskan dari kisah cinta Julius Caesar dengan ratu Mesir, Cleoptara. Hal ini pulalah yang mungkin membuat Brutus iri dan benci kepada Caesar, lalu mefitnah dan membunuhnya. Latar terang realitas ini dapat dibaca dalam drama karya William Shakespeare, “ Julius Caesar” Pasca aneksasi dan penaklukan Roma atas Mesir, mengalirlah semua aspek kebudayaan Mesir ke Roma. Saat itu mereka seperti mengabaikan mitologi mereka lalu berselingkuh dengan Dewa-dewi Mesir. Isis dan Osiris. Bahkan menjadi mode dan teladan bagi warga Roma, terutama kaum wanita. Kuil-kuil dan patung-patung berhala untuk memuja Isis dewa musik, didirikan. Di pusat-pusat kota Roma, orang berkeliling, dalam prosesi karnaval sambil mengumandangkan dan menggemakan musik Mesir yang didominasi oleh seruling atau Sistra, mengiringi lagu-lagu keagamaan serta lagu-lagu rakyat Mesir.
Sayang khasanah kebudayaan yang kaya yang diboyong atau diimpor dari Mesir itu, tak membuat bangsa Romawi beranjak dari peringkat tinggi bangsa suka perang sepanjang masa. Kesibukan bangsa itu untuk berperang dan mempertahankan imperiumnya, tidak sempat membuat mereka menghayati dan menciptakan karya-karya bermutu dalam bidang kesenian. Mereka memang punya Virgilius serta Horatius. Tapi tak bisa menandingi kebesaran serta kualitas seniman dan pujangga-pujangga Yunani, seperti Homeros, Aeschylos atau Sophokles. Apalagi di bidang filsafat, mereka tak punya filsuf sekelas Socrates, Aristoteles dan Plato. Sedang Plato adalah pemuja dan pembelajar kebudayaan Mesir yang fanatik, lantas menuliskan kekagumannya itu dalam buku, “ Republik” yang berisi penghargaan pada system pemerintahan di Mesir. Kegemaran dan penghargaan pada seni di Romawi lebih karena terobsesi pada kecantikan para biduan dan penari, persis kelakuan para petinggi RI yang suka membayar penyanyi setinggi langit lalu memacarinya. Petingginya adalah snobis dan bersifat diletan (amatiran), diantaranya kaisar Nero. Yang satu ini jika sedang memainkan musik dalam teater, tak satupun yang boleh keluar dari ruangan, dan harus selalu memberi applaus, dan puja puji, sampai ada yang tak tahan lalu membuat keributan, agar bisa menyelinap keluar atau memanjat tembok lalu kabur.
Di puncak ketinggian kebudayaan dan peradaban Islam, di masa daulah Abbasiyyah, yang ditandai dengan masa keemasan buku, ilmu,sastra dan filsafat. Pada periode ini telah lahir para filsuf, ilmuwan dan sastrawan yang mempengaruhi perkembangan peradaban dunia, seperti Ibu Sina, Al Farabi, Ibnu Rusyd, Al Kindi, Ibnu Haytzam, Al Kawarizmi dll. Datang serbuan kebencian dan kemarahan bangsa Mongol yang berkilatan di mata pedang yang memenggal peradaban Islam sampai punah dan tercerai berai, lalu berdiaspora ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Nusantara. Kekejaman dan kekejian bangsa Mongol yang meluluh lantakkan Baghdad itu, dipimpin oleh Jengis Khan alias Temujin. Seorang saksi menulis, saat itu para musisi dan penyanyi dipanggil untuk bernyanyi dengan gembira, sementara para bangsawan disuruh merawat kuda-kuda mereka. Qur’an di injak-injak dan dilemparkan. Yuwayni menulis : “ Mereka datang merusak, menghancurkan, membunuh, memperkosa wanita muda dan tua, menjarah harta, dan akhirnya pergi dengan tenang dan puas hati.”
Sebab utama permusuhan dan peperangan antara bangsa Mongol versus Negri-negri Islam adalah bermula ketika tiga orang saudagar Bukhara dan rombongannya masuk wilayah Mongol dan tiba di ibukota Karakorum, mereka dirampok dan disiksa oleh orang Mongol. Tidak lama setelah peristiwa itu, Jengis Khan mengirim missi dagang ke Bukhara. Namun atas perintah Amir Bukhara, Gayur Khan, mereka ditangkap dan di hukum mati. Nah, pasal dendam dan kebencian inilah yang menyebabkan Jengis Khan marah lalu merancang penyerbuan ke kenegri-negeri Islam. Tapi berkat kekuasaan Allah, keturunan penakluk dari padang padang steppa Asia Tengah ini, musuh dan seteru sengit orang Islam, pada akhirnya tunduk pada kepercayaan penduduk negeri yang mereka taklukkan. Konon tidak lama setelah kajatuhan kota Baghdad, banyak bangsawan dan pemimpin mongol yang secara diam-diam memeluk Islam, lalu kemudian mendirikan dynasty Moghul di India. Tentu saja peristiwa muskil ini diinisiasi oleh kecintaan pada kebudayaan dan masyarakat Islam.
Apa yang dibahas di atas dimana cinta dan benci menjadi salah satu factor penggerak dan perubahan sejarah, oleh filsuf Inggris, Bertrand Russell disebut, “ Trivial occurrences which happened to have a great effects.” Pandangan Russell ini telah dikutip oleh Sidney Hook dalam esainya,” Bertrand Russell’s Philosophy of History.” Selanjutnya Russell menulis, “ that if Henry VIII had not fallen in love with Anney Boleyn, the United States would not now exist. For it was owing to this event that England broke with Papacy, and therefore did not acknowledge the Pope’s gift of the Americas to Spain and Portugal, If England had remained Catholic, it is probable the what is now the United States would have been part of Spanish America.”
Dalam sejarah Mandar, tercatat ada seorang raja yang dimakzulkan akibat terjebak dalam tarikan rasa cinta dan benci. Beliau adalah Daeng Mallariq. Berawal dari kesepakatan ( allewuang) antara beliau dengan para Hadat untuk membantu Sultan Hasanuddin melawan penjajah Belanda, berangkatlah beliau ke Goa bersama pasukannya. Namun di tengah perjalanan, dihadang oleh Aru Palakka, Raja Bone. Maraqdia diminta dan dibujuk untuk membatalkan niatnya lalu membantu proyek perang Aru Palakka, bersama Belanda memerangi Sultan Hasanuddin I Malombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape’. Dan tanpa pikir panjang dan memandang allewuang yang telah dibuat bersama Hadat, beliau berubah niat, balik mencintai Aru Palakka membenci Hasanuddin. Akibatnya adalah, Daeng Mallariq pun diminta lengser oleh para yang Hadat kecewa dan marah pada sifat maraqdia yang plin plan itu.

Jumat, 17 Januari 2014

MANDAR MADANI


Salim Mengga adalah salah satu pemimpin daerah Mandar yang punya kesadaran dan visi budaya yang dalam dan jauh. Memang secara faktual dan aktual hanya beliaulah yang secara sadar dan konsisten mengusung kearifan lokal sebagai visi dan misi kehidupan dan kepemimpinannya. Bukan saja nilai-nilai budaya itu hendak diwujudkan secara substansial, tapi beliau juga dengan berani menggunakan term-term ke-Mandaran dalam menyampaikan visi politiknya secara formal di depan para anggota dewan dan masyarakat yang mau mengorek kualitas , kapabilitas, juga kapasitas intelektual dan rasanya sebagai seorang calon pemimpin daerah.
Memang begitulah seharusnya, era otonomi daerah dan desentralisasi kekuasaan mestinya memberi peluang untuk merevitalisasi dan mengaktualisasikan aneka kearifan lokal dalam perwujudan yang lebih kongkrit dan applicable. Dan itu bisa terjadi manakala ia mengada dalam ranah pemerintahan dan pemimpin yang mengusungnya bisa dapat kesempatan penuh dan cukup untuk memipin. Tapi sayang beliau belum punya kesempatan untuk menjadi gubernur sehingga mimpi untuk menjadikan Mandar sebagai buffer zona budaya dan masyarakat Madani tertunda. Incumbent gubernur dan calon lain juga sejatinya punya visi kemandaran, hanya saja tak tampak aspek formal dan simbolisasinya, kecuali dalam ranah substansi belaka. Mungkin takut disebut formalist dan kedaerahan. Tapi sering sebuah label yang dikemas secara apik dan estetis sudah memberi semangat dan inspirasi kendati kita belum merasakan atau masih samar pada isi dan substansinya. Kearifan lokal adalah simbolisasi dan formalisasi dari ideal patterns yang yang ada di benak pelaku budaya, yang kadang abtsrak sekali serta sukar dimengerti derivasi maknanya kecuali oleh mereka yang terdidik dan besar dalam lubuk kebudayaan tersebut.

Dalam rapat paripurna DPRD Sulbar pada masa pemilihan lalu, beliau menyampaikan visinya yaitu, Sulawesi Barat Masagena anna Malabbi (Siamasei). Visi tersebut merupakan makna yang didasarkan pada kondisi masyarakat yang madani, bertaqwa, berkemanusiaan, bersatu, berkeadilan, aman, berbudaya, mandiri dalam pembangunan dengan mengedepankan semangat Sipamandaq, Sipakala’bi, Sipakainga’.

Tampak jelas bahwa Salim Mengga dengan mengangkat tema-tema kearifan lokal faham benar pentingnya sebuah pencapaian yang berlandaskan pada kekuatan karakter dan potensi budaya. Artinya beliau telah mengakui akan perlunya emansipasi budaya dalam pembangunan. Dus, mengakomodir dan merealisasikan energy tradisional yang telah terpendam selama berabad yang justru dahulu menjadi faktor pemersatu dan menjadi tungku api bagi survivalnya orang Mandar menghadapai tantangan kehidupannya yang keras di jaman bahari. Atau di masa manusia masih berperang satu sama lain, sianre bale, di mana yang satu menjadi srigala bagi yang lainnya, “ Homo homini lupus”, bellum omnia contra omnes, struggale for the fittest.
Malaqbi, siammasei, adalah etos yang telah menghindarkan Mandar dari proyek imperialisme kerajaan lain dengan mengedepankan “ Soft Power” sehingga seluruh wilayah kedaulatan Mandar tak pernah bisa diduduki dan dilecehkan atas nama apapun. Juga dengan priisip sipamandaq, sipakala’bi dan sipakainge, orang Mandar dahulu tek tergerak untuk melakukan hal sebaliknya untuk menganeksasi dan menjajah wilayah suku lain.
Dengan mengangkat kearifan lokal, Salim Mengga telah berusaha untuk mencas battere energy yang lobet selama berabad sehingga kembali ready to use memijarkan sinyal-sinyal kemajuan dan kejayaan. Begitulah apa yang telah dipraktekkan negara-negara Asia Timur dalam mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa barat dengan memobilisasi nilai-nilai budayanya. Jepang merevitalisasi semangat bushido dan samurainya, China dengan etos Kong Hu Cu yang sosialistik dan materialistik. Korea dengan Sae Maul Undong ( membangun desa baru ).
Yang menarik juga adalah diangkatnya juga konsep masyarakat “Madani” yang dulu dipopulerkan oleh mantan wakil PM Malaysia, Anwar Ibrahim. Sejatinya konsep ini telah dipraktekkan oleh Rasulullah Muhammad SAW semasa hijrah di Madina. Ketika itu Nabi menghargai hak-hak masyarakat Yahudi dan Nasrani yang dituangkan dalam Piagam Madina. Jadi di sana ada toleransi, pluralism yang berlandaskan hukum dan demokrasi sebagai nilai-nilai dasar masarakat Madani.
Masyarakat madani yang eqwivalent dengan civil society menurut Alexis de Tocqueville adalah masyarakat dimana di dalamnya ada prinsip kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan ( self-generating), dan keswadayaan ( self-supporting). Ada kemandirian vis a vis negara. Bahkan dalam persfektif Antonio Gramsci, negara akan menghilang kerena diserap kembali ( re-absorption ) oleh civil society, sehingga struktur dan super struktur, negara dan masyarakat menjadi satu.
Dengan mengandengkan konsep masyarakat madani dengan kearifan lokal Mandar, maka diharapkan bisa terwujud “ Ethical Sosiety (masyarakat etis). Menurut cendekiawan Islam Kuntowijoyo, untuk mencapai tahap masyarakat etis tersebut perlu pentahapan secara gradual dengan menggunakan strategi, taktik dan cara yang merujuk pada esensi sebuah hadis,” Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu hendaknya dia mengubah dengan lidahnya, dan jika tidak mampu juga hendaknya ia mengubah dengan hatinya, yang demikian itu merupakan selemah-lemahnya Iman,”
Tangan, hati dan lidah adalah symbol struktur, kultur dan mobilitas social. Tapi patut diketahui struktur dan kultur kekuasaan hegemonik yang mungkar tidak saja bertengger pada aparatur negara di pusat dan daerah. Namun ia juga ada tersebar di mana-mana dan gentanyangan di sekeliling kita sesuai dengan teorisasi Faucouldian, berupa ide-ide, gagasan, pikiran, dan sikap yang maunya mengobjekkan kita tanpa hak untuk mengada dan berkiprah sambil membunuh subjektivitas kita. Jadi projek masyarakat “Mandar Madani” adalah projek pembebasan, berupa kerja yang berdimensi emansipatoris dan partisipatoris yang luas, ke luar dan ke dalam.
Jangan-jangan pembunuh itu ada dalam diri kita sendiri… Ibdah binafsik!

ETOS MALAQBI


Jika orang mengatakan bahwa Malaqbi kedo-kedona I Kaco Bellu, dan hal tersebut berkorespondensi dengan realitas hidup keseharian I Kaco, dimana ia rajin beribadah, tidak suka berbohong, rajin bekerja, suka membantu, bertanggung jawab, penuh empati atau kayyang siri’, maka dapatlah dikatakan bahwa I Kaco itu memiliki apa yang disebut “ Etos Malaqbi”. Secara thesaurus atau jenis kata, etos itu sebangsa dengan kata antusisme, motivasi, semangat, ruh, passion, kehendak atau nilai-nilai. Sedang pengertian malaqbi dalam bentuknya yang kongkrit di Mandar terdapat dalam kalimat,” Polei batua dini di olo malaqbina maraqdia,” yang berarti “ Hamba datang menghadap di hadapan raja yang mulia,” Di sini kata atau ungkapan malaqbi bermakna seorang yang punya sifat mulia, terhormat, atau bermartabat. Di jaman sekarang, pribadi mulya, bermartabat dan terhormat juga bisa sampai pada I Kaco karena sifat-sifatnya itu, jadi tidak hanya bertahan di kalangan elite, orang besar atau raja. Etos malaqbi akan menyempurnakan etos-etos yang seperti, etos kerja, etos social, etos berusaha, etos teknologi, etos seni dll.
Yang dimaksud “ Etos Malaqbi” per definisi adalah orang yang punya jiwa, ruh, nilai-nilai atau sifat mulia, bermartabat dan terhormat. Habitatnya ada di dalam hati dan intangible tidak kasat mata, suatu suasana hati yang akan mewujud dalam prilaku dan tindakan spontan tanpa pertimbangan ratio atau logika, melainkan sudah menjadi adat, kebiasan, dan kepribadian. Dalam konteks kebudayaan, etos malaqbi bisa dikategorikan sebagai Struktur Sosial atau prinsip social seperti yang diteorikan Radcliffe Brown. Atau dalam istilah Clyde Kluckholn, “ Idel Patterns atau pola cita. Jika etos sejajar dengan Niat, maka Malaqbi itu lebih equivalent dengan kata “ Taqwa”. Jika etos atau niat menentukan amal seseorang ( Innamal a’malu binniyati), maka sifat mulia atau taqwa adalah amal ibadah dan amal saleh yang dilakukan karena Allah semata, lillaahi taala.
Etos malaqbi inilah yang akan menjadi api atau batu pemantik bagi berkembangnya bakat atau talenta serta karakter seseorang. talenta yang besar, takkan langgeng dan memberi berkah atau mamfaat tanpa adanya karakter yang menjadi container bagi perkembangan bakat atau talenta itu. Karakter adalah kualitas moral yang membuat atau membawa seseorang mampu terbang tinggi bersama bakat besar yang dimilikinya Tapi karakter yang betapapun kuatnya akan mudah aus dan luntur bila putus hubungan dengan etos malaqbi.
Fenomena Michael Jakcson adalah hujjah terbaik bahwa seseorang pada akhirnya betapapun hebat, baik dan berbakat besar, tetap saja memerlukan etos malaqbi atau etos taqwa dalam langkah dan jangka kehidupannya. Dengan bakatnya yang luar biasa, Michael Jackson bisa menjadi King of Pop atau penyanyai pop terbaik sepanjang masa. Dengan karakter moralnya atau kebaikannya ia membangun semacam komplek Walt Disney di rumahnya yang besar guna membahagiakan anak-anak kecil yang dicintainya. Namum karena ketiadaan etos malaqbi, ia jadi seorang yang tak pandai bersyukur pada anugrah Tuhan pada dirinya, sehingga ia suka sekali memvermak wajahnya dengan opplas atau bahkan menggauli anak-anak yang datang kepadanya.
Dengan etos malaqbi – disingkat malaqbi saja- maka di Mandar telah muncul bintang-bintang yang menyemarakkan langitnya dan yang akan dikenang sepanjang masa. Gabungan tiga kualitas jiwa, malaqbi, karakter, dan bakat yang bisa juga disebut nilai-nilai budaya, telah melahirkan tokoh-tokoh seperti Imanyambungi atau Todilaling, Imam Lapeo, Ibu Depu, Husni Jamaluddin, Baharuddin Lopa, dll. Merekalah yang dengan kemalaqbiannya, bakat serta kualitas moralnya, telah mengangkat nama Mandar sehingga disegani dan dihormati di kancah nasional dan internasional. Mereka mengharumkan nama Mandar bukan dengan semata-mata karena kualitas Profesionalisme mereka ( bakat), tapi juga karena kualitas moral dan taqwa merekalah yang membuat Mandar bersinar di langit Nusantara. Almarhum Baharuddin Lopa sering dalam tulisan dan ceramah-ceramahnya, mengkaitkan issu-issu hukum, demokrasi dan Ham sebagai premis minor dengan Al Qur’an dan Hadis Rasul sebagai premis mayor.
dengan bakatnya sebagai mangkubumi atau panglima perang plus karakter kuat dan malaqbinya, Todilaling berhasil membangun sebuah dynasty kerajaan yang sampai kini masih eksis dan punya nama besar, yakni kerajaan Balanipa. Sedangkan kerajaan Passokkorang yang juga punya raja berbakat tapi minus karakter dan ammalaqbiang, telah lama ditelan masa dan hancur. Walaupun Todilaling adalah penganut animime, tapi beliau adalah seorang animis yang baik dan etos keTuhanannya itu telah membina karakter moral dan bakatnya. Dengan perjuangan dan motivasi manusia-manusia yang punya integritas tinggi ( malaqbi, berkarakter, berbakat ) seperti Baharuddin Lopa dan Husni Jamaluddin, kita semua orang Mandar telah punya provinsi sendiri yang “ Malaqbi” untuk mengakselerasi pembangunn, kemajuan, kesejahteraan dan kemakmutan, bernama “ Provinsi Sulawesi Barat.”

NB: Tulisan di atas hanya percobaan untuk mengkongkritkan dn membumikan ungkapan Malaqbi hingga ia bisa di operasionalisasikan dan diaplikasikan dalam hidup sehari-hari kita sebagai orang Mandar.
Suka · Bagikan · Kemarin jam 11:13



Rabu, 15 Januari 2014

SIBALI PARRIQ


Secara letterlejk, sibali parri adalah istilah atau frasa yang dikonstruksi dari dua kata negatif dan positif. Yakni “bali” dan “ parri”. Bali menurut kamus mandar adalah lawan, misalnya dalam kalimat,” kayyang begai balinna.” Yang artinya lawannya terlalu besar. Atau musuh, seperti dalam kalimat,” pasadia I sanjata, polei bali.” Artinya, siapkan senjata musuh akan datang. Bisa juga berarti pembangkang dalam kata pabali-bali. Makna positifnya ada pada kalimat,” simata na bali ma’jama luluare’na.” artinya saudaranya selalu dibantu bekerja.”
Sedangkan kata parri yang bermakna negatif adalah, kesusahan, “ sangga parri ulolongang dini.” Artinya, hanya kesusahan yang kujumpai disini. Yang positif adalah bersihkan, seperti dalam kalimat, parriq leqmai issinna.” atau bersihkan isinya sampai habis.
Ketika dua kata yang mengandung muatan negatif dan positif itu digabungkan untuk membangun sebuah konsep budaya, “ sibali parriq”, maka terciptalah sebuah makna yang sebenarnya juga mengadung prinsip sequence, bersifat suksesif secara dinamis hingga sampai pada tema yang diinginkan. Dengan kata lain kedua kata itu telah mengalami proses abstraksi yang menghimpun dua kondisi atau kutub yang saling berlawanan namun akhirnya menciptakan polar kekuatan dan keampuhan. Ketika ia memijarkan rasa dan keinginan untuk saling bantu, kerja sama, tolong menolong antar suami istri, keluarga dan antar masyarakat Mandar. Atau ketika ia terintegrasi menjadi prinsip emansipasi dan kesetaraan gender.
Untuk lebih memahami semua itu, saya akan beri sebuah cerita dari Afrika Selatan, tentang binatang “ Landak”. Kisah landak ini juga yang telah menginspirasi Nelson Mandela untuk merevitalisasi dan mengaktualkan sebuah nilai budaya yang bernama “ Ubuntu” yakni prinsip kebersamaan, gotong royong atau saling bantu, sebagai pemicu dan pemacu kemajuan bangsanya. Ubuntu bagi Mandela adalah The wholeness, egalitarian, sympathy yang terangkum dalam ungkapan,” I am cuz we are.”
Alkisah sekawanan landak gelisah dan ketakutan di musim dingin. Maka mereka memutuskan untuk saling menolong dengan jalan saling merapatkan badan. Tapi apa lacur, karena tubuh mereka yang berduri, masing-masing merasa sakit karena sama-sama tertusuk duri. Akhirnya mereka berpisah karena tak tahan dengan keadaan itu. Yang terjadi kemudian, justru mereka mati satu demi satu oleh kerasnya udara dingin yang bersalju. Kemudian mereka menyadari kelirunya perpisahan, yang justru bisa membunuh mereka semua. Kembalilah mereka saling mendekat dan berdekap untuk mengatasi setiap masalah termasuk masalah kedinginan.
Apa yang bisa kita petik dari fabel di atas kaitannya dengan eksistensi konsep sibali parri, Jelaslah bagi kita bahwa betapapun sakitnya kebersamaan, namun lebih menyakitkan keterpisahan. Ada ungkapan Mandar yang bermakna.” Piring di rak pun bisa saling bergesakan, apalagi manusia. Ya, begitulah seharusnya, perbedaan, rasa kecewa dan sedih yang timbul dari kebersamaan hendaknya tidak membuat kita bersimpang jalan dan bertolak belakang, tapi harus dijadikan sebagai pelatuk untuk lebih saling berempati dan berkasih sayang ( siammasei). Dalam kesatuan dan persatuanlah letak kekuatan kita. Kolektivisme adalah alami dan masih perlu dijaga di Mandar, sedang individualisme adalah barang asing.
Kesimpulnnya adalah, bahwa kesusahan, penderitaan dan duka derita, jika dishare bersama dalam keluarga dan masyarakat, maka ia akan menjadi prinsip yang justru positif dan menjadi energy yang menghidupkan untuk memelihara rasa solidaritas, senasib sepenanggungan, kasih sayang dan cinta. Itulah “ Sibali Parriq”


BUMI YANG RUSAK


Dalam waktu-waktu sekarang ini, jika anda melakukan perjalanan dari Majene ke Makassar misalnya, maka cuaca yang menggigil, dingin nan menggit serta jalanan basah oleh hujan tiada henti mungkin akan memberi melankolia tertentu dan sensasi yang romantis sepanjang perjalanan. Ada keindahan di keluasan yang berselimut kabut dan keremangan. Alam menyita kesatuan rasa dan pandangan oleh misty yang mengambang jauh, maka anganpun akan menyatu dengan puncak gunung sepi yang hening.
Jika ingin kembali lagi ke Majene, maka berangkatlah ketika mendung telah beranjak pergi dan matahari mulai bersinar cerah, maka sepanjang jalan anda akan menikmati keindahan yang lebih alami dan purna. Karena saat itu bunga-bunga dan pohonan sepanjang jalan akan tampak lebih semarak dan permai. Sebabnya adalah matahari sedang berada di selatan khatulistiwa, tepat di atas pulau Jawa. Jadi kembang dan daunan sedang bercengkerama dan bercumbu dengan sinar matahari di dahan pohon-pohon yang merimbun.
Namun sensasi keindahan yang kita nikmati sepanajng perjalanan bolak-balik itu tak akan ada artinya jika mengingat resiko dan bencana yang mungkin datang bertubi-tubi di sana-sini karena keadaan alam yang ganjil tersebut. Banjir, gelombng pasang dan angin badai adalah akibat langsung dari posisi matahari yang menjorok ke bumi selatan. Tekanan udaranya yang rendah mambuat angin dari daratan Asia mengalir deras ke sana ditambah air yang pada menguap oleh panasnya permukaan laut ditimpali pusaran angin tak karuan membuat cuaca jadi tak menentu. Anomali cuaca membuat kita tak sempat meramal dengan tepat kapan derita melanda , Hujan turun secara sporadis dan tiada henti di sembarang tempat dan waktu. Kini Hujan yang kerap tercurah dipagi hari adalah pertanda intensitas dan keliarannya yang luar biasa. Kita tak bisa lagi tidur nyenyak pada malam hari ba’da hujan jinak yang biasanya turun pada senja.
Bakat kita untuk selalu abai pada pentingnya early warning system, membuat banyak kapal motor telah terjungkal lalu tenggelam ke laut bersama anak-anak manusia yang tak tahu apa-apa tentang perjalanan iklim yang ekstrim itu. Mereka senang-senang saja berebut naik kapal yang telah sesak menuju seberang, tak tahu kapal telah tak layak jalan dan pada bencana yang menghadang. Karamnya KM Munawar di Pulau Kayangan Lombok dan juga yang di Sungai Musi adalah bukti dari kelalaian kita mengantisipasi bencana. Belum lagi banjir yang melanda di sekujur nusantara, terutama di Ibu Kota Jakarta yang katanya megapolitan atau kota bertaraf internasional. Sungguh semua tak mampu kita kelola dan tanggulangi sedini mungkin. Padahal apa yang telah terjadi belum merupakan puncak keganasan alam. Menurut ramalan BMKG, hujan masih akan turun sampai februari, namun akan memuncak di akhir Januari.
Berita-berita tentang terendamnya Jakarta akan segera berganti dengan tenggelamnya. Betapa tidak, apa yang dikampanyekan Jokowi dan Ahok untuk prioritas pada pencegahan dan penanggulangan banjir serta kemacetan di Jakarta tak seindah warna aslinya. Dari empat puluhan waduk dan situ di Jakarta, baru dua yang telah direvitalisasi, yakni waduk Pluit dan Ria-rio. Rehabilitasi sungai dan relokasi warga bantarannya masih jauh dari harapan berbuah hasil. Sementara orang masih saja terus dengan kebiasaan buruknya menjadikan semua sistem drainase kota sebagai wadah pembuangan sampah. Tanah-tanah resapan air terus bermetamorfosis jadi gedung-gedung pemukiman, bisnis dan perkantoran yang tak ramah lingkungan tapi gila keuntungan.
Amerika Serikat saat ini juga mengalami bencana yang lebih parah. Badai salju yang ektrim oleh menggigilnya kutub utara membuat cuaca menggila sampai 40 an derajat di bawah nol. Ratusan mobil terjebak di tengah salju sepanjang jalan dari Washington, New York sampai Maryland. Konon ini yang terburuk sejak tahun 1932. Bahkan orang-orang Florida atau California pun telah melihat salju di jalan-jalan dan di atap-atap rumah mereka. Hal yang baru terjadi setelah 100 tahun. Namun ekses dari anomali cuaca dan iklim itu tak sempat membuat para warga panik dan menjadi tumbal-tumbalnya. Meski dilaporkan ada sekitar 20 an orang yang meninggal kedinginan, yang rata-rata adalah para tana wisma. Itu karena mereka punya system peringatan dini yang mumpuni. Seminggu atau dua minggu sebelum bencana itu menimpa, warga telah diberitahu akan kemungkinan datangnya suatu bencana badai salju yang besar dan luar biasa. Sehingga orang-orang pada siap mengantisipasi segalanya dengan sigap dan pasti. Mereka memborong jaket dan jas hujan, sarung tangan dan menyiapkan heater atau pendiangan yang lebih banyak. Melalui sms, murid-murid atau orang tua cepat diberi tahu kalau akan terjadi badai atau hujan deras tak terkendali. Peringatan bencana dengan running teks di televisi sepertinya telah kuno di sana. Mengingat orang yang asyik nonton atau menatap cewek cakep di TV, mana “ngeh “pada teks yang mondar mandir sekali dua kali saja. Yang kini dilakukan di negeri paman sam itu adalah langsung menghitamkan televisi seperti ada kesalahan teknis disertai bunyi tertentu, disambut teks atau kata-kata peringatan. Otomatis semua pecandu televisi akan tahu dan mulai bersiap-siap melakukan sesuatu untuk menghindari renjana.
Namun patut disadari, semua itu, juga tsunami , letusan gunung-gunung, serta munculnya badai Katrina, badai di Filipina atau di India di era millenium ke dua ini adalah akibat dari global warming dan rusaknya lapisan ozon di atmosfir karena ulah anak manusia yang tak lagi bersahabat dan harmoni dengan alam, tapi malah merusak dan memperkosanya. Dan kini alam sepertinya telah hilang kesabaran dan kemampun menahan diri, sehingga memuntahkan amarah dan dendamnya di mana-mana.
“ Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali.” ( Ar Ruum ayat 41 ).

BAHASA MANDAR

Mengapa di Papua terdapat begitu banyak bahasa? Yang telah terdata ada kurang lebih 350 an bahasa kendati mereka sama berasal dari suku bangsa yang sama, suku bangsa Papua. Salah satu factor yang mungkin adalah tidak adanya satu kerajaan atau pemerintahan yang kuat yang mengikat ke luar dan ke dalam serta menjamin suatu kesatuan bahasa, adat dan budaya. Yang di kenal hanya ada kerajaan Fakfak yang tentu saja karena kendala geografis yang luas dan sulit, menjadikannya tak mampu berperan menjadi unsur pemersatu kebuadayaan . Akibatnya perang antar suku masih sering terjadi di sana hingga kini.
Berbeda dengan di Jawa, di sana ada kerajaan Mataram kuno, Singosari atau Majapahit yang kendati berbeda visi pemerintahan satu sama lain, namun tetap secara alami dan sosial, menjaga kesinambungan adat dan budaya, karena adanya komitmen yang sama pada keajegan dan kesinambunga bahasa, yakni bahasa Jawa. Jadi bahasa adalah faktor pemersatu sebuah suku di masa lalu di samping faktor agam tentunyaa. Itulah juga sebabnya kita bisa menjadi satu Indonesia, karena komitmen dan persatuan bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Komitmen kebangsaan dan kesatuan tanah air, akan rapuh bila tanpa adanya persatuan bahasa. Dengan kesamaan bahasa atau adanya lingua franca, maka agama-agama dan kerajaan-kerajaan, serta suku-suku yang ada di nusantara bisa bersatu padu memdirikan dan membangun NKRI.
Bagaimana dengan eksistensi bahasa daerah? Kaitanya dengan budaya etnik. Mari kita lihat Mandar. Mungkin yang bisa disebut sebagai benteng atau fondasi bagi eksistensi ke Mandaran kita adalah fakta sejarah keberadaan kerajaan atau ammara’diang Balanipa. Kita bisa merujuk ke sana sebagai batu penjuru yang mengarahkan sehingga tetap bertahannya eksistensi bahasa Mandar dan budayanya. Jika di kerajaan Banggae, tokoh sentral mula berdirinya adalah To Pole-pole yang datang dari Goa, maka di Sendana adalah Daeng Pallulung saudara Daeng Tumana, Tomakaka Tabulahan dari wilayah Pitu Ulunna Salu. Artinya, pada ke dua kerajaan tersebut, aspek adat sebagai fondasi pendirian kerajaan kurang kental, meski pada akhirnya, raja-raja dan keturunannya akhirnya juga karam dalam lautan adat dan budaya Mandar.
Balanipa berbeda dengan Banggae dan Sendana, raja pertamanya adalah orang Mandar asli, dan naiknya jadi raja karena faktor kesepakatan para hadat Appe’ Banua Kayyang. Nah, para puang dari empat persekutuan adat inilah yang juga bersepakat membenruk sebuah kerajaan sebagai pemersatu dari persekutuan-persekutuan adat yang ada. Ke-empat pepuangan sebagai cikal bakal kerajaan Balanipa itu adalah ; Napo, samasundu, Mosso dan Todang-todang. Kekuasaan dijalankan secara kolegial bersama mara’dia. Yang menarik adalah di wilayah inti Balanipa ( Kernland ), Tinambung sekarang ( eks distrik-distrik Limboro, Biring Lembang, Batulaya dan sebagian Allu) serta sebagian kecamatan Campalagian ( Eks distrik Kenje dan Tenggelang ), bahasa yang dipakai adalah hanya bahasa Mandar. Hanya di wilayah persekutuan adat lain, seperti Campalagian, Mapilli, Tapango, Allu, Taramanu, dan Tubbi terdapat bahasa atau dialiek masing-masing.
Dalam setiap perjanjian persatuan atau kerja sama antara Balanipa dengan persekutuan adat lainnya atau Assitalliang, tentu saja yang dipergunakan sebagai media komunikasi atau dialog adalah bahasa Mandar. Begitu juga dalam konteks yang lebih luas, yakni muktamar Tammajarra I yang mempersatukan kerajaan-kerajaan Pitu Ba’bana Binanga. Sejatinya dalam setiap wadah persatuan, harus ada media komunikasi yang difahami bersama, maka itu adalah bahasa Mandar. Dengan bersatunya semua wilayah-wilayah PBB dalam menggunakan bahasa Mandar sebagai lngua franca, maka beridirilah apa yang disebut suku Mandar dengan bahasa Mandar sebagai perekat jiwa dan kerohanian mereka. Yang pada akhirnya melahirkan kebudayaan dan peradaban Mandar Raya.

NB : Tulisan di atas hanya sebuah pendapat pribadi yang berdasar pada kajian pustaka dan sedikit menyimak realitas di lapangan.
Suka · Bagikan · 13 Januari pukul 20:30



Sabtu, 11 Januari 2014

MAULID NABI DAN MOMENTUM KEBANGKITAN UMMAT

Tidak ada agama di dunia ini yang kemunculan, kebangkitan dan jejak langkahnya dalam sejarah membuat orang di seluruh penjuru dunia tercengang dan takjub. Mao Tze Tung, pemimpin komunis China pernah mencanangkan program “ langkah raksasa” ( Giant Step) untuk memicu dan memacu kemajuan bangsanya, tapi gagal total. Giant step sesungguhnya terjadi oleh Islam dalam merambah semak belukar dan hutan rimba pergulatan dunia dan kehidupan manusia. Bangsa yang tadinya begitu jahil dan jumud, bangsa Arab, mampu disulap oleh Islam menjadi bangsa yang paling dinamis sepanjang sejarah dunia, sehingga dalam waktu kurang dari seratus tahun mampu menciptakan sebuah wilayah darul Islam yang tiada tolok bandingnya dalam sejarah dunia. Dua super power dunia saat itu ada dicengkraman dan lindungannya; Bizantium dan Persia, kekuasaannya meliputi wilayah-wilayah Oukumene atau The Cradle of Civiilisation, pokoknya dari Afrika utara hingga India Selatan. Semua itu berkat kepemimpinan seorang Nabi Besar, Muhammad SAW.
Maka terbuktilah kebesaran dan kebenaran Allah yang sungguh tidak keliru memilih Sang Mustafa untuk mengembang tugas membawa risalah Islam dan rahmat kesegenap pelosok dan penjuru dunia. Sebagaimana Allah telah berfirman dalam Qur’an, Al Ambiya, ayat 170,” Dan tiada kami mengutus kamu melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam.” Dengan kesempurnaan akhlak serta kekuatan jiwa dan karakter yang dimilki, Rasulullah Al-Amin, berhasil mengembang tugasnya sebagai Nabi sekaligus raja di raja dan pemimpin besar, sehingga mendapat gelar oleh Michael H. Hart sebagai tokoh paling berpengaruh dan paling kuat sepanjang masa. Mengatasi kebesaran Nabi Isa, Isaac Newton, Siddhartha Gautama, atau Kong Hu Cu. Semasa beliau, dasar atau fondasi bagi sebuah word state telah dipancangkan, berupa agama yang diridhoi Allah SWT, Islam yang membawa Al Quran dan Sunnah Rasul sebagai obor atau dian yang tak kunjung padam.
Seandainya para khalifah, raja, sultan, presiden, ulil amri, ulama, pemimpin Islam yang datang ba’da wafat beliau mau selalu menteladani dan mengamalkan ajaran-ajaran kepemimpinan dan sunnah Nabi , maka pastilah seluruh bumi dan seisinya telah Islam. Tapi apa lacur, alih-alih, menjadikan dunia seluruhnya Islam dan makmur sejahtera, ummat Islam yang ada malah karam dalam keterpurukan dan kemandegan yang nyaris sempurna dan telak. Dari Marokko sampai Merauke hanya kantong-kantong kemiskinan Islam yang menyata dan menyebar, walau di sana sini ada juga keberlimpahan, tapi itu hanyalah semacam berkah alam yang terberikan secara gratis ; Minyak dan dan sumber daya alam yang kaya dan beragam. Dalam kancah pesaingan internasional yang mengandalkan kreatifitas, sains, dan inovasi kita kalah jauh dengan penganut agama lain, Nasrani, Budha bahkan oleh kaum atheis. Boro-boro mau punya pengaruh ekonomi dan politik, yang ada sebagian besar negara-negara Islam telah diacak-acak oleh bangsa lain dan kompradornya di negara masing-masing. Jadi semua kebesaran, kejayaan dan kemulyaan Islam awal, kini tinggal kenangan yang entah kapan akan mengalami renesan yang sesungguhnya.
Lihat saja di Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI) ini. Partai-partai Islam sebagai refresentasi kekuatan Islam yang seharusnya mengembang misi profetik ke Nabian, yang terdiri dari program humanisasi, liberasi dan transedensi, seperti yang digagas cendekiawan muslim Kuntowijoyo almarhum, sungguh telah mengalami disorientasi dan kegamangan di tengah percaturan politik melawan kekuatan partai-partai nasionalis, sosialis atau sekuler . Bukan saja secara personal kepemimpinan telah mengalami degradasi kepercayaan yang parah, akibat prilaku koruptif sebagian eksponennya, tapi secara ideologi masyarakat juga dibuat bingung karena tiadanya konsisitensi dalam mengusung visi dan misi keislaman yang tegas dan jelas. Sepertinya mereka malu-malu mengusung warna atau karakter Islamnya yang tercermin dari prilaku dan program mereka. Mereka telah gagal menjadi party identification tempat ummat bercermin. Partai-partai Islam bukanlah lagi jalan untuk mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan ummat yang sahih.
Dalam rekruitmen misalnya, itu dilakukan secara asal-asalan dengan tanpa menyeleksi lagi komitmen dan wawasan Islam para kader, serta berpatokan pada wibawa dan charisma. Sehingga ada beberapa partai yang berlabel Islam atau berbasis Islam yang memilikii kader mantan preman, atau artis kacangan tapi banyak uangnya. Tak ada yang salah dengan kader-kader tipe instan tersebut, andainya mereka hanya caleg sepatu, tapi banyak dari mereka menjadi caleg jadi, yang tentu saja akan membawa citra tertentu di mata publik. Dan apa mereka bisa diharap untuk bisa memperjuangkan gagasan atau ide-ide profetik secara all out atau maksimal. Yang banyak terjadi adalah, jika kader-kader model begitu mendapat tekanan atau cobaan, mereka dengan mudahnya lompat pagar dan beralih ke partai lain yang bisa memuaskan hasrat dan kepentingan pribadinya.
Nah, momentum Maulid Nabi bisa dijadikan sebagai titik keberangkatan dan kebangkitan ummat, untuk memulai sebuah sejarah dan lembaran baru muslim yang lebih bermakna dalam segala kiprahnya. Dengan menjadikan Nabi sebagai teladan utama dan guru besar, serta beriman, mencintai dan menjadi pengikut setia Nabi penutup kerasulan, maka kejayaan Islam akan kembali bisa diraih. Apalah artinya andai kita hari ini memulyakan dan merayakan hari kelahiran sang Mustafa, tetapi besok dan seterusnya kita mengabaikan dan menyepelekan hukum dan tuntunan suci yang disampaikan kepeda beliau oleh Allah SWT. Ataupun yang disunnahkan oleh beliau dalam kedudukannya sebagai Nabi utusan Allah. Itu sama saja mengejek Nabi. Jalaluddin Rumi mengatakan,” Dalam ketololanku aku telah mengejekmu ya Muhammad, tapi aku sendirilah yang patut diejek dan mendapat hukuman.”
Mengapa kita tidak mau mengenang, merayakan dan memulyakan Nabi sendiri, padahal banyak orang genius dunia mengaguminya. Salah satunya adalah penyair Jerman yang mendunia, Johann Wolfgang von Gothe yang telah menulis sajak berjudul,” Mahomet Gesang” ( nyanyian Muhammad) yang berisi kekaguman pada perjuangan Rasulullah dalam menyampaikan risalah Islam. Menurut Goethe, seperti yang dikutip Abdul Hadi WM dalam eseinya, “ Rasulullah dimata Goethe dan Iqbal, “ Kemunculan Nabi Muhammad di panggung sejarah kemanusiaan, seperti munculnya sungai besar yang mengalir deras tidak terhalang oleh batu-batu karang besar dan sanggup menyuburkan tanah-tanah yang tandus dan gersang. Arus dan aliran sungai kenabian itu dapat mengalahkan batu-batu karang oleh karena berasal dari langit. Ia bagaikan hujan yang diturunkan ke bumi untuk menyuburkan kembali tanah-tanah yang hampir mati. Demikianlah ajaran Islam itu diturunkan untuk menghidupkan kembali jiwa manusia yang telah mati akibat kejahilannya terhadap kebenaran dan hakekat ajaran tauhid.
Akan tetapi walaupun sekiranya semua manusia tidak mau memulyakan Rasulullah, namun Nabi Muhammad akan tetap menjadi manusia yang paling utama di sisi Allah SWT. Sejatinya beliau mulya bukan karena dimulyakan oleh manusia yang bersedia menjadi penglkutnya, tetapi justru karena dimulyakan oleh Allah sendiri. “ Katakanlah: Jika kamu ( benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” Ali Imran ayat 31.
Di Mandar, dalam kumpulan syair Ditirakkaqna Alang, beberapa baitnya berbunyi ;
Allah, dianna puang nabitta / Allah, iyamo tirakkaq alang / Allah, malaqbang lino daeng / Allah, siola issi didunnia
Allah, puangngi tia Muhammaq / Allah, iyamo tirakkaq alang / Allah, mallaqbang lino daeng / Allah, dunnia di akeraq.

Kamis, 09 Januari 2014

PEMUDA MANDAR


Pada tahun 80 an beberapa pemuda dan mahasiswa Mandar di Jakarta membentuk organisasi Ikatan Remaja Mandar ( IRM). Mereka antara lain Tonangi yang kemudian jadi ketua, Iskandar Lopa, Khalid Lopa, Ali Bal Masdar, Hendra Singkarru, Arie, Ibrahim Masdar, Susi Suyud, Nani Arif Jamaluddin dll. Tujuan mereka jelas, menghimpun potensi kaum muda Mandar di perantauan untuk memajukan daerah, termasuk dibidang seni budaya.
Penulis yang kebetulan dipercaya untuk mengomandoi bidang seni budaya, tidak menunggu lama, tak lama setelah pengukuhan, kami membuat program mempromosikan lagu-lagu Mandar melalui media elekronik, khususnya Televisi. Syukurlah tak berapa lama kemudian Mandar Vocal Group muncul di TVRI Pusat untuk pertama kali dengan membawakan lagu Passuringi Salili dan Panjala.
Atas peristiwa tersebut, kontan membuat banyak orang Mandar merasa gembira dan senang. Karena untuk yang pertama kali lagu-lagu Mandar dinyanyikan oleh pemuda dan remaja-remaja Mandar sendiri di televise. Sebelumnya Lagu Mandar banyak juga dinyanyikan oleh artis daerah yang bukan dari suku Mandar. Penulis sendiri juga sebelumnya telah mengusung lagu-lagu Mandar bersama teman-teman dari Nusantara VG yang aneka suku.
Sebenarnya hal tersebut tidak mengherankan, karena teman-teman ketika itu memang telah terbangun kesadarannya tentang perlunya mengembangkan dan melestarikan lagu-lagu daerah dan seni budaya Mandar lainnya. Itulah sebabnya mereka membentuk organisasi yang berorientasi kedaerahan. Tentu saja kesadaran tersebut tdaik muncul begitu saja atau dari sebuah vacum . mereka prihatin pada relitas tidak atau kurang dikenalnya budaya Mandar secara nasional, apalagi internasional. memang saat itu TVRI lebih sering memunculkan lagu-lagu daerah Ambon atau Maluku, Batak, Minang atau Jawa dan Sunda. Bahkan lagu Bugis Makassar Toraja juga jarang mengumandang di media elektronik paling bergengsi tersebu, paling tidak pada saat itu.
Hal yang menonjol ketika itu adalah sikap dan kemauan untuk mandiri dan otonom para pemuda. Mereka seolah ingin membuktikan bahwa anak muda juga bisa berbuat untuk daerah dengan tanpa bantuan dan arahan para senior atau orang tua yang waktu itu tergabung dalam Kerukunan Keluarga Mandar ( KKM). Tapi tidak semua bersikap demikian. Penulis sendiri sering mondar-mandar kerumah ketua KKM saat itu, bpk Kolonel Darwis almarhum, untuk berkonsultasi dan berdiskusi tentang rencana-rencana kegiatan KKM dan IRM. Sekaligus untuk menjembatani generation gap tersebut.
Kisruh dan friksi tersebut bermula dari sikap budaya yang senjang akibat mulai masuknya pengaruh-pengaruh modernisasi yang membawa juga mentalitas ikutan seperti indivudalisme, kebebasan, dan efisiensi. Dan juga ketika itu masih besar pengaruh “ flower generation” yang anti kemapanan dan semua bentuk otoriatarianisme, termasuk feodalisme budaya. Orang-orang tua sebenarnya bermaksud baik, hendak memeberi tahu apa dan bagaimana seni budaya Mandar yang sebenarnya, atau mau mengarahkan kearah yang lebih benar menurut persepsi mereka. Namun di mata anak muda, hal tersebut dianggap sebagai keinginan untuk mengintervensi dan terlalu mencampuri. Mereka mungkin ingin berkata bahwa kami sudah punya organisasi, jadi biarkan kami bekerja untuk mencapai dan mewujudkan visi, misi dan tujuan yang telah kami rumuskan. Tapi untunglah segera terjadi rekonsiliasi setelah sama-sama merujuk pada budaya dan adat Mandar. Itulah pentingnya untuk selalu mau dan rela memberi kesempatan kepada para pemuda maju dan berkembang di atas kekuatan kaki sendiri. Dan juga perlunya tetap menghargai peran orang tua yang secara tidak langsung telah memberi ruang-ruang untuk beraktualisasi dan berkiprah serta inspirasi dan keteladanan. Bukankah Soekarno pernah mengatakan ‘ Beri aku seribu orng tua, maka aku akan mencabut Gunung Merapi dari akarnya’ dan “ Beri aku sepuliuh pemuda, dan aku akan mengguncang dunia”
Di sinilah arti pentingnya orang tua untuk memahami aspek kejiwaan anak muda, agar bisa maju dan mengembangkan karakter dan etos kerja secara mandiri. Pemuda pada umumnya terobsesi oleh kehendak untuk diakui sebagai pelaku-pelaku yang bertanggung jawab dan yang hasrat, harapan, tindakan serta pendapatnya “ diperhitungkan” Mereka selalu beikhtiar untuk diperhatikan, itu adalah usaha untuk mencari identitas ( kepribadian) dan bahwa identitas itu diakui secara terbuka sebagai sesuatu yang penting, suatu penegasan diri sosial untuk menjadi seseorang di dunia. Dan terbukti kini, para eksponen IRM di masa lalu itu, telah menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi bangsa dan negara. Ada yang menjadi Bupati, anggota DPR, DPD, kepala kejaksaan di daerah, pengusaha kaya, dan seniman kere seperti saya.

Rabu, 08 Januari 2014

SIMONE DE BEAUVOIR



Hari ini jika anda masuk ke halaman pencarian goggle maka dipojok kiri atas akan terlihat pemberitahuan bahwa Simone De Beauvoir, seorang filsuf, feminis, novelis, aktivis politik berulang tahun yang ke 106. Sebenarnya tokoh pemikir dan penulis perempuan yang lahir pada 9 Januari 1908, telah meninggal dunia pada tanggal 14 April 1986. Tapi mungkin dunia atau goggle ingin mengenangnya sebagai salah satu tokoh penulis dunia yang mumpuni, karena hari ini. Kamis 9 Januari dirayakan sebagai hari menulis.
Kehidupan yang dijalani dan dilalui Beauvoir bersetting perubahan-perubahan besar di abad dua puluh akibat dua perang dunia serta proses dekolonisasi yang keras di Asia dan Afrika. Semua itu membentuknya menjadi seorang intelektual publik, pemikir dan penulis yang membantu mengembangkan filsafat fenomenologi khas Perancis, yakni eksistensialis. Jean Paul Sartre, eksponen terkemuka filsafat eksistensialis, adalah kekasih Beauvoir, sekaligus mitra filosofisnya, selama lima puluh tahun sampai wafatnya.
Membaca Beauvoir adalah merayakan Mandar dengan konsep Sibali-parrinya. Filsuf wanita itu adalah pejuang kesetaraan gender, sedang Mandar adalah wilayah dan etnik dimana persamaan gender telah dirayakan sejak dulu sampai sekarang, meski di sana-sini terdapat deviasi dan distorsi. Hanya saja Beauvoir adalah seorang feminis marxis yang tercerabut dari akar agama karena credonya yang berbunyi,” Bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama eksisten, artinya makhluk tanpa esensi tetap. Sebagai eksisten laki-laki dan perempuan bisa menjadi tetap dalam pemaknaan hanya jika melalui tindakan individu dan kolektif berupa bad faith.” Sedangkan yang dimaksud dengan bad faith atau keyakinan buruk adalah manakala seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan beberapa esensi atau kodrat, seperti pelayan yang baik, perempuan yang didambakan, atau perempuan saleha, dsb. Tentu saja dari sudut pandang agama ini hal ditabukan. Manusia menurut Islam jelas punya esensi atau kodrat yang telah ditentukan oleh Tuhan, semisal kodratnya sebagai perempuan atau laki-laki.
Pada titik inilah kaum feminis liberal atau radikal juga bersimpang jalan dengan kaum feminis Islam seperti Fatima Mernisi, Fredda Hasan atau Rifaat Hasan. Mereka ini jelas adalah feminis yang berideologi Islam yang dalam perjuangannya meciptakan kesetaraan gender tetap berpegan teguh pada nilai-nilai Islam. Bagi Fredda Hasan misalnya, budaya patriarkhi atau kecendrungan gender bias adalah bersifat konstruktivistik, artinya ia sengaja dicreate guna mempertahankan dominasi laki-laki. Dalam bukunya yang berjudul, “ Muslim Women”, ia membedakan antara sejarah Islam dengan sejarah Muslim. Menurutnya sejarah muslim telah melahirkan Islam semu ( pseudo Islam), yakni Islam yang diformulasi untuk melegitimasi kepentingan elit penguasa, dimana pada saat itu mulai terjadi pembatasan hak-hak kaum perempuan dan membungkam suara meraka demi kepentingan kaum feodal. Sejarah muslim terjadi saat mulai berdirinya sistim dinasty atau kerajaan yang bergaya bizantium di masa Bani Umayah. Sedangkan sejarah Islam adalah masa pewahyuan Al Qur’an dan masa Nabi Muhammad dan empat sahabatnya. Saat itu hak-hak perempuan dihargai dan bisa tampil sebagai anggota komunitas muslim yang bermartabat.
Bagi feminis Islam yang juga dianut di Mandar, seorang perempuan bagaimanapun tidak bisa lepas dari kodratnya sebagai perempuan yang harus melahirkan, menyusui, mengasuh anak dan lain sebagainya. Kodrat Tuhan yang bersifat biologis ini takkan pernah berubah dan bisa diganggu gugat. Dan ini adalah alami ( nature) atau bagian dari sunnatullah. Sedangkan ketidak setaraan gender atau dominannya budaya patriarkhi adalah sebuah kultur ciptaan manusia yang memang bisa dirubah dan mengalami pergesaran yang siknifikan.
Terlepas dari semua hal yang dibahas di atas, Simone De Beauvoir patut kita kenang sebagai seorang pejuang kemanusian yang telah mencoba membebaskan manusia dari sistem-sistim dominasi dan hegemoni dalam segala bentuknya, meski apa yang dicita-citakan dan diperjuangkan masih jauh dari harapan. Apa yang telah ditulis dan dikatakan akan selalu bergema di jiwa insan-insan yang selalu rindu pada persamaan, kebebasan dan keadilan. Terutama mereka yang selalu bertanya ‘ apa artinya menjadi perempuan. Simone De Beauvoir telah menulis dalam bukunya, The Second Sex, “ Perempuan datang untuk menjadi mode bagi eksistensinya.”

Selasa, 07 Januari 2014

POLISI

Film Godfather, produksi tahun 1972, besutan sutradara Francis Ford Coppola yang dibintangi Marlon Brando ( Don Vito Corleone) serta Al Pacino ( Michael Corleone) telah dianggap sebagai satu dari tiga film terbaik Amerika sepanjang masa, bahkan sebuah institute berpendapat film itu sebagai primus inter pares dari film-film sejenis. Film ini diangkat dari buku karangan Mario Fuso dengan judul sama yang menggambarkan lika-liku dan sepak terjang para Mafioso keturunan Sisilia, Italia di Amerika, khususnya di New York. Tentang Kelompok-kelompok mafia yang begitu kuat dan berpengaruh sehingga mampu mengendalikan polisi, mengelabui dan mengendalikan hukum untuk mengamankan bisnis hitam mereka.
Dalam film dan buku Godfather diceritakan dengan gamblang betapa seorang dari keluarga mafia Tattaglia , Sollozzo mampu menaruh polisi New York di sakunya dengan hanya menggenggam jiwa seorang kapten polisi McCluskey. Dengan kekuasaan uangnya Solozzo mampu membuat McKluskey dan anak buahnya mau melakukan apa saja untuknya, termasuk memback upnya dalam rangka perang habis-habisan antara keluarga bossnya, Tattaglia melawan keluarga Don Corleone, The Godfather. Dan pada akhirnya keduanya, Sollozzo dan McCluskey ditembak mati oleh Michael Corleone.
Mario fuso mengaku bahwa bukunya yang difilmkan yang antara lain menggambarkan kebobrokan mental para mafia, serta beberapa polisi New York adalah hasil penelitian lapangan dan literature. Ia benar karena nyatanya sebuah penelitian pada 2010 tentang perilaku New York Police Department ( NYPD) telah mengangkat fakta bahwa prilaku misconduct polisi Amerika pada tingkat bawahan memang begitu adanya. Bahkan bukan hanya memback up para penjahat, juga suka melakukan penjebakan dan rekayasa perkara. Tidak sampai disitu, terkait dengan miskonduk polisi, beberapa penelitian di Australia, New Zealand dan Negara-negara Eropa, telah mengungkap fakta bahwa 50 persen proses pengadilan yang tidak adil dan benar, berawal dari prilaku polisi yang tidak becus dan bertanggung jawab ditingkat penyidikan.
Dan rupanya hal tersebuat di atas bersifat universal, termasuk terjadi pula di Indonesia. Keputusan Mahkamah Agung yang membebaskan tersangka kasus Narkoba, Rudi Santoso dengan alasan tidak diikutinya proses penyidikan dan pemeriksaan perkara secara baku dan benar oleh polisi, telah semakin memperbesar persepsi negative masyarakat terhadap lembaga penegak hukum tersebut. Dalam amar putusannya, MA menyebut tidak ada bukti-bukti yang cukup dan tidak adanya proses pemeriksaan urine untuk menahan tersangka. Bahkan ada yang menduga telah terjadi penjebakan dan kriminalisasi.
Saya tidak akan memasuki wilayah tekhnik prosedural dan dasar hukum, hanya ikut prihatin jika polisi akan semakin kehilangan simpati dan kepercayaan masyarakat, karena semua akan rugi dan menyesal. Sudah bukan rahasia lagi bahwa dewasa ini citra polisi benar-benar telah berada di titik nadir. Walaupun hal yang sama juga menimpa semua lembaga penegak hukum, bahkan pembuat hukum ( DPR). tapi polisi berada diujung tombak penegakan hukum dan keadilan. Jika ada kesalahan procedural dan operasional dalam bidang apapun, termasuk hukum, selalu yang di bawah yang akan jadi sasaran tembak atau kambing hitam, dalam hal ini penjidik dan penyelidik reskrim polri.
Termasuk ditembak matinya enam yang diduga pelaku teroris di Tangerang. Orang tidak akan melihat adanya sebuah mata rantai perintah dan kebijakan terkait dengan upaya besar menghabisi kantong-kantong dan potensi teroris, tapi akan melihat dan merasakan betapa kejam dan teganya para anggota densus 88 Polri itu di lapangan. Begitu murahkah jiwa manusia bagi mereka?, begitu mudahkah menghabisi nyawa anak manusia yang belum tentu atau terbukti kesalahannya.
Sentimentalisme yang romantik memang tidak relevan dalam ruang publik, tapi dimana sebenarnya batas ruang publik itu. Sebuah kekuasaan dan diskresi yang besar, luas tak terbatas akan mudah disalah gunakan dan membuat setiap tidakan aparat yang salah dan kejam berlindung di bawah payung “ Atas nama kepentingan rakyat”. Narkoba serta terorisme memang adalah ekstra ordinary crime atau kejahatan luar biasa serta musuh bersama kita, tapi haruskah ditangani dengan cara eksesif? Lalu apa bedanya polisi dengan preman? Hukum memang harus ditegakkan tapi haruskah memberangus rasa keadilan dan kemanusiaan kita?

Senin, 06 Januari 2014

LIMBAH KEBUDAYAAN

Kita sering mencari makna-makna kebudayaan di kejauhan, padahal kebudayaan hadir pada setiap tarikan nafas kita. Bila yang kita hirup adalah udara kotor yang hembus dari lingkungan yang berjelaga, maka kita telah menyatu dengan sifat budaya yang dekaden atau gagal. Jika itu eksis terus menerus tak tertanggulangi untuk dikarungkan, maka kita akan tumbuh menjadi manusia yang kerdil secara fisik dan psikis. Dengan kata lain lingkungan yang sehat, asri dan Nyaman adalah menifestasi begaimana kita mengelola budaya dan peradaban. Yang pada gilirannya membentuk diri kita sebagai manusia.
Itulah sebabnya pemprov DKI berusaha merelokasi penghuni bantaran kali ke rumah-rumah susun. Kalau tidak, sampah-sampah dan buangan akan terus menghambur ke kali, mengotorinya, menghambat alirannya dan menciptakan polusi dan banjir. Tapi kalau hanya merelokasi tanpa merubah kesadaran, maka lingkungan baru mereka justru akan jadi korban berikutnya dari kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan. Got-got dan sistem drainase kota akan jadi tempat pembuangan sampah baru yang justru lebih merusak karena juga mengkontaminasi orang-orang terdidik yang terbiasa mengelola kebersihan secara benar.
Sampah adalah limbah peradaban yang mengandung zat-zat yang dapat membunuh kebudayaan. Sejatinya membuang sampah sembarangan bukanlah libido alami manusia. Ia adalah imbas dari pemerintah kota yang gagal mengoptimalkan metode managemen sampah yang benar. Terutama dalam hal melakukan sosialisasi akan perlunya hidup lebih berbudaya dengan memperlakukan sampah pada tempatnya. Di Makassar dan banyak kota besar, aturan-aturan atau perda tentang sampah mungkin sudah lebih dari cukup, tapi karena tidak pernah tersosialisasi dengan betul, maka larangan membuang sampah di kali atau di got-got dilakukan pada malam hari. Sama sekali belum terbangun sense of belonging pada keberadaan sarana-sarana kota dan dan fasilitas alam. Ini adalah buah dari kegagalan kebudayaan.
Suatu ketika saya bertamasya dengan becak dari saleppa, Majene menyusuri jalan pantai sepanjang Pangali-ngali, Cilallang hingga mendekati Rangas. Jalan yang mulus dan mungil dikotori oleh sampah dan bau busuk sepanjang jalan. Kotoran bertebaran sepanjang bibir pantai, karang dan bebatuan. Beberapa anak manusia yang dengan santai dan enaknya jongkok dengan cuek membuang hajatnya pada suatu tempat. Seorang gadis remaja membuang sampah rumah tangga ke laut yang biru dan tak berdosa. Dan ini berkali-kali saya lihat sepanjang perjalanan.
Mungkin itu hal yang sepele, dan takkan punya daya rusak lingkungan yang besar dan massif, tapi itu adalah cermin kebudayaan yang gagal. Kebudayaan itu identik dengan kebersihan, keindahan dan kepantasan. Atau barangkali seorang tomawuweng dengan melipa-lipa pergi ke pantai untuk membuang hajat dianggap sebuah khas Mandar yang tak perlu diganggu gugat? Rasanya itu tak ada hubungan dengan tradisi yang harus dilestarikan, tapi sesuatu yang justru merusak mood dan pemandangan, rasa budaya dan susila.
Tapi sekarang ini jauh lebih baik dibanding ketika saya masih di Mandar di masa kecil. Dulu pantai Majene, dari mulai pelabuhan sebelah kiri, Battayang, sampai Barane adalah kakus besar yang panjang, kotor dan berbau. Pantai sebelah kanan pelabuhan sampai Pangali-ali lumayan bersih hingga jadi tempat kami main lempar-lemparan bom-bom pasir dan mandi-mandi. Justru di sini sekarang tak ada lagi pasir putih kecuali sampah-sampah bertebaran.
Jika kebersihan bagian dari Iman, maka keindahan adalah kesukaan Allah. Bahkan menyingkirkan duri dari jalan atau tempat-tempat umum adala salah satu cabang Iman, apalagi sampah dan kotoran.
“ Singkirkanlah Duri dari jalan karena itu adalah shadaqah buatmu.” (Haditz)

Minggu, 05 Januari 2014

ELPIJI

Seorang pemilik warung tegal ( warteg ) yang sering saya datangi untuk makan dan ngopi di pagi hari mengeluh, selalu menarik nafas panjang, matanya memandang kosong ke depan. Katanya harga elpiji 12 kilo sudah naik hampir dua kali lipat, dari 78 ribu menjadi 130 ribu ke atas. Konon ada yang menjual sampai 170 ribu. Akibatnya, beras yang tadinya 441 ribu perkarung jadi 445 ribu. Telor dari 15 ribu menjadi 20 ribu sekilo tambahnya. Untuk menaikkan harga jual makanan dan minuman dia tidak berani karena selama ini harga yang ada sudah dianggap tinggi dan telah menyepikan wartegnya yang tadinya rame. Fenomena apa ini? Ya fenomena perampokan diam-diam oleh pertamina terhadap kesejahteraan warga.
Padahal menurut seorang anggota DPR dari partai penguasa, pertamina secara keseluruhan beroleh profit 30 trilyun rupiah. Lalu mengapa diberitakan bahwa projek elpiji merugi 7,7 trilyun?. Dan atas dasar apa pertamina menaikkan harga jual elpiji sampai 68 persen, padahal pertamina adalah badan usaha milik Negara yang mestinya bertugas untuk mengamalkan dan menjalankan pasal 33 UUD 45. Seberapa besar pengaruh para pemegang saham yang punya peran dan inisiatif dibalik kenaikan elpiji yang meroket itu.
Ternyata kita memang belum siap untuk proyek konversi energy dari minyak tanah ke gas, karena nyatanya kita masih mengimpor sekitar 70 persen bahan untuk elpiji. Kalau begitu, ya kita masih tersandera oleh fluktuasi harga gas dan minyak dunia. Dan proyek elpiji hanya ajang bisnis dan lahan bancakan para petinggi pertamina dan pemerintah. Bukankah ketua SKK migas yang ada dipenjara sekarang jadi bukti paling valid tentang adanya indikasi permainan itu? Jangan dong bilang bahwa kandungan gas di bumi nusantara itu melimpah, bahkan siap diimpor sebagian besar ke China guna pemasukan devisa. Keep the boss impormed. Misimformasi atau disimformasi kepada masyarakat maupun ke boss, hanya membuat runyam dan penyesalan.
Ketidak siapan kita bukan saja dalam hal managemen perminyakan, tapi juga pada tidak adanya kesungguhan dan kerja keras untuk mau jadi penambang sejati yang tidak tergantung pada kemampuan dan sdm asing. Kita tidak mau bercape-cape dan bersusah payah melakukan eksplorasi dan menunggu dengan sabar muncratnya minyak dari perut bumi seperti yang digambarkan dalam film The Giant yang dibintangi oleh James Dean. Ia kegirangan setelah sukses mendulang minyak hasil kerja keras yang gigih dan tekun selama bertahun-tahun.
Hasil tambang bagi kita hanyalah sebuah keajaiban yang bisa muncrat sendiri dari tanah tanpa bersusah payah dan dianggap sebagai karunia Tuhan yang bisa didulang kapanpun, bak terbangnya ikan dari dalam laut di kolam susu. Kita hanya perlu kail dan jala kata Koes Plus. Kita tidak pernah mau tahu dan menjelaskan kepublik bahwa proses menambang adalah proses yang panjang dan tak main-main.
Caltex telah melakukan eksplorasi mencari cebakan minyak di bumi dan laut Nusantara sejak tahun 1924. Konon barulah 28 tahun kemudian, di tahun 1952 Caltex bisa menuai hasil dan mulai beroperasi. Freeport Indonesia baru pada tahun 1971 beroperasi dan menghasilkan setelah ditemukannya tambang tembaga Erstberg di Timika oleh Jean Jacques Dozy pada 1936. Kita mana mau melakukan hal-hal tersebut, kita hanya jago memperpanjang kontrak karya atau production sharing dengan perusahaan-perusahhan asing tersebut. Lalu bersikap seperti raja Midas yang berharap semua itu memperbanyak pundi-pundi uang dan emas. Raja midas yang berharap semua yang disentuh jadi emas juga akhirnya menderita ketika harus menyentuh putrinya yang sakit keras bukan? Easy come, easy go.
Saya takkan terlalu gegabah untuk mengatakan bahwa naiknya harga elpiji adalah rekayasa politik untuk sebuah proyek pencitraan walau indikasi kearah sana memang nyata membayang. Kita hanya berdoa semoga himbauan bapak Presiden untuk meninjau ulang kenaikan harga elpiji itu tulus dan didengar oleh petinggi dan pemegang saham Pertamina tbk untuk segera menurunkan lagi harga jual elpiji , sebab resiko sosialnya memang tinggi, susah ditanggulangi jika sudah berekskalasi. dan bisa memperparah tahun politik yang sejatinya sudah meradang ini.